Indah melihat ke arah jendela yang tirainya masih tertutup. Arsya benar. Hari masih sangat pagi. Akhirnya ia menerima tawaran menyenangkan itu. Suaminya cukup kaya untuk bisa membayar asisten rumah tangga hingga ia tidak perlu terburu-buru bangun menyiapkan sarapan. Ia bisa memeluk Arsya dan memejamkan mata dengan tenang tanpa khawatir akan terlewat tukang sayur langganan. Dibantu dengan Arsya, Indah kembali melilitkan jubah tidurnya dan berjalan santai dalam dekapan Arsya menuju kamar mereka. Untungnya ruang kerja dan kamar tidur mereka terletak dalam satu garis lurus. “Mari kita baring sama-sama dan menikmati pagi ini dengan berdua-duaan. Mungkin besok-besok Abang akan lebih sibuk. Kita tidur sebentar dan setelah sarapan nanti Abang mau menjelaskan hal sederhana ke Indah.” Arsya melepas pakaian yang sudah hampir semalaman melekat di tubuhnya dan mencampakkannya ke sebuah keranjang besar tinggi di depan pintu kaca kamar mandi. “Menjelaskan apa?” tanya Indah, bangkit dari ranjan
Kamar tidur Arsya terbilang sangat luas. Bentuknya memanjang ke samping. Sebegitu membuka pintu, seperangkat sofa dan coffee table menyambut. Sebelah kanan langsung berbatasan dengan pintu-pintu kaca yang bisa digeser untuk menuju balkon. Tak jauh dari sofa ada ranjang raksasa yang di sebelah kirinya terdapat meja panjang berisi televisi, mini bar, meja kerja, lalu lemari kaca tinggi tempat beberapa penghargaan Arsya tersusun rapi.Kepala ranjang berbatasan dengan dinding yang berbatasan dengan sebuah ruangan besar lainnya. Pintu menuju ruangan itu ada di kanan kiri nakas dengan dibatasi tiga anak tangga. Di sanalah lemari-lemari raksasa mengelilingi ruangan. Tepat di balik dinding yang berbatasan dengan kepala ranjang tadi, ada bath tub berbentuk mangkuk yang terbuat dari batu pualam asli yang sangat halus. Kamar Arsya sangat luas sampai Indah sangat percaya diri duduk di atas tubuh suaminya dengan gerakan maju mundur yang amat menggoda.Arsya akan sering bepergian dan meninggalkann
“In, Abang ke kafe lantai satu dulu ya. Mau ngobrol sama Mika.” Pelan-pelan Arsya melepaskan tangan Indah dan meletakkannya ke pangkuan wanita itu. “Kalau ada apa-apa hubungi Abang, atau ngomong ke Sarah. Dia duduk di sana.” Arsya menunjuk Sarah yang duduk bersandar di barisan kursi tunggu dengan tatapan waspada. Indah hampir tergagap menjawab ucapan Arsya. Benar-benar tidak menyangka respon Arsya akan seramah itu pada Mika. Atau dalam bahasa lainnya, tidak biasanya Arsya seramah itu pada Mika. Iya. Dia tahu Arsya pasti melakukan itu dengan banyak alasan. Tapi tetap saja hatinya sedikit tercubit. Meski begitu Indah mengangguk dan tersenyum. “Iya. Pokoknya aku tunggu Abang di isni dan bakal langsung hubungi Abang kalau ada apa-apa. Lagian di sana juga ada Galih.” Indah menepuk-nepuk punggung tangan Arsya. Ia memandang Mika tapi wanita itu tidak mau memandangnya sedikit pun. Karena jengkel, ia memutuskan menyapa lebih dulu. “Mbak Mika, kalau nanti Abang pesan kopi, tolong dilarang y
Arsya merasakan perubahan suasana di antara mereka. Ada kecanggungan yang tak biasa. Ia dan Mika seperti dua orang yang berada di medan perang. Mereka bertatapan seakan berusaha saling membaca pikiran satu sama lain. Saat itu mereka adalah otak dari masing-masing peperangan yang sedang mereka jalani.Hampir saja Arsya terbahak karena raut wajah Mika yang terlalu serius. Mika pasti mengira ia tidak tahu maksud pertanyaan-pertanyaan itu. Jika ia berbohong, Mika pasti tahu kalau mereka sudah punya rencana tertentu. Arsya tetap mempertahankan raut seriusnya. “Sebenarnya Indah sedikit syok sewaktu diminta menggandakan dokumen sepenting itu. Apalagi malam sebelumnya aku sempat ngomong kalau perusahaan Eric bisa saja menganggap dia mata-mata. Tapi dibanding dengan syok melihat dokumen itu, Indah lebih syok sewaktu melihat kamu ternyata bekerja di sana.” Secara garis besar Arsya yakin dirinya tidak berbohong.“Hanya melihat bagian depan?” Mika tidak puas dengan jawaban Arsya.“Aku rasa Inda
Selama masa pernikahannya, Indah memastikan bahwa ia akan mengingat malam itu sepanjang hidupnya. Indah memperhatikan reaksi hampir semua orang yang ada di sana. Tadinya, Harris si pemilik rumah sakit duduk mengobrol dengan Bu Della. Saat Arsya menerima kabar soal smelter dari Sarah, Arsya mengajak sekretarisnya menepi dan bicara berbisik-bisik. Saat itu terjadi, dua orang perwakilan dari direksi juga menghampiri Arsya. Di akhir waktu, Arsya terlihat sendirian menatap ponselnya. Saat itu rasanya Indah ingin menghampiri Arsya, tapi sepertinya pria itu butuh waktu sendiri. Arsya mengetikkan sesuatu di ponselnya dengan sangat cepat. Saat Sarah menyampaikan kabar dari smelter, Arsya terhenyak. Pria itu sempat diam dan Indah sempat mengusap rahangnya yang mengeras. Dan raut wajah mengeras itu berganti dengan sorot mata yang tidak dimengerti Indah. Segala lamunan dan isi kepala Indah buyar saat Harris tiba-tiba berdiri ke tengah ruangan mengabarkan kondisi Ari Subianto. Pertama kali y
Arsya kembali melambai pada Indah yang berdiri di ambang pintu depan. Wanita itu berkali-kali mengingatkannya untuk tidak terlambat makan dan tetap makan banyak sesuai porsi yang biasa. Tapi tahukah Indah kalau ia semakin sulit tidur akhir-akhir ini. Ia pulang larut malam saat Indah sudah tidur dan berbaring miring memandang istrinya berlama-lama.Ketika dunia di luar terasa amat melelahkan, Arsya merasa sangat beruntung bisa pulang dan memandang hal-hal menenangkan di rumah. Saat Indah mengobrol soal masakan bersama Bu Anum dan Ratmi; saat Indah antusias memangkas bonsai lalu semenit kemudian menyesal karena salah memotong bagian tertentu; saat Indah menyibukkan diri menyusun buku-buku di perpustakaan kecil lalu datang menghampirinya dan bertanya tentang salah satu buku unik yang berhasil ditemukannya. Hanya dengan melihat hal itu Arsya sudah merasa di rumah.“Bu Indah pagi tadi ngingetin saya soal makan siang, Pak. Kata Bu Indah, tolong masuk ke ruangan Pak Arsya lima menit sebelum
Mungkin hari itu konsentrasinya sedang tidak baik untuk berurusan dengan dua komisaris. Arsya bukan anak kemarin sore yang mau duduk mendengarkan dua pria paruh baya memaksakan mimpi-mimpi mereka padanya. “Pak Arsya, Pak Arsya …. Kita sudah datang jauh-jauh dan meluangkan waktu menemui Anda. Bukan cuma Anda yang sibuk.” Pak Binsar berdiri dan nyaris mengejar Arsya ke pintu. Namun, langkah Sarah lebih gesit. Ia berdiri di ambang pintu dengan senyum yang berarti perintah tak terbantah. “Maaf, Pak. Silakan duduk kembali. Mari kita jadwalkan pertemuan dengan Pak Arsya yang berikutnya.” Sarah mengibaskan tangan menunjuk meja. Pak Binsar terlihat kesal namun menghentikan langkahnya. “Apa dia nggak tahu kalau kami ini komisaris? Apa dia nggak tahu apa wewenang kami? Kenapa terlihat sepele sekali? Etikanya ke orang tua pun nggak ada.” Pak Binsar berjalan kembali ke kursinya. Sarah mengikuti langkah kembali ke kursi. Ia duduk tenang membuka tablet dan mengecek jadwal Arsya. “Seperti yang b
“Anda mengejutkan saya,” ucap Arsya seraya tertawa. “Kenapa Anda tahu kalau saya memperhatikan pasangan yang ini?” Arsya menyentuh foto polaroid yang memang menarik perhatiannya. “Karena banyak orang yang ke sini bertanya soal mereka. Setelah mereka, saya belum punya foto pasangan lain untuk diletakkan di sini.” Wanita pemilik toko bunga mengusap bingkai tempat ia menempelkan puluhan foto pasangan di sana. “Apa Anda punya syarat tertentu agar foto bisa diletakkan di sana?” Arsya menjadi tertarik. “Sedikit contoh … saya menganggap cerita mereka sangat unik. Si pria tidak menyadari dirinya sudah bertahun-tahun jatuh cinta sampai dia rela menunggu si wanita dari remaja hingga tumbuh menjadi wanita dewasa yang sangat cantik. Dan … soal syarat agar foto pasangan saya letakkan di sini? Sebentar saya akan mengambil sesuatu.” Wanita pemilik toko bunga masuk ke bengkel kecilnya di sudut ruangan dan keluar dengan sebuah buket bunga yang sangat cantik. Ia menyerahkan buket bunga itu pada A