Share

Tekanan Masa Muda

            “Ayo naik!” Septian mengarahkan kepala ke jok belakang sepeda.

            Aika melipat bibir, ragu.

            “Kamu gak pengen saya denger penjelasan kamu?” timpal Septian, mengancam halus.

            Jari-jemari Aika meremas telapak tangannya. Menumbuhkan keyakinan kalau dia bisa menyelamatkan hubungan sahabatnya.

            Soalnya, Nada berharga banget bagi Aika. Ketika Aika stress karena masalah keluarga, sering absen karena fisiknya yang lemah, hingga murung akibat nilai yang turun, Nada selalu di sampingnya. Inilah saatnya Aika melakukan hal yang sama.

            Aika mengangguk, lalu menaiki jok.

            “Aaaa!” Baru saja Septian menyentuh pedal, Kepala Aika tersentak ke belakang.

            Kuncir kuda gadis itu dijambak oleh seseorang. Aika meringis kencang, tidak tahan dengan betapa sakitnya helaian rambut yang tercabut paksa.

            “TURUN GAK!” Nada menarik Aika yang sempoyongan menapakki tanah.

            “Nada sakit, Nad ....”

            Terkekeh kecewa, Nada melepas kasar jambakannya.

            “Oh, jadi ini alesan kamu mau bantu aku? Supaya bisa gantiin posisi aku?” cecar Nada.

            Tuduhan-tuduhan Nada seperti palu yang memukul kencang ubun-ubun Aika. Gadis itu mendesah, bibirnya bergetar pertanda air mata akan berjejal tumpah. Tapi, Aika berusaha menahan emosinya. Kalau tidak, dia bakal sulit menjelaskan.

            “Maksud kamu apa? Niat aku pulang bareng Kak Septian tuh mau bantu kamu!” tegas Aika.

            “Bantu?” desis Nada, “kenapa gak di sekolah aja? Kenapa gak langsung—”

            “Kenapa juga kamu ngatur-ngatur?” sela Septian. Setelah ribuan purnama cosplay jadi pajangan, akhirnya tuh cowok turun dari sepeda.

            “Kak Septian ngasih syarat pulang bareng biar dia mau dengerin penjelasan aku, Nada. Sumpah aku gak ada maksud lain ....” Aika memelas pada Septian. “Bener kan, Kak?”

            Tengkuk Aika refleks menekuk sebab Septian mendadak merangkulnya.

            “Nada, sekali lagi ... KITA UDAH PUTUS,” tegas Septian. “Mau kakak pulang sama siapa pun, kamu gak berhak ngatur.”

            “KAK SEPTIAN!” Aika melepaskan diri, beralih ke sisi Nada. Namun, Nada menghindar seraya terseguk-seguk. Urat-urat merah menjalar di mata gadis kurus itu.

            “Kamu gak bakal hidup tenang, Aika.”

            Hari demi hari berlalu dan kutukan Nada mengikat kehidupan remaja Aika. Cuma setengah hari Aika di sekolah, tapi rasanya mau mati.

            Semua orang menjauhi Aika.

            Setiap langkahnya diiringi tatapan sinis siswa-siswi. Cap PHO alias perusak hubungan orang seolah menempel di dahinya.

            Saat masuk ke kelas, kalimat ‘AIKA SI MUNAFIK’ terpampang di papan tulis dan ditujukan padanya.

            “Boleh aku gabung?” cetus Aika mendekati salah satu meja kantin. Aika tahu gak bakal ada yang menjawab, jadi dia langsung duduk dan meletakkan bekal makanannya.

            Cewek-cewek yang semula rame mengobrol, bisu seketika. Saling berpandangan satu sama lain, seakan-akan Aika adalah hama yang menakutkan. Tak lama kemudian, semua cewek di meja itu kompak pergi.

            Aika yang ditinggalkan sendiri, hanya bisa memaksa sesuap nasi masuk ke dalam mulutnya sambil menahan tangis.

            “Eh, itu gebetan lu bukan, Sep?” lontar suara cowok  asing yang kebetulan lewat.

            “Males, dia lagi problematik. Gue terlalu sibuk dibawa-bawa masalah orang lain.”

            Panas menyerang tenggorokan Aika. Jelas terdengar yang menyahut itu suara Septian, penyebab kekacauan di hidupnya. Dan sekarang, enteng sekali dia bilang seperti itu? Seakan-akan dialah yang bakal jadi korban, padahal tidak ada seorang pun yang menyalahkan dia.

            Aika membekam mulutnya. Makanan yang tertahan di mulut, berjejalan terdorong rasa mual. Bercampur geraman dan emosi, gadis itu mengegas menyusul Septian. Lalu, sengaja menabrak si cowok gak tahu diri, kemudian memuntahkan makanan di mulut di punggungnya.

            Septian mengerang kebauan, merasakan sesuatu basah dipunggungnya.

            Teman Septian seketika berkicau, “Ewh ... Sep, liat ....”

            Sementara Septian berbalik sambil geram, Aika menorehkan senyum polos dan puas sekaligus.

            “Woy!” Tatapan marah Septian membuat jantung gadis itu berdegup kencang. Kakinya gak mampu menopang tubuh lagi. Aika ambruk di lantai sambil mendengkur pelan.

***

            Selama dijalan pulang, Aika berpikir keras tentang apa yang harus dilakukan. Sekolah itu bukan tempat belajar lagi, melainkan neraka. Setiap pagi, langkahnya akan semakin berat.

            Tidak ada gunanya. Semua ini sudah tak sehat.

            Lama kelamaan, Aika bisa-bisa depresi akut dan mati perlahan.

            Sesampai di rumah, Aika sudah bertekad untuk bicara pada ibunya. Persetan orang-orang menganggapnya tukang ngadu atau cemen.

            Tidak ada yang bisa melindungi dirimu, selain keputusanmu sendiri.

            Meremas kencang tali tasnya, Aika menaiki tangga spiral dengan ngebut menuju kamar ibu. Namun, pintu yang sedikit terbuka menorehkan pemandangan memilukan. Kaki Aika membatu, paru-parunya sesak mendengar isakkan sang ibu.

            “Halo? Ini Amara, Bu. Maaf, Bu ... Dendi ada di sana?” ujar ibunya Aika, menelepon seseorang.

            Sepertinya jawaban mengecewakan diterima ibunya, dan itulah yang membuat Aika geram.

            Pintu dibanting keras. Aika lantas menerobos masuk dengan emosi meluap-luap.

            “Apa Aika bilang, Bu!” pekik Aika, “Si Dendi itu gak bakal bener jadi ayah tiri Aika!”

            “AIKA!” Amara tersentak dari tepi kasur. Berdiri seraya memelototi anaknya dengan air mata mulai mengering.

            “Kenapa? Terbukti, kan sekarang? Udah berkali-kali laki-laki itu pergi tanpa ngomong apa pun. Terus dateng seenaknya tanpa dosa, dan ibu kenapa masih mau nikah sama dia?”

            “Aika, ini urusan orang gede. Masuk ke kamar kamu!” bentak sang ibu.

            Bibir Aika bergetar hebat. Air matanya terjun bebas, sementara kepalan tangannya memukul-mukul dada.

            “Urusan ibu itu ngaruh buat aku! Buat mental aku! Mana ada anak yang tahan ibunya nangis terus? Aika gak minta ayah baru ... Aika cuma pengen kita berdua bahagia!”

            Amara hampir kehabisan kata-kata. Namun, wanita itu tidak membalas tangisan anak semata wayangnya itu.

            “Aika, ibu gak pernah minta kamu mikirin masalah ibu. Kamu tutup mata, tutup telinga. Fokus sama sekolah kamu. Gak usah mikir yang aneh-aneh,” tegas Amara.

            Sekolah.

            Benar, Aika nyaris melupakannya. Kebetulan sekali semua ini sejenis, berakar pada yang namanya laki-laki.

            “Gimana bisa Aika fokus, sementara ibu tiap hari nangis? Gimana, Bu?” teriak Aika. Dia menelan ludah. “Oh iya, sekalian Aika mau bilang, kalau Aika pengen pindah sekolah.”

            “APA?” Amara mengeraskan rahang. “Kenapa? Kamu ada masalah apa?”

            “Enggak ada apa-apa. Aika udah gak betah aja. Setuju gak setuju, Aika tetep pengen pindah!”

            “Aika, kamu tahu kan ibu super sibuk? Minggu depan ibu ada perjalanan bisnis ke Hongkong selama 6 bulan.”

            Helaan napas berat menandakan stok oksigen Aika yang seolah-olah habis. Dunia menekan gadis itu terlalu keras.

            “Kalau gitu, Aika bakal pending sekolah dan ulang dari kelas 10 aja begitu ibu pulang.”

            Tenaga Amara terkuras hebat. “Aika ... sebenernya kamu itu kenapa? Kamu kan sebentar lagi naik ke kelas 12 ....”

            “Ini juga urusan aku, Bu. Aku capek. Bener-bener capek. Aika pengen mulai dari awal,” tanda Aika hendak keluar kamar, tapi dia berhenti sesaat—menoleh nanar pada ibunya.

            “Kalau si Dendi datang lagi, Aika bakal bilang ibu tinggal di Hongkong.”

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status