Share

Awal dari Rasa

Panel LED bergulir lamban di plafon SMA Internasional Andenvers.

            Tulisan ‘Selamat Datang Para Peserta Didik Baru’ diprogram dengan warna-warna cerah: merah, kuning, hijau—tampak cantik karena berpadu birunya langit.

            Begitu gerbang emas bergeser. Ratusan pasang sepatu melangkah maju, disambut  oleh para kakak kelas berjajar meniup terompet dan menerbangkan confetti. Sudah jadi aturan tersendiri untuk sekolah menyambut adik baru.

            Timbal baliknya, ketika ujian nasional tiba, para adik kelas melakukan hal yang sama demi menyemangati sang kakak.

            Sorak-sorai ditanggapi dengan wajah ceria anak-anak baru itu. Beberapa di antara mereka justru menutupi senyum malu dan berlari kecil. Mereka sama sekali tidak mengira akan diperhatikan sedemikian rupa.

            Namun bagi gadis bersepatu pink pastel, hal ini bagaikan selebrasi kemenangan.

            Dia berhenti sejenak. Sebelah pipinya membentuk lekuk kecil ketika tersenyum.

            Gak sia-sia tunda sekolah setahun, Pikirnya sambil satu tangan memayungi confetti.

            Di tengah pensyukurannya itu, enggak bisa dipungkiri ada banyak ketakutan yang menghantui dirinya. Perihal jenis manusia apa saja yang akan ditemuinya; apa keadaan di sana akan sesulit sebelumnya?

            Aika tahu hidupnya selalu nggak mudah.

            “Anak ibu didiagnosa Narkolepsi, yaitu suatu kondisi di mana Ananda Aika akan mengalami serangan tidur mendadak. Benturan otak yang terjadi mengakibatkan terganggunya fungsi otak pengatur pusat mimpi. Namun jangan khawatir, untuk saat ini, kami mendapati Narkolepsinya Aika berada di titik yang ringan.”

            “Huft ….” Aika membuang napas berat. “Gakpapa. Inget kata mama, selama aku gak kagetan dan jaga jarak sama cowok, semua bakal baik-baik aja. Lagian, aku bawa bantal!” gumam Aika. Tangannya menepuk-nepuk tas punggung, menenangkan diri sendiri.

            BUK! Gadis itu nyaris tersusruk. Walau tubuh rampingnya dan kelihatan mudah ambruk kayak kertas, dia selamat karena refleks tungkai kaki yang bagus. Hanya saja, guncangan membuat tanda namanya lepas dari seragam.

            “Ssh!” gerutunya. Ia menyelipkan rambut lurusnya ke telinga, hendak berjongkok. Namun, sebuah tangan menyalip dan mengambil benda itu.

            “Sorry, Aika Bintang Callista?” ucapnya membaca yang tertulis di tanda nama.

            “Iya gak pa—” Perut Aika terasa ada yang menggelitik karena tangannya tiba-tiba digenggam seseorang. Tanda namanya dimasukkan ke dalam ruas-ruas jari. Namun, pergerakan lembut itu seakan menghipnotis Aika. Terserap dalam dunia penuh lope-lope di udara.

            Nanti nikah pake adat apa, ya? Halu Aika. Harap maklum. Akibat terlalu lama kesepian, gadis itu memang ngebet dibaperin, tapi banyak takutnya.

            Sayang sekali, imajinasi Aika harus ditebas karena cowok ber-anting bulat itu menyeberang, cepat sekali.

            Aika sampai tahan napas dan cuma sempat melihat punggungnya. Dia beralih ke cewek lain yang punya postur tubuh bak model. Tas cewek itu digantungkan di bahunya yang nganggur, sementara di bahu yang lain ada tas hitam miliknya—warna hitam, ada tengkoraknya.

            Aika memanyunkan bibir.

            “Cowok aneh! Baik kok ke semua cewek.”

 

***

 

            “Aneh?” dengus cowok ber-anting tadi. Bicaranya agak meninggi karena aula masih bising. Belum lagi panitia OSIS yang tas-tes-tas-tes mulu—mengecek mic.

            “O MY GOSH, Arkaf! Gue udah bilang berkali-kali, anting gue tuh ciri khas seorang Levin Jordan. Cowok pake anting tuh derajatnya sama kek tulang kawat otot besi!”

            Dia mengacak-acak rambut, lalu membelahnya jadi dua bagian. Hampir mencolok mata.

            “Iya dah, lo keren.” Arkaf merapikan dasi, tetap bersikap tenang meski agak kesal. Baginya, penampilan Levin bukan cerminan siswa yang baik. Tiap tahun, tiap jenjang pendidikan pula Arkaf menyinggung gaya sahabat kecilnya.

            Siapa tahu Levin mau sedikit berperawakan rapi ke sekolah, tapi nihil. Ya, lagian sekolah mereka sekarang konon tak terlalu peduli soal penampilan.

            “Tadi lo ke mana dah, malah ninggalin gue di parkiran?” tanya Arkaf.

            Levin menjulurkan lidah di depan kaca mini, membenarkan tindikan.

            “Biasa ... cari pemandangan.”

            “Parah lo,” kekeh Arkaf.

            Tangannya bersidekap sambil geleng-geleng kepala. Kebiasaan sahabat kecilnya itu sudah mendarah daging sejak SD. Dia pasti selalu keliling menandai cewek yang bakal jadi mangsanya.

“Jadi, berapa cewek yang udah berhasil tukeran W*?”

            “Anjir, banyak banget. Betah dah gue sekolah di sini. Selain bebas, banyak tipe gue juga.”

            “Perasaan semua cewek itu tipe lo deh?”

            Levin berdecih. Memelotot kesal pada Arkaf sambil tangan bertengger di sebelah pundak Arkaf.

            “Brader, semakin gue dewasa, kualitas yang gue mau semakin tinggi!”

            Arkaf membalas Levin dengan tatapan sinis.

            “Oh ya? Seru nih. Coba kasih tau gue tipe cewek apa yang menurut lo low quality?”

            “L-loww apa?” Smokey eyes Levin berkedut.

            “Low quality, kualitas rendah—”

            “Ah! Gampang! Gini nih—”

 

[YAY! HELLO EVERYONE! SELAMAT BERGABUNG TEMAN-TEMAN SEKALIAN DI SEKOLAH INTERNASIONAL ANDENVERS!]

 

            Levin dan Arkaf spontan membenarkan posisi duduk. Bersikap formal selagi masa pengenalan sekolah digelar. Mereka menyimak detik demi detik, menit demi menit, hampir sejam terlewati. Levin sampai hafal warna suara empuk MC cewek yang public speaking-nya pro.

            Kakak kelas itu benar-benar menguasai materi sekolah. Dari mulai struktur organisasi, sistem sekolah, regulasi, dan cara belajar dijelaskan super lengkap. Namun justru membuat Levin menguap berkali-kali. Bagi dia, semua ini lebih mirip kayak sidang PBB dibanding MPLS alias masa pengenalan sekolah.

 

[NAH, AKHIRNYA SELESAI JUGA MATERI MENGENAI SEKOLAH INI! SAATNYA SESI TANYA-JAWAB. SILAKAN ACUNGKAN TANGAN KALIAN, YA!]

 

            “Vin, vin,” bisik Arkaf menarik hidung kawannya ke atas, biar mirip babi.

            Levin yang hampir terpejam spontan melek dan mengenyahkan tangan Arkaf.

             “Apa sih? udah selese?”

            “Gak tau, tapi materinya sih udah.”

            “Elah, yaudah bangunin gue ntar kalau—”

            “Heh, gue mau nanya dulu,” cetus Arkaf.

            “Apa sih lo?”

            “Cewek yang jadi MC itu tipe lo juga gak?”

            Mata elang Levin menyipit, sedikit mengangkat kepala. Telunjuknya menggosok pelan bibir bawah sambil berdeham datar.

            “Kayaknya gak. Terlalu pinter ngomong, yang ada gombalan gue disela mulu.”

            Cukup sulit buat Arkaf menahan diri buat tidak terbahak-bahak. Dia paling suka dengan sikap Levin yang minder karena cewek.

            “Kenapa? Lo naksir sama cewek itu?” celetuk Levin.

            Arkaf mengerjapkan mata cepat, mendadak salah tingkah dan bingung merespons.

            “Ahay, ketebak. Pokoknya cewek yang bukan tipe gue berarti tipe lo,” decak Levin.

[ADA YANG MAU BERTANYA LAGI TENTANG SEKOLAH INI?]

            “Ssst! Udah nyimak lagi,” protes Arkaf berbarengan dengan tangan seseorang yang mengacung.

            “Halo, Saya Aika dari kelas 10-A. Izin bertanya, apa di sekolah ini pernah atau mungkin sering terjadi kesurupan massal? Apa sekolah ini tergolong angker?” tanyanya berseri-seri.

[WAH, SERU NIH! AYO SINI KAMU MAJU DULU KE DEPAN.]

            Arkaf mengarahkan pandangan Levin ke sosok Aika yang sudah berdiri.

            “Kalau cewek itu gimana?”

            Kaki gak bisa diem, rok ngelebihi lutut, kedua tangan dilipat ke punggung, bibir yang senyum mulu, tatapan cerah nusuk, rambut panjang ... Pikiran Levin buntu. Secara penampilan, bukan tipe ideal Levin banget. Tapi, aura cewek itu juga tak bisa ditolak.

            Seolah ketika mencari jawaban, dia selalu menabrak dinding putih besar. Baru kali ini dia perlu waktu lama buat menafsirkan apa yang dia rasakan.

 

[WALAUPUN DI SINI MODERN, TAPI SEBENARNYA ... SEKOLAH INI PERNAH KEJADIAN KESURUPAN MASSAL LOH! TEPATNYA 2 TAHUN LALU PAS LAGI ADA UJIAN NASIONAL LAGI.

MENURUT KAMU GIMANA?

APA KAMU PERCAYA KARENA EKSISTENSI MAKHLUK HALUS ATAU ADA FAKTOR LAIN?]

 

            “Umm ... menurut saya, memang benar karena adanya makhluk halus!” sahut Aika bersemangat. Gusi-gusinya tampak karena dia menorehkan senyum lebar.

             “Saya memang gak bisa lihat mereka, tapi gak semua yang kita liat adalah kebenaran. Saya percaya kesurupan massal itu terjadi karena kita yang hidup berdampingan tak bisa memuaskan kedua belah pihak.”

            “Vin???” Arkaf menyenggol. Jawaban yang dinanti-nanti gak kunjung terucap.

            “Kalau lo? Kalau lo gimana?” ucap Levin sengaja mengalihkan.

            Levin terperajat karena Arkaf tiba-tiba berdiri. Menjulang di atasnya sambil merapikan dasi lagi.

            “Coba lo tebak,” ujar Arkaf, lalu mengacungkan tangan.

            “Boleh saya berbagi pendapat?

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status