Kentara sekali kalau butik itu memang langganan Arsya sebelumnya. Seorang wanita pemilik butik menyambut mereka di luar lalu dengan luwesnya melingkarkan tangan di lengan Indah untuk dibawa ke dalam. Indah merasa tangannya menegang ketika berjalan di antara pemilik butik dan Arsya sambil mendengarkan basa-basi keduanya. Ia merasa bagai orang asing yang tersasar di antara percakapan orang kaya. Kalau pemilik butik memandangnya sambil tersenyum dan sambil bicara, Indah membalas senyuman itu. Wanita pemilik butik berusia sekitar empat puluhan. Tapi masih terlihat sangat muda. Kekayaan, penampilan modis dan makeup mampu menyembunyikan usia sebenarnya. Di ruang ganti, Indah melihat tiga gaun yang tergantung di sebelah kaca. Pemilik butik bernama Rana itu mengambil dress berwarna biru langit dan menyerahkannya pada Indah. “Sepertinya Bu Indah harus coba yang ini dulu, deh. Karena Pak Arsya kayaknya paling suka yang warna ini. Beliau sempat bilang Bu Indah pasti bagus pakai dress warna bi
Sebenarnya Indah ingin berkeliling kamar yang disebut Arsya sebagai kamarnya. Ia ingin menyentuh setiap benda cantik dan unik dekorasi kamar, juga melihat-lihat apa saja merek kosmetik yang memenuhi meja rias. Ingin sekali. Jiwa perempuan yang menyukai banyak keindahan itu belakangan banyak diredamnya demi Alif. Indah melirik jam di nakas. Waktu yang menunjukkan hampir pukul delapan malam membuat Indah melesat ke kamar mandi.“Mirip kamar mandi hotel bintang lima,” gumam Indah, jemarinya menyentuh gulungan handuk yang ditumpuk cantik di dekat wastafel. Toiletris yang tersusun pun mereknya seperti merek toiletris departemen store kelas satu. “Arsya benar-benar orang kaya,” ucap Indah.Seluruh bagian dirinya menyadari kalau tanpa suatu tujuan sudah bisa dipastikan kalau Arsya tidak akan mendekatinya. Apalagi melamarnya.Ia hanya seorang janda yang memiliki seorang bayi sakit dan banyak kekurangan. Menjadi istri seorang genreasi penerus perusahaan tambang adalah bukan keniscayaan. Indah
“Huuuu … padahal cuma pergi sebentar aja. Mesti pakai cium.” Laras menepuk lengan Arsya yang meninggalkannya dengan wajah penasaran, sekaligus cemas. “Oh, ya … Bang Asa udah ngasih tahu nama aku, kan? Aku Laras. Bang Asa bilang kalau usiaku jauh di atas Indah. Tapi aku mau Indah panggil aku dengan Laras aja. Oke?” Laras menyodorkan kelingkingnya.Indah bahkan tak sempat berkedip saat bibir Arsya menyentuh pipinya dengan ringan dan lembut. Itu di luar kesepakatan. Arsya tidak ada mengatakan soal kontak fisik di antara mereka. Indah cemberut memandang punggung Arsya yang menjauh. Benar-benar kesal. Untungnya Laras mengalihkan kekesalan itu dengan membawa Indah ke ruang makan.“Ibu … ini Indah.” Tangan Laras masih melingkar di lengan Indah.Tadinya Indah membayangkan seorang tua yang wanita cantik dan mentereng seperti istri pejabat sosialita yang sering dilihatnya makan siang di café mahal gedung kantornya. Ternyata wanita yang dipanggil ibu oleh Arsya adalah wanita berwajah ramah, berpe
Berada di kediaman keluarga Arsya membuat tangan Indah pegal. Arsya tak lepas memegang tangannya seakan takut ia bisa lari kapan saja dari kediaman keluarga Subianto. Sesekali Indah meregangkan tangan yang pegal dan berkeringat, tapi setiap merasakan pergerakan itu Arsya kembali mengetatkan pegangannya. “Aku minta piringku diisi makan malam sesuai selera kamu. Seperti biasa,” ujar Arsya, melepaskan tangan Indah yang langsung meregang. Indah memandang Arsya dengan sudut matanya. “Seperti biasa?” desis Indah dengan mulut nyaris tidak terbuka. Arsya tersenyum manis dan riang. “Air minumnya jangan yang hangat,” tambah Arsya mengingatkan. Perubahan sikap Arsya di depan orang tuanya membuat Indah cukup risi. Kepura-puraan itu tidak seharusnya melibatkan kontak fisik antara mereka. Sikap itu terlalu berlebihan buatnya. Bahkan Panca dulu tidak pernah bersikap seperti itu. Ia harus bicara dengan Arsya. “Harus sering ke sini, Bang. Ibu harus banyak ngobrol dengan Indah. Semua kerabat kita h
Kali ini Arsya percaya diri kalau ia tiba tepat waktu saat melihat Panca menjajari langkah Indah di depan gedung. Urusannya sudah sangat bisa ditebak. Laporan beberapa kasus penipuan dan penggelapan uang atas nama ibunya. Arsya tersenyum puas melihat wajah kalut Panca saat mengejar Indah. Persis seperti apa yang ia inginkan. Arsya melangkah santai keluar gedung dan berdiri sejenak mendengar pembicaraan Panca dan Indah. Tebakannya semua benar. Indah memang keras kepala dan bisa diandalkan untuk melawan Panca, tapi wanita itu akan tetap menangis. Lalu satu hal yang tidak ia sangka-sangka keluar dari mulut Indah. Wanita itu sedikit membelanya soal rapat penting. Sedikit aneh mendengar Indah menyebutnya sebagai calon suami dan mengucapkan soal Presdir, lalu pewaris perusahaan. Padahal baru kemarin Indah menolak mobil dan supir yang ia berikan. Indah juga menolak kartu kredit yang diberikannya untuk berbelanja. Tak menyangka bahwa Indah benar-benar hanya berharap biaya rumah sakit untuk A
Semuanya bukan soal Panca. Indah semakin menyadari kalau perlahan-lahan ia meninggalkan Panca dari pikirannya jika sedang memikirkan nasib Alif. Ia membenci Panca, ia juga punya dendam tersendiri pada pria itu dan keluarganya. Namun belakangan ia memang tidak mencampuradukkan kebenciannya itu dalam urusan yang menyangkut Alif. Kondisi Alif adalah prioritasnya. Dan sejak awal, ia memang sudah menerima kalau Arsya memiliki tujuan tertentu menikahinya. Ia merasa, apa pun itu Arsya tidak akan merugikannya kalau hal itu berkaitan dengan Alif. Meski sempat menelaah dan mencoba mencari tahu tujuan Arsya menggunakan pikirannya yang terbatas itu, Indah tetap belum mampu menemukan tujuan Arsya. Tak satu pun kecurigaannya bisa terjawab. Motif Arsya masih abu-abu baginya. Sedangkan untuk percaya bahwa pria itu benar-benar jatuh cinta padanya, Indah merasa geli dan ingin menertawai dirinya sendiri. Hal itu sangat tidak mungkin.Jadi, saat itu, saat meninggalkan meja administrasi, Indah berpikir
Sehari sebelum melangsungkan akad nikah, Arsya dan Indah memang masuk kerja seperti biasa. Keduanya tidak menunjukkan perbedaan apa pun selain Arsya yang tiba tiba memanggil Indah ke ruangan untuk mengajaknya ke rumah sakit demi kejutan Pak Hadi tiba di Jakarta.Yeni yang sudah gelisah karena kasak-kusuk cerita pernikahan Arsya sempat mendatangi Indah untuk mengorek informasi.“Masa, sih, kamu nggak tahu soal Pak Arsya? Mustahil banget, In. Hampir semua di gedung ini tahu kalau Pak Arsya bakal ngadain pernikahan tertutup. Kamu nggak ada lihat apa-apa di mejanya? Kartu undangan? Janji ketemu siapa gitu? Pernah lihat Pak Arsya makan sama wanita di luar kantor?” Yeni memberondong Indah dengan banyak pertanyaan yang belum dijawab.“Enggak ada, Mbak,” jawab Indah.“Sama sekali?” tanya Yeni. “Masa, sih, nggak pernah? Belakangan kamu yang sering keluar sama Bapak.”Indah kembali menggeleng. “Aku memang nggak tahu, Mbak.”“Tiap kamu bilang nggak tahu aku malah curiga. Masa kamu nggak tahu? Ap
“Mana kebayanya? Indah coba di kamar mandi aja, Kak. Kalau kesulitan pakai sendiri, nanti Indah minta bantuan.” Indah meraih gantungan berisi kebaya yang berat karena hampir seluruhnya bertabur payet dan membawanya ke kamar mandi. “Ada-ada aja. Masa pakai begini harus dibantu sama dia.” Indah berbisik saat melepaskan pakaiannya.Ternyata mencoba kebaya itu cukup memakan waktu. Indah berada cukup lama di kamar mandi sampai-sampai Laras harus mengetuknya.“In, coba keluar aja, deh. Kebayanya udah dipakai, kan? Kalau sudah ngancingnya, biar dibantu aku dan Abang. Biar cepat selesai. Alif udah nungguin dari tadi, lho.” Laras sudah memperkirakan kalau Indah akan kesulitan mengait kancing bungkus yang berada di sepanjang bagian depan kebaya.Penyebutan nama Alif membuat Indah berdecak karena menyadari situasinya. Alif memang belum bertemu dengannya sejak ia tiba tadi. Rasanya malu sekali dengan Bu Anum yang sejak tadi menjaga bayinya. Apa Bu Anum akan menganggap dia sebagai ibu yang tidak b