“Anjani!” panggil Juragan Karta. Tapi Anjani terus berlalu. Dia melemparkan tanggung jawab tentang apa yang terjadi pada suaminya. Dia sudah siap kalau Juragan Karta menceritakan pada Candrawati tentang rencananya melenyapkan Mbayang. Bila itu terjadi, dia juga akan membongkar rahasia perselingkuhan suaminya hingga melahirkan Mbayang pada Candrawati. Juragan Karta menoleh ke arah putrinya yang masih bingung menunggu jawaban. Otak pria berusia lima puluhan tahun itu berpikir keras mencari-cari kata yang tepat untuk menjelaskan pertengkarannya dengan Anjani, tak mungkin baginya mengakui segala dosa masa lalunya pada Candrawati. Semua akan berantakan bila rahasia itu terungkap.“Apa yang terajadi, Romo?” Candrawati kembali bertanya tentang sikap biyung dan Romonya yang tiba-tiba nampak tak akur dan Candrawati merasa kalau semua ini ada hubungannya dengan Mbayang.“Apa kau mencintai Mbayang?” Juragan Karta balik bertanya.Wajah Candrawati langsung bersemu merah, dia buru-buru memalingkan
Candrawati berdiri melamun di dekat jendela kamar, menatap kosong halaman rumahnya yang luas. Baru dua hari Mbayang pergi, tapi rasanya sudah lama sekali. Lelaki yang selalu menemaninya kini harus benar-benar pergi ke padepokan segaran. Dia tak bisa menahan lebih lama, luka-luka Mbayang telah sembuh sepenuhnya dan dia juga sudah berjanji pada Romonya untuk tak berulah lagi. Andaikan bisa memilih, dia ingin Mbayang tetap lemah, agar dia bisa lebih lama merawatnya. Meski dia seorang Ndoro, tapi dia senang sekali bisa merawat Mbayang.“Ndoro…”Suara Ningrum mengagetkan Candrawati dari lamunan, perlahan dia berbalik menghadap ke arah Ningrum.“Ada apa, Rum!” jawab Candrawati ketus, tak senang dengan kedatangan abdinya itu.Ningrum jadi gugup mendapati jawaban ketus dari Candrawati. Ningrum pun memberanikan diri untuk maju mendekati junjungannya itu.“Ampun Ndoro,” Ningrum memberi hormat, “Ndoro Putri memanggil Ndoro Ayu ke ruang makan. Ndoro Ayu katanya belum makan sejak pagi...”“Itu bu
Mbayang kembali berkelit hingga tendangan yang di arahkan padanya menerpa angin. “Pengawal!” jerit juragan Karta melihat Mbayang dikepung beberapa Cantrik. Empat orang pendekar yang disewa Juragan Karta langsung melesat dan melayang di udara. Dengan cepat ke empat pendekar itu sampai tempat kejadian. Mereka langsung membantu Mbayang menangkis pukulan yang mengarah pada Mbayang. Juragan Karta berjalan cepat menghampiri Mbayang yang terkepung. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya heran melihat keadaan yang tiba-tiba kacau. “Saya juga tidak tahu, Juragan!” jawab Mbayang gugup tak menyangka akan jadi seperti ini. ke empat pendekar berdiri dengan sikap siaga di kelilingi para cantrik yang juga siap menyerang. “Ada pengacau!” teriak salah seorang cantrik. Tak berselang lama, beberapa cantrik dalam jumlah lebih banyak datang mengepung kali ini bukan dengan tangan kosong, tapi dengan pedang terhunus. Kilatan pedang yang terkena sinar itu membuat giris hati. “Tahan! Kami tidak ber
Di sebuah ruangan yang terletak di belakang padepokan, Permana, pria empat puluh lima tahun, yang merupakan pemimpin sementara padepokan sedang bersemedi meninggkat tenaga dalam. Tiba-tiba seorang wanita perlahan membuka pintu dan masuk ke dalam. Sang wanita yang berusia empat puluhan tahun itu menatap Permana yang sedang bersemedi sambil mengulum senyum menggoda.Menyadari ada orang lain yang masuk, Permana membuka mata, semedi lelaki itu buyar seketika, melihat sosok wanita cantik jelita ada di hadapannya.“Nyi, Dewi!” seru Permana langsung berdiri, dengan mata terbelalak. Nyi Dewi melempar senyum genit, wanita dengan rambut terurai sebahu, tidak terlalu tinggi, punya dada montok dan kulit sawo matang itu berjalan mendekati Permana. Kecantikan Nyi Dewi memang dengan cepat menggugah hasrat lelaki. Permana sampai dibuatnya tak berkedip, terlebih Nyi Dewi memakai jarik, dan kemben ketat memperlihatkan belahan dadanya yang putih mulus juga mempertontokan lekukan tubuhnya.“Aku mengga
“Biaya belajar silat di sini tidak murah. Kau lihat sendiri cantrik di sini sangat banyak, tentu menghidupi mereka perlu biaya yang tak sedikit,” Permana membuka suara setelah Juragan Karta mengutarakan maksudnya menitipkan Mbayang di perguruan segaran.Mbayang gelisah, duduk mulai tak tenang mendengar penuturan Permana. Dia ingin sekali memotong pembicaraan pimpinan sementara padepokan ini. Dia sudah kehilangan minat belajar ilmu pada orang-orang terlihat picik dan mata duitan itu.Berbeda dengan Mbayang, Juragan Karta yang sudah kenyang pengalaman lebih tenang menghadapinya. Dia juga sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Baginya, yang penting Mbayang menyingkir dulu dari rumah selain agar tidak terlibat asmara dengan Candrawati, juga menjaga agar Mbayang aman, dari tangan jahat istrinya. Sukur-sukur kalau Mbayang nantinya bisa menjadi pendekar yang sakti. soal biaya tak jadi soal baginya.“Apakah ini cukup!” Juragan Karta mengahaturkan satu kantong besar uang perak pada Permana.M
Ttu tuk ttuk ttukTitir kentongan dibunyikan,memecah keheningan pagi saat matahari mulai meninggi. Para murid Padepokan segaran pun segera berkumpul. Padepokan segaran adalah perguruan silat yang cukup besar, ada sekitar dua ratusan murid yang belajar di sana laku-laki dan perempuan. Para murid berkumpul dekat panggung besar depan aula padepokan, Kabar tentang pertikaian Bimantara dan Permana sudah menyebar semalam. Murid-murid pun sudah tak sabar melihat pertarungan dua pendekar andalan padepokan segaran. Ya, Nyi Dewi pada akhirnya merestui pertarungan demi menyelesaikan ganjalan hati antara Permana dan Bimantara.“Aku yakin, Paman Bimantara akan menang dan menggantikan Paman Permana menjadi pemimpin sementara...” kasak kusuk para murid padepokan menjagokan Bimantara, hanya beberapa saja, terutama murid-murid dibimbing oleh Jalasanda dan Permana yang mendukung pemimpin padepokan untuk menang. Mereka adalah murid-murid yang berasal dari keluarga orang-orang kaya.Satu persatu ketua te
Gendis sempat gugup menoleh ke kanan dan kiri, semua mata kini tertuju padanya, akibat memprotes penggunaan pedang pusaka. Dia menarik nafas dalam, lalu berdiri, kembali memprotes penggunaan pedang pusaka dalam pertarungan.“Kau harusnya menggunakan pedang biasa, agar pertarungan ini adil!” teriak Gendis.“Tidak, diajeng. Biarkan dia menggunakan pedang pusaka, Kakangg tak gentar!” saut Bimantara meski sebenarnya kakinya gemetaran terkena pamor pedang pusaka itu.Sraaaang….Permana menyarungkan kembali pedang pusaka di tangannya. Kilatan sinar menyilaukan dari pedang itu pun lenyap seketika. Dia menarik nafas dalam, menoleh ke arah Jalasanda lalu melempar pedang pusaka kembali ke Jalasanda.SssssatJalasanda menangkap kembali pedang pusaka padepokan, lalu kembali melempar sebuah pedang biasa pada Permana.“Baik, biar tidak ada yang menganggap curang, biarlah aku memakai pedang biasa. Ayo, maju
Setelah kemenangan Permana atas Bimantara dalam pertarungan, pemimpin sementara padepokan itu jadi makin semena-mena. Murid-murid yang berasal dari keluarga kaya, bukan saja dimanja tapi juga dibebaskan dari segala tugas-tugas yang seharusnya di jalankan sebagia murid padepokan. Para murid-murid itu sering turun gunung dan membuat onar dimana-mana. Tapi selagi mereka memberi upeti, Permana akan menutup mata akan perilaku murid-murid di bawah bimbingannya. Kebalikannya, murid-murid dari keluaraga biasa-biasa saja, dibebani banyak tugas, seperti mengurus ladang, ternak dan kebersihan padepokan. Kondisi ini membuat situasi padepokan jadi tidak kondusif dan menimbulkan perpecahan dan rasa iri antar sesama murid.Mbayang sebenarnya masuk kelompok murid yang dilatih Jalasanda dan Permana, tapi karena dia tak tahan dengan sikap rekan-rekannya yang malas berlatih, dia memilih pindah dan masuk bimbingan Cakraraya dalam berlatih ilmu silat di padepokan. Resiko yang harus dia terima selain harus