Dalam keheningan malam, Luna merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya kembali melayang pada tawaran Amanda untuk tinggal di apartemen miliknya.Luna merenung sejenak. Namun, keputusannya sudah bulat. Ia tetap akan menolak untuk tinggal di apartemen tersebut.Malam itu, Luna lebih cepat memejamkan mata akibat kelelahan. Ia tidur dengan nyenyak hingga pagi tiba. Sama seperti hari sebelumnya, wanita cantik itu bersiap untuk pergi bekerja. Ia duduk di halteu bus menunggu kedatangan bus berikutnya.Luna duduk dengan resah. Pasalnya, bus yang ia tunggu tak kunjung tiba. Sudah kali ke empat ia melirik jam tangan yang melingkar di lengan kirinya. Kemungkinan, hari ini ia akan terlambat masuk bekerja. Setengah jam telah berlalu. Luna menjadi kebingungan, akibat tidak memiliki ponsel, menjadikanya tidak dapat menghubungi Rayyanza untuk mengabarkan bahwa dirinya mungkin akan datang terlambat.Ia beranjak dari duduknya, berdiri dengan resah. Matanya b
Wanita bermata hazel itu tak mengindahkan perkataan Dessy. Luna tidak bisa percaya begitu saja pada rekan kerja setelah sebelumnya mempunyai pengalaman yang sangat buruk. Ia menjadi lebih tertutup untuk urusan pribadi. Dessy menyadari bahwa Luna tidak mudah terbuka. Ia tak ingin memaksa. Dengan cepat ia mengalihkan pandangan menuju layar komputer. Luna sibuk dengan ponsel barunya. Namun, ia merasa sungkan melihat Dessy yang tengah sibuk bekerja sendirian. "Sebentar, aku harus menghubungi Bu Amanda secepatnya. Setelah itu, baru aku akan mulai bekerja," izinnya pada Dessy. Dessy mengangguk. "Santai saja, Luna. Lagi pula, ini tidak terburu-buru." "Terima kasih, Des," ucap Luna seraya tersenyum. Wanita berambut panjang itu segera menekan tombol pada layar touchscreen sesuai dengan nomor ponsel Amanda yang ia hafal diluar kepala, karena sedari dulu Amanda tidak pernah mengganti nomor ponselnya. "Hallo, Manda," sapanya ketika mendengar suara panggilan yang terjawab. "Siapa ini? Luna?
Dessy mengangguk. "Heem, bahkan jika ke luar kota bertemu klien, kamu harus pergi bersamanya kemanapun ia membutuhkanmu, sekali pun cek in di hotel yang sama."Luna terbelalak. "Hah?! Cek in? Apakah dia pernah macam-macam padamu?" tanya Luna penasaran. Pasalnya, Dessy memiliki wajah yang cantik. Tidak menutup kemungkinan untuk Rayyanza menyukainya dan tergoda padanya. Dessy menggeleng. "Pak Rayyanza tidak pernah berbuat yang aneh-aneh padaku. Namun, suatu hari, dia pernah mabuk ketika minum-minum bersama klien. Dia mengatakan jika dia tidak pernah mencintai istrinya, dia hanya mencintai satu wanita yang bernama .... hem ... siapa ya, aku lupa," terang Dessy. Mendengar hal tersebut. Luna langsung memangkas pembicaraan. Ia tidak ingin Dessy mengingatnya, karena sudah pasti yang Rayyanza maksud adalah dirinya. "Eum ... jadi sekarang apa yang harus aku lakukan?" pangkas Luna seraya menatap tumpukan dokumen di hadapannya.Dessy terdiam sesaat. "Oh, ya, kamu kan berpengalaman di bidang a
Waktu menunjukkan pukul empat sore, Dessy belum juga kembali. Seperti biasa, Luna merapihkan semua dokumen yang bercecer di atas meja, mematikan komputer dan bersiap untuk pulang. Tiba-tiba, suara telepon di atas meja berbunyi, tanda CEO memanggilnya. "Ya! Ada yang bisa ku bantu?" sapa Luna, menjawab panggilannya. "Jangan lupa, sore ini kita akan pergi ke apartemen! Setelah pekerjaanmu selesai, segera masuk ke ruanganku!" "Baik. Aku masih menunggu Dessy tiba di kantor.""Dessy tidak akan kembali ke kantor. Aku sudah memerintahkannya untuk pulang!" terang Rayyanza. Tanpa ingin banyak berkata, Luna langsung memutus sambungan teleponnya. "Berani sekali dia mengakhiri panggilanku!" gerutu Rayyanza. Tak lama kemudian, Luna masuk ke dalam ruangan Rayyanza tanpa mengetuk pintu. Pria tampan itu terkesiap. Pasalnya, Ia baru saja keluar dari toilet dan belum mengenakan celananya dengan benar. Luna langsung berbalik badan, menutup wajah menggunakan telapak tangannya. Rayyanza segera menut
Apartemen yang terletak di lantai 10 itu terlihat sangat mewah di mata Luna. Ruang tamu yang luas dan megah, dengan background pemandangan kota yang dapat dilihat melalui dinding kaca dari lantai hingga langit-langit, terlihat sangat menakjubkan. Cahaya lampu-lampu kota yang mulai berpendar menyatu dengan langit senja menciptakan suasana yang memukau. Rayyanza tersenyum, menikmati reaksi Luna yang terkesima dengan keindahan. "Apa kamu menyukainya?" tanyanya. Luna mengangguk. Raut kebahagiaan terpancar di wajahnya. "Ya, Rayyan. Aku sangat menyukainya!" "Tapi, itu belum semuanya. Kamu harus melihat kamar tidur utama," katanya, kemudian mengarahkan Luna masuk ke dalam kamar tidurnya. Luna melangkah ke dalam kamar dengan mata terbelalak. "Waw, ini sangat luar biasa, Rayyan. Ini terlalu mewah untukku!" katanya, takjub. Matanya menyapu setiap sudut ruangan yang ditata dengan sempurna.Sebuah ranjang ala hotel bintang lima yang dilengkapi dengan meja rias minimalis namun mewah. Juga, te
BRUGGH!!! Suara pintu mobil ditutup di area parkir club malam, diiringi langkah kaki pria tampan bertubuh atletis yang baru saja keluar dari mobil mewahnya. Ia berjalan gontai memasuki ruang kerlap-kerlip dengan alunan musik DJ yang mengehentak jantungnya. Langkah kakinya terhenti di hadapan sekumpulan pria tampan kaum jetset kota Jakarta. Yang tak lain adalah teman semasa kuliahnya. Rayyanza Adelard Damian atau biasa dipanggil dengan sebutan Rayyan. Seorang pria tampan anak salah satu konglomerat yang tinggal di kota Jakarta. Ia menjabat sebagai CEO di perusahaan milik sang Ayah. Malam itu, ia menghadiri ajakkan reuni teman-teman semasa kuliahnya, sembari bernostalgia menghabiskan malam di salah satu club di pusat kota Jakarta. "Hallo brother, how are you?" sapa salah satu teman bergaya rambut french crop. Mereka saling adu kepalan tangan. Menyapa satu sama lain. "Sorry bro, aku agak telat. Barusan ada meeting dadakan!" terang Rayyanza setengah berteriak. Teman berambut pir
Di dalam mobil berkaca gelap. Sepasang pria dan wanita kembali mengenakan pakaiannya secara asal. Mereka berdua tertidur di kursi belakang setelah merasa kelelahan. Sebelum fajar menyingsing, wanita lugu itu membuka mata secara perlahan. Namun, penglihatanya seperti berbayang dan berputar. Kedua tangan meremas kepala yang masih terasa pening.Luna sedikit beranjak dari sandarannya, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Matanya mengernyit seraya mengingat kejadian semalam. Namun, mata kecoklatan itu mendadak terbelalak, saat samar-samar adegan semalam melintas di benaknya. Benar saja, Luna tersentak ketika melihat sosok pria tampan yang tak lain adalah suami dari sahabatnya tengah tertidur di sampingnya. Spontan, wanita itu membentak. "Rayyan?! Apa yang sudah kamu lakukan?!"Mendengar suara bernada tinggi, Rayyanza terbangun. "Luna, kamu ...?" PLAAAAK!! Sebuah tamparan mendarat dengan sempurna di pipi pria tampan itu. Rayyanza langsung terperanjat. Ia merasa kaget dan langsung
Luna terus menangis meraung menyesali perbuatanya. Ia tak pernah menyangka jika pria yang merenggut kesuciannya adalah suami dari sahabatnya sendiri. "Maafkan aku Manda, aku benar-benar tidak berniat melakukannya!" Tanda merah di leher Luna terlihat sangat jelas walaupun sudah di tutupi menggunakan kerah baju yang ia kenakan.Nikita, adik Luna yang baru saja tiba dirumah, masuk ke dalam kamar untuk sekedar menyapanya. Gadis tomboy itu memperhatikan sang kakak yang terlihat murung. "Kaka sakit?" tanya Nikita yang kemudian duduk di atas ranjang berhadapan dengan Luna. Luna menggelengkan kepala. Nikita merasa penasaran. Ia memegang kening sang kakak untuk memastikan jika kakaknya memang tidak demam. Nikita juga meraba bagian leher Luna, guna membandingkan suhu tubuh dengan bagian keningnya. Namun, Nikita melihat sesuatu yang membuatnya penasaran di area leher jenjang milik sang kakak. Gadis cantik itu menautkan kedua alisnya. "Kak? Semalam Kakak bersama siapa?" Luna menggoyangkkan