[POV Adrian]
-----
Kira-kira siapa saksi selanjutnya, kenapa lama sekali datang ke mari? Apa dia--
Pintu dibuka dari luar diikuti suara kamera dipencet ketika cahaya flash mengguyur sosok itu. Bedebah, Alex! Kenapa dia jadi saksi?
Dia berdiri gagah seperti calon Presiden akan kampanye, senyumnya menyebalkan, wajah pun menjijikkan. Harusnya kuhajar dia dulu ketika pertama kali bertemu.
Sebelum Hakim bicara, dia menyela. "Saya di sini ingin menarik laporan tentang mesin yang dicuri karena memang, saya yang salah menawari Adrian mesin mobil. Semua salah paham."
Semua orang berbisik-bisik, kilatan flash menyilaukan, keadaan tidak kondusif hingga Hakim mengetuk palu.
[POV Adrian]------Suara tamparan menggema dalam ruang lertemuan khusus. Ibu benar-benar murka memberi tatto telapak tangan merah ke pipiku."Kenapa kau tidak mengerti, arti kalimat jangan membuat masalah!" Suara beliau seperti letusan gunung Pompey, meluluhlantakkan hatiku.Aku harus apa? Semua memang salahku karena terlalu bodoh hingga tertelan perangkap hina Alex, yang bocah kecil pun bisa melihat dengan jelas. Aku tak berani memandang balik reaksi Ibu, juga Al dan Kim. Aku bagai sampah yang mencemari keluarga Bened, ini kali oertama aku merasa demikian hina."Ibu, cukup," pinta Alfred, menarik Ibu hingga wajah beliau terbenam ke dada berbalut kemeja, disusul suara sesenggakan pilu. "Semua akan baik-baik saja, semua akan--"
[POV Fany]------"Apa salah jika ingin ke gereja?" sentakku padanya, kingkong berkemeja hitam yang berdiri gagah mencegat di depan kamar.Oh Tuhan dia benar-benar tuli. Aku dorong sekuat tenaga tubuh kekarnya, tapi hanya mendapat lelah. "Minggir!""Ada apa teriak-teriak?" Suara langkah mendekat. Kali ini pria besar membuka jalan untuk Alex.Rambut kuningnya berminyak, sesuatu yang kubenci. Jentikan jarinya dengan mudah mengusir pria berkulit hitam pergi. Sekarang hanya ada aku dan dia."Alex, kenapa aku dikurung beberapa hari di rumah--di kamar?""Ini perintah Ibumu, aku tidak bisa berbuat apa-apa." Wajahnya terlihat serius, juga
[POV Fany]-----Alex membatalkan tuntutan, sekarang giliranku menepati janji. Menikahinya, apa ini benar?Berita di TV menayangkan Alex membatalkan tuntutan secara langsung. Ketika kamera beralih pada Adrian, aku merangkak maju mengelus layar.Jariku menyentuh tepat di bibir, hingga tak sadar air mata mengalir. Andai bisa ke sana, pasti kurangkul erat dia, menangis di dadanya yang empuk nyaman.Ya Tuhan, baru beberapa Minggu tidak bertemu, hatiku seperti merindu kasih bertahun-tahun. Setidaknya melihat wajah segar, tanpa luka, membuatku sedikit tenang.Dia baik-baik saja, itu yang utama. Tiba-tiba berita berganti dengan berita pemilihan senator negara bagian California. Muka Yuan Zulvian mendomi
[POV Fany]-----Musik jazz smooth mendominasi ruang megah berkarpet merah. Aroma wine dan keju sayup menyapa hidung dari arah bar classic.Pria tua itu menantiku. Dari jauh tampak keriput di wajah tirusnya, sisa ketampanan masa muda. Mungkin dulu dia seperti Alex. Kasihan dia, memiliki istri sejahat Ibuku. Aku tidak mengada-ngada, jika cerita Alex benar dua wanita itu sejenis dengan Iblis.Senggolan lembut di lengan menyadarkanku dari lamunan. Wajah Alex sedikit condong ke samping menghampiri telingaku. Lembut hangat menyentuh telinga ketika dia berbisik,"Maju, jangan membuatnya menunggu.""Dia Ayahmu?""Ya, kamu kira siapa, kakekku? Kumohon Fany jangan m
[POV Adrian] ----- Trustword seperti bocah sekolah ketahuan merokok oleh kawanan guru, bedanya dengan murid, Trustword melawan. "Keluar, atau aku panggil--" "Tuan Trustword jika kamu ingin disidang kelompok advokasi Amerika, teruslah menusuk dari belalang." Aku tak tahu apa maksud perkataan pria berjas putih, tapi Trustword bermandi keringat dingin. Dia mengelap kening dan leher, terlebih ketika pria berjas putih mengoper stopmap hingga foto dan dokumen tumpah ke meja. Aku memungut selembar foto terdekat. Foto Trustword berbicara dengan si bedebah Alex. "Apa maksudnya ini Tuan Trustword?" Jakunnya seperti bola bekel memantul-mantul di kerongkongannya. "Itu, sebenarnya--"
[POV Adrian] ----- Situasi ruang bertahan dalam hening seperti di pemakaman. Mereka berusaha santai, tapi dari raut wajah mereka hanya terlukis ketegangan yang nyata. Bukan hanya mereka, aku pun susah bernapas dalam keadaan mencekam. Mancini mengecek jam tangan mewah miliknya. "Waktu istirahat pengadilan sudah lewat sepuluh menit Santino." Santino tetap bungkam, netranya tak beranjak menyorotiku. Andai bisa membaca isi hati dan pikirannya, pasti lebih enak. Hatiku berkata mereka cahaya yang membimbingku keluar dari kelam masalah pekat. Sementara pikiranku bilang, tiada manusia saling bantu kecuali punya mau, kecuali dia manusia setengah dewa atau keluarga baik, atau orang spesial--hei jangan salahkan aku untuk ragu. Dunia i
[POV Fany] ----- Aku tak pernah bangun dalam keadaan ringan seperti kapas, juga berat seperti membawa batu bata di kepala dalam waktu bersamaan. Apa yang terjadi tadi malam? Yang aku ingat hanya Alex melepas kemeja, lalu semua menjadi putih. Tidak, "Tidak!" Aku duduk di kasur empuk berseprai rapi. Kubuka selimut tebal yang menutupi bagian depan badanku. Syukurlah pakaianku masih sama seperti tadi malam. Aku memejam mengelus dada. Terima kasih Tuhan, terima kasih. Mungkin tadi malam aku terlalu banyak minum hingga membayangkan hal yang tidak-tidak. "Auh." Selangkanganku seperti terbakar, seakan ada yang memasukkan timah di sana. Apa wine yang kuminum membuat reaksi aneh ini? Perlahan aku menapak karpet putih. Cahaya menerobos masuk
[POV Fany]-----Mengutip kata-kata bijak dari orang paling tidak bijak yang aku kenal, 'doa yang penting berasal dari hati langsung ke Tuhan'. Mau di gereja California, atau di New York, sama saja. Yang penting doaku tulus.Pantatku mati rasa setelah lima jam duduk di kursi kayu panjang dalam gereja, memandang patung raksasa Jesus tersalib. Doa-ku simpel, kesehatan Adrian, semoga dia cepat bebas. Doa-ku yang lain tolong beri kesempatan untukku bertemu dengan Ayah.Derap kaki mendekat, dia duduk di sebelahku. "Kamu betah berada di sini?" bisik Alex.Anggukan aku kira cukup untuk menjawabnya supaya dia pergi, tapi Alex malah memejam sambil merapatkan kedua telapak tangan ke depan dada. Dia berdoa?Lucunya, bukan membatin tapi dia se