Share

Dongeng Mengesalkan

“Menurut saya, kesurupan itu bukan karena setan dan sebangsanya.”

            Bibir Aika mengerucut saat Arkaf berdiri di sampingnya. Kalimat pertama yang dilontarkan cowok itu sudah memancing Aika. Sah-sah saja sih kalau berbeda pendapat, tapi caranya menyampaikan sambil melirik aneh Aika membuat gadis itu jengkel. Tatapan superior dan alis berkerut-kerut.

            “Saya tahu ‘mereka yang tak terlihat’ ada, tapi seringkali kita tidak intropeksi diri. Siapa tahu fenomena kesurupan itu hanya akal-akalan beberapa siswa atau memang kondisi mental siswa yang tak stabil?”

            Levin mengembuskan napas kasar. “Eh anjir makin lama nih. Si Arkaf ngeluarin mode ngeselin lagi.” Dia menoleh ke belakang, meringis. Masih ada cowok OSIS kekar yang jaga pintu.

            “Sial, caranya gimana ya?” gumam Levin memutar keras otak.

            “Atas dasar apa kamu nuduh mereka kayak gitu? Kamu ngalamin langsung?” cecar Aika. Tak tahu kenapa bicaranya spontan meninggi, lepas terkontrol.

            “Terus yang bener gimana? Coba kamu buktiin dengan sains supaya mereka gak kelihatan bohong?”

            “WOY BANGSAT!” Kursi terjungkal disusul geraman nyaring.

            “RAWWWWR ARGHHHH!”

            Semua siswa refleks menjerit melihat pemandangan gila yang terjadi. Sebagian siswa bahkan berhamburan keluar. Sambil mengibas-ibaskan jaket kulit hitamnya ke segala arah, Levin berlari ke arah Arkaf. Bergelantung. Mencakar-cakar dada kawannya itu.

            “AING MAUNG! AUUU!”

            Arkaf memutar bola mata. “Emang maung suaranya AUUU?” tiru Arkaf sambil ikut monyong.

            Levin tak menyerah. Ia gelantungan di pundak Arkaf, sementara Arkaf mengukuhkan posisinya.

            “Ikutin rencana gue ngapa,” bisik Levin.

            Anggota OSIS yang semula berjaga di pintu bersama pasukannya hendak mendekat.

            “Gak apa-apa, biarin. Dia temen saya.”

            Sementara Arkaf mencegah seksi keamanan yang semuanya cowok, perhatian Levin beralih ke Aika. Wajah cewek itu pucat. Pelipisnya berkeringat, satu tangannya juga menekan perut. Kadang-kadang, dia menguap dengan mata hampir terkatup.

            Secara tak sengaja, Levin menangkap noda merah di bagian belakang rok hitamnya.

            Aika hendak berbalik untuk menyimpan mic ke meja, tapi tungkai kakinya lemas dan dia nyaris ambruk ke lantai.

            Sebelum itu terjadi, Levin lebih dulu memelesat pada Aika. Kedua tangannya mencengkeram bahu cewek itu, lalu didorong hingga membentur dinding.

            Setan-setan yang jadi korban gibah pun mungkin ikut cengo menyaksikan tingkah remaja itu.

            Aika belum berani membuka mata, terlampau takut pada situasi dadakan ini. Pokoknya, dia takut digigit cowok kesurupan ini.

            “Kode merah. Lo bocor ya?” bisik Levin.

            Aika akhirnya tersentak melek walau matanya panas, sangat mengantuk. Jam dunia seakan mengaret saat mata mereka bertemu, sangat dekat. Cewek itu bisa melihat refleksinya di pupil cokelat keemasan Levin.

            “Pura-pura pingsan aja, nanti gue gendong.”

            Ini adalah pertama kalinya, dan menjadi momen tak terlupa.

            Aika ikhlas menyandarkan kepala di dada seseorang. Mempercayakan nasib buruk yang biasa dilalui sendiri, sekarang ditangani bersama.

            Levin sigap mengikat jaketnya di pinggang Aika. Jantung cewek itu terasa melambung ketika tubuhnya diangkat. Ia mencoba berpikir positif, mustahil akan jatuh sebab Levin memeganginya erat—seperti seorang ayah yang pertama kali menggendong bayi baru lahir.

            “Lo mau dibantu?” tanya Arkaf. Anak-anak OSIS di belakangnya juga tampak siap.

            “Gak usah, Kaf.” Levin beralih ke si kakel MC. “Kak, tolong anter ke UKS.”

 

“Hari itu ...

ketika kedua tangannya terpatri di tubuh ini—menjagaku erat agar tak terjatuh dan menutupi hal yang memalukan.

Lembah kesepianku berubah menjadi ladang yang subur. Benih-benih bunga berjatuhan di sana.

Namun, tidak ada yang tahu akan jadi apa tempat itu di masa depan.”

—    Aika’s Diary.

***

            “Halo, Adek? Adek udah bisa bangun sekarang.” Suara si MC cewek membangkitkan pikiran Aika yang diliputi rasa sesal. Ia terduduk di ranjang, sesaat menguat dan meregangkan badan.

            Aika tertegun, mengingat kembali tatapan dalam cowok tadi.

            Semestinya dia membuka mata lebih awal. Dia ingin melihat lebih sering cowok yang tanpa alasan membantunya, tapi entah kenapa dia juga merasa malu.

            Meski tak separah bila aibnya kelihatan sama banyak cowok OSIS. Dia bakal jadi bahan omongan kakak kelas di hari pertama sekolah.

            “Dek, maaf ya. Harusnya kakak yang tau lebih dulu kalau kamu lagi merah,” ujar kakak kelas MC sambil menyodorkan bungkusan, “ini pembalutnya. Toilet ada di sebelah.”

            “Makasih, Kak ....” Aika berdiri dan baru sadar jaket kulit milik cowok itu masih melilit di pinggangnya.

            “Eh, kakak tau gak siapa cowok yang bawa aku ke sini? Mau balikin jaketnya, hehe,” timpal Aika.

“Oh kakak tau, namanya lagi beken banget. Temen-temen cewek kakak pada ngomongin dia gara-gara pada tukeran W*, hahaha,” canda kakel itu.

“Namanya Levin Jordan, kelas 10-C kalau gak salah. Kamu tukeran W* juga? Wah, sukses deh ... saingan kamu bejibun soalnya. Semoga bisa jadian ya.”

            Jadi, namanya Levin? Aika meremas dada, lalu melirik jam pendeteksi detak jantung. Normal kok.

Aika juga sengaja memelototkan matanya. “Kok bisa sih gak ngantuk?”

            “Hey?” tegur si kakak kelas.

            Terkesiap, Aika spontan melempar senyum tipis seraya menggeleng.

            “Enggak kak. Aku cuma mau balikkin jaketnya sama bilang makasih aja. Kalau gitu, aku duluan ya, Kak. Makasih juga udah bantu.”

 

***

 

            Kegiatan belajar mengajar tentu saja belum berjalan sebagaimana mestinya. Tiap kelas diselimuti kebebasan yang bising, dan di sanalah Aika. Duduk di barisan pertama bangku kedua.

            Papan tulis adalah spot kesukaannya sejak SD. Bagi si langganan juara kelas, memandangi benda putih itu punya atmosfer yang tak jauh berbeda dari nonton bioskop. Semakin jelas tulisan tinta dan suara guru, Aika lega bisa menangkap pelajaran sebaik mungkin.

            Namun masalahnya, papan tulis itu sedang kosong dan pikiran Aika mengawang ke masa-masa kelam. Kejadian Levin juga memancing ingatan yang menjerumuskannya ke lembah kesepian.

            Sanggup gak ya, aku pacaran lagi? Aika menumpuk kedua tangannya di atas meja, menjatuhkan dahi dan tenggelam dalam kegelapan.

 

***

 

Haha, kasian gak ada temen ya lo!

Cewek munafik!

Cari muka terooosss!

Dasar PHO! Perusak hubungan orang!

6 bulan yang lalu, suara-suara itulah yang santer ditujukan pada Aika.

            Berpikir bahwa semua orang akan memperlakukanmu sama baiknya adalah suatu kebodohan.

            Sekolah menengah atas baru ditapakki, dan Aika langsung ditampar agar meninggalkan indahnya masa kecil.

SELAMAT DATANG DI MASA REMAJA YANG PENUH DEPRESI!

            “Mau aku bantuin ngomong ke pacar kamu?”

            Semua berawal dari penawaran konyol Aika pada sahabatnya di SMA Bakti Cakrawala, Nada.

            “Ngo-ngo-ngomong gimana?” tanya Nada sesegukan.

            “Pokoknya aku bakal jelasin kalau semalem kamu sama Dani gak jalan berdua, tapi sama aku juga.” Aika mengusap-usap punggung sahabatnya. “Udah jangan nangis ....”

            “Tapi Kak Septian udah gak mau denger apa-apa lagi pas aku mau jelasin. Dia langsung mutusin aku, Aika. Kita udah putus,” lirih Nada.

            “Makanya aku harus ngomong ke dia. Yang penting itu, fakta kalau kita ngerencanain ke pameran tuh bertiga,” kukuh Aika, lalu beringsut dari bangku. “Pokoknya aku coba dulu ya. Aku ngerasa bersalah udah pulang duluan.”

            Setelah Nada setuju, Aika bergegas mencari Septian. Kakak kelasnya itu sulit ditemui di kelas sebab aktif organisasi. Aika muter-muter sekolah, dari mulai kelas demi kelas, ruang OSIS, kantin, lapangan, terus nunggu di depan toilet.

            Sampai akhirnya tinggal tersisa satu tempat: rooftop.

            “Kak Septian!” panggil Aika sedikit berteriak.

            Cowok berambut cepak itu menoleh. Kelopak matanya tersentak ketika Aika mendekat. Bibir Septian berkedut menahan senyum. Dia tak pernah merasa se-senang ini bertemu sosok Aika yang manis.

            “Siapa ...?”

            “Maaf, Kak ... aku Aika, temennya Nada.” Ekspresi Septian mengetus.

            Aika menelan ludah. “Maaf kak sebelumnya, tapi aku mau bilang kalau—”

            “Udah basi, saya gak mau denger apa-apa lagi. Lagian, kami udah putus,” sela Septian, memalingkan wajah.

            “Euu tapi ... aku mesti ngejelasin sesuatu, Kak. Please—”

            Pelupuk mata Septian melirik Aika. “Harus banget?”

            Anggukan pasrah Aika disambut senyum miring Septian. Cowok itu tampak puas karena merasa jadi orang penting.

            “Kalau gitu ada syaratnya,” cetus Septian.

            “Syarat?”

            “Pulang sekolah nanti biar saya yang anter. Tapi, gausah bilang Nada, oke?”

            “Emangnya kenapa kalau Nada tau?” tanya Aika keheranan.

            “Saya gak mau kamu repot-repot izin sama dia. Dia bukan siapa-siapa saya lagi, jadi kamu harus hargai saya juga.”

            “Iya deh, Kak,” ucap Aika, sesaat menunduk lalu mengangkat kepalanya bersemangat. “Tapi, aku yakin kakak pasti berubah pikiran!”

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status