PS. Pelan-pelan saja membacanya agar mengerti. Dihimbau untuk tidak melewatkan satu kalimat pun. Maaf buat pembaca yang menunggu lama dan terganggu karena cerita ini belum tamat. Semoga kalian selalu diberi kesehatan dan umur panjang.
“Meledakkan dan membakar smelter membuat saya bergidik,” ucap Mika. Ia benar-benar mengusap lengannya karena bergidik. “Akan banyak korban. Pekerja smelter, para tenaga ahli, ekspatriat, bahkan warga sekitar. Kurasa itu baru tercetus menjadi ide paling buruk yang belum tentu dilaksanakan. Sebagai tenaga ahli saya kurang menyetujui hal itu. Anda bisa melaksanakan sabotase lain yang efeknya kurang lebih sama. Sama-sama membuat saham SB Industrial Energy anjlok.”“Tapi keinginan saya bukan hanya harga saham SB Industrial Energy yang anjlok. Tapi audit perusahaan mereka dan menemukan sesuatu kebusukan yang kita letakkan. Saya mau melihat Arsya Anggara Subianto duduk di kursi pesakitan. Ditambah lagi sebuah informasi mengatakan bahwa dia sedang menantikan kelahiran anak pertamanya? Saya akan berusaha bayinya lahir saat dia dipenjara.” Eric tertawa mengejek. “Kalau Anda benar-benar menginginkan hal itu, sepertinya saya harus menambahkan beberapa persyaratan sebagai catatan kaki.” Mika sedi
Indah membutuhkan beberapa waktu untuk mencerna apa yang dikatakan Arsya. Sepasang matanya tak lepas menetap Arsya karena tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Pelukannya kemudian mengendur. “Maksudnya … kondisi yang sangat tidak baik itu yang bagaimana?” Indah menelan ludah sembari pikirannya membayangkan apa yang mungkin terjadi pada bayi Panca. Demi Tuhan ia sama sekali tidak menginginkan hal buruk terjadi pada bayi yang dikandung Mayang.“Sepertinya bayi mereka lahir dalam kondisi tiba-tiba. Panca tiba tak sampai satu jam sebelum bayi mereka dilahirkan melalui jalan operasi. Pengacara mengatakan kalau Mayang dalam kondisi tertekan. Bayi mereka dalam kondisi tidak sadarkan diri sejak dilahirkan. Sekarang berada di PICU.” Karena Indah tak kunjung menjawab, Arsya kembali merangkul pundak wanita itu dan membawanya ke dalam.“Aku ….” Indah kembali diam. Tadinya ia lapar sekali, tapi berita itu membuat perutnya seketika kenyang. “Abang mau aku menjenguk bayi mereka?”Arsya menunt
Darah Arsya sedikit berdesir saat mendengar apa yang barusan diucapkan Panca. Ia melirik Indah dan sedikit tenang karena melihat istrinya itu memandang Panca dengan tatapan mengasihani.“Ngapain ke sini? Mau lihat seberapa hancur aku sekarang?” Panca kembali bersuara karena melihat Indah tidak bereaksi dengan ucapan pertamanya tadi.Indah menggeleng malas. “Aku kira kamu punya kalimat baru untuk bikin aku marah. Ternyata masih itu-itu aja. Ck,” Indah berdecak, lalu kembali melihat ke dalam bilik kaca. “Bayiku juga sakit, In?” Indah mengulangi ucapan Panca dengan kalimat tanya.“Iya. Bayiku juga sakit. Kamu pasti dengar dengan jelas apa yang barusan aku bilang.” Panca ikut menatap ke mana Indah memandang. Sorot matanya kosong. “Lahir kemarin nggak nangis. Sekarang masih pakai ventilator. Katanya … aritmia serius.”Indah memandang Panca. “Gangguan jantung seperti Alif bayi aku, kan? Alif bayi aku juga memiliki kelainan jantung dari lahir. Sampai di titik ini apa kamu belum menyadari ses
Sejak dulu sebenarnya Indah tidak terlalu mahir berciuman. Pengalaman berpacarannya sangat minim. Pertama kali mengenal cinta adalah saat ia melihat Panca untuk pertama kali. Sejak itu benaknya selalu terisi oleh sosok pria tampan dan dingin yang membuatnya penasaran.Pria tampan dan dingin yang dikenalnya itu ternyata memang tidak pernah menghangat untuknya. Pernikahan yang lebih sering terhalang jarak, membuat kemampuan Indah tentang percintaan menjadi amat minim.Indah tidak biasa mendengar seorang pria mengatakan cinta padanya berkali-kali. Ia juga tidak pernah diperlakukan lebih lembut dari perlakuan papanya dulu. Ia tidak pernah dirayu atau dibujuk. Ia tidak pernah dipuji dan terbiasa menganggap dirinya pantas menerima perlakuan Panca kepadanya.Ia tidak tahu bagaimana ciuman dan sentuhan yang seharusnya ditujukan pria yang mencintainya. Selama ini ia hanya menerima dan menunggu. Jarang sekali ada terlintas keberanian untuk memulai lebih dulu.Sampai akhirnya ia bertemu dengan p
“Apa lagi ini?” gumam Arsya. Selama sepersekian detik ia terdiam, detik berikutnya ia memandang ke depan dan menyadari kalau mereka sudah hampir tiba di rumah. Tadinya ia memang akan mengantar Indah lebih dulu sebelum kembali lagi ke kantor. “Galih, kita langsung ke rumah sakit yang biasa kita datangi,” pinta Arsya. “Baik, Pak,” sahut Galih, langsung menyalakan lampu sein kanan untuk melakukan putar balik. “Ibu gimana? Apa Ibu udah tahu?” Hal pertama yang dipikir Indah adalah soal Bu Della. Bagaimana ibu mertuanya itu menerima kabar soal kecelakaan suaminya kalau kesehatannya sendiri pun tidak cukup baik. Arsya menggeleng. “Leo ataupun Aldo tidak akan melapor ke siapa pun selain Abang. Mereka hanya akan melakukan perintah Ayah atau Abang.” “Jadi Ibu bakal dikasih tahu nggak? Kalau nggak dikasih tahu kasihan, dikasih tahu juga lebih kasihan. Pasti kepikiran. Yang kecelakaan suaminya,” Indah bergumam bingung seorang diri. “Nanti Abang putuskan setelah melihat keadaan Ayah. Kal
“Apa semuanya baik-baik aja? Maksudku …. Kamu baik-baik aja, Sa?” Harris menepuk-nepuk lengan Arsya dan ikut melongok ke balik dinding kaca sebentar. “Ini benar-benar kecelakaan?” tanya Harris lagi. Arsya mengangkat bahu. “Aku rasa ini adalah kesengajaan yang akan sulit dibuktikan. Mungkin tujuannya memang untuk membuat sakit parah. Bisa disebut juga percobaan yang berbuah kesempurnaan. Pelakunya mau Ayah celaka dan memperkirakan merusak mobil Eropa perlu truk bermuatan luar biasa berat agar mobil bisa remuk. Tapi ternyata Papa malah tidak luka. Jantungnya yang terkena imbas. Si pelaku pasti merasa mendapat durian runtuh. Licin sekali,” gumam Arsya. “Intinya tujuan mereka tetap tercapai, kan? Om Ari Subianto yang bisa dibilang jarang banget sakit, malah langsung nggak sadar.” “Padahal Ayah paling rajin olahraga. Entah gimana cara ngasih tahu Ibu soal Ayah. Aku malah khawatir Ibu yang ikutan sakit.” Arsya meremas pelan tangan Indah di genggamannya. “Kamu nggak usah khawatir.
“Apa yang aku dengar tadi benar? Kecelakaan Ayah disengaja? Sama seperti kecelakaan Abang di tol sewaktu di Bandung?” Sejak tadi Indah memang tak sabar ingin menyemburkan pertanyaan itu. Namun ia sedikit kecewa karena Arsya tidak langsung menjawab. Dan ia hampir meremas tangan pria itu karena tak sabar. “Itu baru dugaan Abang. Kamu nggak usah pikirin itu karena staf Ayah pasti nggak akan tinggal diam. Yang paling penting kamu tetap jaga kesehatan.” Hal pertama yang dipikirkan Arsya saat itu adalah ia harus mengantarkan Indah pulang dan setelahnya ia akan menemui Bu Della. Tapi sepertinya ikatan antara ia dan Indah semakin kuat. Atau gelombang pikiran mereka yang semakin serupa? “Bukannya Abang harus ngasih kabar ke Ibu? Abang nggak ada niat merahasiakan semuanya dari Ibu, kan? Nggak mungkin soalnya. Ayah itu suaminya. Istri mana yang nggak nyari suaminya. Sekarang pun Ibu mungkin udah ngerasa ada yang beda.” Indah bertanya dan menjawab sendiri. “Semua yang kamu bilang benar,” sa
“Belum bisa, Ras. Nanti kamu juga pasti tahu. Untuk sekarang biarkan Abang dan staf kantor yang mengurus. Kalau semuanya sudah diputuskan, kamu dan Ibu akan segera dijemput buat jenguk Ayah ke RS. Sekarang Abang dan Kak Indah makan siang, ya. Bayi Abang pasti laper.” Arsya melewati Laras dan membawa Indah ke ruang makan.Siang itu Indah dan Arsya duduk bersisian untuk makan siang yang terlambat. Seperti biasa setelah Indah membantu Arsya mengisi piringnya, pria itu juga meletakkan macam-macam lauk ke piring Indah.“Langsung makan,” gumam Laras tak jauh dari meja makan. Arsya tertawa kecil. “Abang dan Kak Indah perlu tenaga,” sahut Arsya santai. Sebenarnya banyak sekali pertanyaan di kepala Indah yang belum terjawab siang itu. Kalau rasa heran tidak usah ditanya lagi. Ia heran luar biasa. Apa memang seperti itu gaya keluarga kaya menanggapi musibah? Laras masih bisa bersantai menggendong bayinya, Arsya bisa santai mengajaknya makan siang. Sedangkan ibu mertuanya mungkin syok dan perl