Adrian
Tempatku bekerja adalah surga bagiku, mampu merubah mood buruk menjadi cerah. Beruntung aku mengikuti nasihat Carl untuk bekerja di sini. Gaji pertama, $750.
"Lihat? Senyummu manis sekali setelah menerima uang," komentar Carl.
"Jangan ganggu dia Carl, nanti hasil menato-nya jelek," sahut teman kerjaku.
Carl duduk di sofa tunggu menghitung uang kas toko. Matanya bersinar tak berkedip. Tawanya pun mulai mirip Tuan John.
"Dua bulan lagi aku bisa beli motor baru," gumamnya.
"Belajar dulu naik motor," sahutku.
Dia tetap tertawa-tawa tanpa beban. Dasar mata duitan.
Setelah 'pasien'-ku puas aku hendak menggarap pasien lain, tapi bocah kecil masuk ke tempatku bekerja. Anak Elisa itu menarik-narik bagian bawah kaosku.
Melihat keponakannya menggangguku bekerja, Carl berkomentar, “Bocah, kalau mau main nanti sore, ya, sekarang Paman Adrian sedang bekerja."
Bo
Adrian Aku duduk di kursi panjang. Banyak penjahat di sini sedang ditanya oleh polisi, sepertinya terjadi kerusuhan. "Adrian!" Carl duduk di sebelahku, mengamati borgol yang kupakai. "Gelang yang bagus." "Mau mencoba?" "Carl, jangan mengejeknya. Adrian, maaf. Karena hal ini kamu--" "Tidak masalah." Walau masalah ini begitu besar, dia tak perlu tahu. Wanita tidak perlu terbebani oleh urusan pria. Elisa duduk di sisiku yang lain. Daripada melihat Carl, lebih enak melihat bibi muda. Wajahnya merana, penuh beban tak terlihat. Andai tidak diborgol aku pasti menggenggam telapak tangannya, mengusap pipi lembut itu. Sekarang aku hanya bisa ber
Adrian Polisi menanyaiku macam-macam, mulai pertanyaan normal seperti alamat, pekerjaan, status, hingga kartu resmi Imigran. "Aku asli warga Amerika, lahir dan besar di California. Jadi mana mungkin aku punya kartu Imigran." "Kamu yakin? Apa orang tuamu memiliki darah Italia?" Pundakku naik turun. Aku tak pernah bertemu Nenek dan Kakek. "Yang jelas Ibu dan Ayahku orang Amerika." Sesekali aku mengintip pintu ruang komisaris. Semoga dia ingat siapa diriku. Banyak hal yang ingin kubicarakan, terlebih tentang isi pembicaraannya dengan mendiang Ayah dulu. Polisi kekar berengseknpacar Sea masuk ke ruang interogasi. Entah apa yang dia bisikkan pada polisi yang sedang menginterogasik
Fany Aku duduk di kursi depan, menutup pintu mobil. "Jangan lupa sabuk pengaman," ujar Casandra, mengamati dengan penuh perhatian ketika aku memakai sabuk pengaman. "Siap?" Senyum tipisnya semakin jelas ketika aku mengangguk, lalu dia memacu mobil, Peugeot hitamnya pergi dari kampus, tak lupa menglakson beberapa teman yang melambai kecil di trotoar. "Jadi, kenapa tidak meminta supirmu untuk mengantar?" tanyanya. "Adrian sibuk, lagi pula aku hanya perlu dengan pastur Rafael di sana, tidak perlu membawanya. Terima kasih ya, mau mengantar." "Kita bersahabat, jangan sungkan." Syukurlah Casandra tidak mewawancarai. Dia selalu seperti ini, paham mana yang masalah pribadi dan mana yang masalah bisa dibagi. "Kita menginap di rumahnya, tanpa ada dirinya. Apa tidak aneh?" "Malah bagus, di sana hanya ada kita, Kimberly dan Bibi Nicole." "Semua wanita, huh?" tanyanya, bersemanga
Fany Setelah kejadian tempo hari di depan minimarket, aku selalu mengantongi senjata sengat listrik di dalam tas. Jika ternyata pengemudi SUV hitam orang jahat, akan aku setrum hingga otaknya mencair. Sepatu kulit hitam menapak tanah. Celana kain biru tua bergerak terkena hembusan nakal angin. Ya Tuhan, ternyata dia. "Butuh bantuan?" tanya Joshua, melipat lengan kemeja panjang lalu melepas dasi, mendekati kai. "Wow, kamu kenal CEO itu?" bisik Casandra, mengusap telapak tangannya ke bokongku. Padahal tangan itu kotor! "Dia bukan CEO, hanya pria tampan biasa," bisikku, sembari tersenyum menyambut Joshua.
(Fany)Semakin dekat, semakin jelas suara tangis yang berasal dari lantai dua. Suara gadis, tapi siapa? Kim? Bibi? Ya Tuhan, jaga mereka.Kami mengendap-endap seperti maling, mengekor pada Joshua. Jika ada apa-apa biar pria yang maju. Kami sampai di muka kamar lantai dua, mendapati Kim duduk di kasur, menelungkup kepala pada kaki yang melipat.Aku menerobos masuk, duduk di sebelahnya. Kehadiranku membuat tangis Kim makin besar, dia memeluk erat badanku."Kak, bagaimana ini? Kakak harus membantuku.""Ada apa?" tanyaku, sambil mengelus-elus punggungnya, mencoba menenangkan Kim."Apa terjadi sesuatu pada Ibumu?" selidik Joshua, sembari menyimpan senjatanya ke balik jas.
(Fany)Aku menarik Casandra mundur dari tempat mengintip, biar Joshua saja yang mengawasi Kim kecil."Ada apa?" keluhnya. "Apa kamu tidak bisa melihat, ini sedang seru-serunya--""Aku tahu, tapi--"Casandra memotong. "Ini sangat hot, Fan. Lebih hot dari cintamu dan si kunyuk Adrian.""Iya tapi--" dia memotong ucapanku."Jadi, pemuda itu sengaja berkata untuk menjauh, supaya Kakaknya yang juga menanti jawab, mundur. Sekarang dia diam-diam datang kemari, mengutarakan cinta.""Casandra diam," sentakku, membekap mulutnya.Setelah dia mengangguk, aku mengeluarkan barang temuanku.
(Fany) Ada teman Bibi Nicole datang menemani Kim. Sepertinya Bibi tidak pergi begitu saja, dia tetap menjaga Kim. Ini membuatku merasa aman, juga gugup. Dengan adanya orang tambahan, gerak Joshua bakal terganggu kan? Aku duduk di teras rumah sambil menikmati sunyi malam di Glendale. Masih terngiang kejadian tempo hari, ketika aku masuk ke mobil Adrian. Siapa sangka dia benar-benar berniat berubah. Aku mendongak mendapati langit cukup cerah, langit khas musim panas. Ada satu bintang terang di sana, yang aku beri nama Adrian Star. Bintang itu memawan seperti Adrian, terang di kelam langit, cahaya biru yang kuat mendominasi yang lain. Hangat air mata terasa di pipi. Aku menangis?
(Adrian)Aku jarang makan di restoran. Sarangku Pub, bar, bukan restoran Italia. Sea yang mengajakku kemari.Sembari mengirim alamat restoran pada Carl, aku tak bisa beralih dari Sea yang duduk di depanku. Aku tidak bisa bohong, dia sangat menawan dan seksi memakai tanktop hitam ketat dan celana jeans panjang.Tato di badannya, tato bunga di dua lengan dan sepertinya menyambung menjadi satu. Aku yakin itu, sayang pakaiannya menutup semua tato di dada.Tempat ini tidak buruk. Suara tv tabung di dinding memberi hiburan, angin sepoi dari kipas di langit-langit lebih terasa hangat dari udara di luar sana. Meja berjajar memanjang di sebelah kaca, kaca dengan tulisan Moreli."Kamu suka tempat ini?" tanya Sea, semb