Amanda melangkah mendekati Rayyanza. Melirik kantong plastik yang ada di dalam genggaman tangannya. "Apa itu?" "Oh ..., euh ..., ini-." Belum sempat Rayyanza menjawab, Amanda langsung merebut bungkusan plastik tersebut. Wanita yang berstatus sebagai istri Rayyanza itu membukanya. "Obat-obatan siapa ini?" Luna yang sedari tadi bengong langsung menjawabnya. "Aku, Manda. Itu vitamin untuk kehamilanku. Tadi Rayyanza mengantarku ke rumah sakit untuk memeriksakan kandunganku karena tadi sudah tidak ada bus yang lewat." "Oh ... kalian mampir ke rumah sakit dulu. Aku kira suamiku sudah berada di rumah sedari tadi," tutur Amanda. Luna mengerutkan dahi. "Hah? Aku tidak mengerti maksudmu, Manda." "Satu jam yang lalu aku-" Baru saja Amanda akan menjelaskan, Luna langsung memangkasnya. "Bagaimana kalau kita bicara di dalam saja," ajak Luna masuk ke dalam rumah. Amanda mengangguk. "Baiklah."Mereka kemudian masuk ke dalam rumah Luna. Nikita segera beranjak dari duduknya setelah mendengar su
Pagi itu, Matahari baru saja menampakkan sinarnya di ufuk timur. Udara terasa sangat dingin, Luna membuka matanya dengan enggan, menarik selimut yang menutupi setengah tubuhnya, kemudian meraih ponsel yang tergeletak di atas meja samping tempat tidur. Matanya membelalak, waktu telah menunjukkan pukul enam pagi. Ia beranjak dan segera bersiap untuk pergi bekerja. "Kak, aku duluan ya!" seru Nikita dari balik pintu."Oke, hati-hati, Nik!" jawab Luna seraya sibuk membubuhkan bedak di wajah cantiknya. Setelah selesai, Luna keluar dari rumah berjalan dengan tergesa menuju halte bus. Ia menunggu bus dengan sabar, meskipun di dalam hatinya ada sedikit kekhawatiran akan datang terlambat seperti kemarin. Beruntung, kali ini bus yang di tunggu pun tiba dengan cepat. Luna segera naik dan mencari tempat duduk yang nyaman. Setelah hampir satu jam bus melaju, Luna mulai terlihat gelisah. Ia yakin kali ini ia akan terlambat lagi seperti kemarin. Namun, tiba-tiba saja ia ingat dengan perkataan Rayy
Pria berpostur tinggi tegap itu hanya diam menunduk. Ia terlambat menyadari jika keputusan yang ia ambil pada tiga tahun yang lalu itu adalah keputusan yang keliru. Rasa sakit atas penolakan Luna yang bertubi-tubi tak hanya membawanya jauh hingga ke Negeri Paman Sam, tapi juga berakhir pada keputusannya untuk menikahi Amanda yang justru membuat keadaan semakin pelik. "Dengar Rayyan ..., sampai kapanpun, aku tidak mungkin menerima cintamu. Aku dan kamu sangat jauh berbeda. Kita tidak sederajat. Keluargamu pasti tidak akan menerima kehadiranku, bahkan mungkin akan menentangnya. Dan yang paling sulit saat ini, kamu adalah suami sahabatku. Aku tidak mungkin mengkhianatinya!" terang Luna dengan mata yang berkaca-kaca. "Tapi, Luna. Aku sudah berusaha untuk melupakanmu, merelakanmu. Tapi ternyata, aku tidak mampu membunuh perasaan ini. Aku sangat mencintaimu lebih dari apapun, Luna.""Maaf, Rayyan. Jika kamu terus bersikap seperti ini, sebaiknya aku berhenti saja dari pekerjaan ini, dan a
BRUGGH! Suara pintu mobil ditutup di area parkir club malam, diiringi langkah kaki pria tampan bertubuh atletis yang baru saja keluar dari mobil mewahnya. Ia berjalan gontai memasuki ruang kerlap-kerlip dengan alunan musik DJ yang mengehentak jantungnya. Langkah kakinya terhenti di hadapan sekumpulan pria tampan kaum jetset kota Jakarta. Yang tak lain adalah teman semasa kuliahnya. Rayyanza Adelard Damian atau biasa dipanggil dengan sebutan Rayyan. Seorang pria tampan anak salah satu konglomerat yang tinggal di kota Jakarta. Ia menjabat sebagai CEO di perusahaan milik sang Ayah. Malam itu, ia menghadiri ajakkan reuni teman-teman semasa kuliahnya, sembari bernostalgia menghabiskan malam di salah satu club di pusat kota Jakarta. "Hallo brother, how are you?" sapa salah satu teman bergaya rambut french crop. Mereka saling adu kepalan tangan. Menyapa satu sama lain. "Sorry bro, aku agak telat. Barusan ada meeting dadakan!" terang Rayyanza setengah berteriak. Teman beramb
Di dalam mobil berkaca gelap. Sepasang pria dan wanita kembali mengenakan pakaiannya secara asal. Mereka berdua tertidur di kursi belakang setelah merasa kelelahan. Sebelum fajar menyingsing, wanita lugu itu membuka mata secara perlahan. Namun, penglihatanya seperti berbayang dan berputar. Kedua tangan meremas kepala yang masih terasa pening.Luna sedikit beranjak dari sandarannya, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Matanya mengernyit seraya mengingat kejadian semalam. Namun, mata kecoklatan itu mendadak terbelalak, saat samar-samar adegan semalam melintas di benaknya. Benar saja, Luna tersentak ketika melihat sosok pria tampan yang tak lain adalah suami dari sahabatnya tengah tertidur di sampingnya. Spontan, wanita itu membentak. "Rayyan?! Apa yang sudah kamu lakukan?!"Mendengar suara bernada tinggi, Rayyanza terbangun. "Luna, kamu ...?" PLAAAAK!! Sebuah tamparan mendarat dengan sempurna di pipi pria tampan itu. Rayyanza langsung terperanjat. Ia merasa kaget dan langsung
Luna terus menangis meraung menyesali perbuatanya. Ia tak pernah menyangka jika pria yang merenggut kesuciannya adalah suami dari sahabatnya sendiri. "Maafkan aku Manda, aku benar-benar tidak berniat melakukannya!" Tanda merah di leher Luna terlihat sangat jelas walaupun sudah di tutupi menggunakan kerah baju yang ia kenakan.Nikita, adik Luna yang baru saja tiba dirumah, masuk ke dalam kamar untuk sekedar menyapanya. Gadis tomboy itu memperhatikan sang kakak yang terlihat murung. "Kaka sakit?" tanya Nikita yang kemudian duduk di atas ranjang berhadapan dengan Luna. Luna menggelengkan kepala. Nikita merasa penasaran. Ia memegang kening sang kakak untuk memastikan jika kakaknya memang tidak demam. Nikita juga meraba bagian leher Luna, guna membandingkan suhu tubuh dengan bagian keningnya. Namun, Nikita melihat sesuatu yang membuatnya penasaran di area leher jenjang milik sang kakak. Gadis cantik itu menautkan kedua alisnya. "Kak? Semalam Kakak bersama siapa?" Luna menggoyangkkan
"Laluna ...! Aku menyukaimu!" Suara bariton itu terdengar dengan sangat jelas walaupun terpisah jarak beberapa meter. "Apa?" Wanita yang tengah menunggu bus itu melotot dan langsung melihat ke sekeliling mereka. Ia khawatir ada seseorang yang akan mendengar ucapan Rayyanza. Tapi, untungnya tidak ada satu orang pun berada di sana. Luna melangkahkan kaki, mendekatkan tubuhnya pada Rayyanza. "Kamu jangan bercanda, ya!" ucapnya setengah berbisik. "Tidak, Luna. Aku serius. Aku menyukaimu!" terangnya menatap luna dengan tatapan sayu. "Maukah kamu menjadi pacarku?" tanyanya lagi.Luna tersenyum miring, tentu saja ia tidak percaya dengan perkataan Rayyanza. Ia menganggap ungkapan itu hanyalah sebuah omong kosong belaka. Lagi pula, mana mungkin hanya beberapa kali bertemu di ruang himpunan pria itu bisa langsung jatuh cinta padanya. "Maaf, Kak Rayyan. Saat ini, aku ingin fokus belajar di kampus ini. Aku harus mendapat nilai yang bagus agar aku bisa terus memperoleh beasiswa di kampus ini,"
Sosok Pria tampan berdiri tegap membuka kacamatanya secara perlahan. Menatap sinis Amanda dengan raut menantang. Wanita yang sebelumnya sangat emosi itu, tiba-tiba saja meleleh seperti lilin yang tersulut api. "Kamu punya mata gak, hah?!" sentak pria pemilik mobil hitam itu.Amanda terus menatap wajah pria berhidung mancung itu tanpa memedulikan pertanyaan sekaligus makian yang terlontar dari mulutnya. Ia memilih melempar senyum manisnya. Tak peduli jika pria itu tak membalas senyumannya. "Manda!" teriak Luna, yang kemudian turun dari mobil berjalan setengah berlari menghampiri Amanda, ia langsung berdiri di samping sahabatnya. Pria yang penuh emosi itu menggeser pandanganya pada gadis pujaan hatinya yang beberapa hari lalu menolak cintanya. Mereka saling beradu pandang selama beberapa saat sebelum pria itu mencetuskan kata-kata makian berikutnya. "Ini gara-gara kelakuan kalian bermain handphone di dalam mobil. Sekarang, lihat sendiri kan akibatnya?!" teriak Rayyanza seraya berkaca