Panggilan segera terputus, William menonaktifkan handphonenya. “Suara tangisan Kenzo kencang sekali, pasti Nitara mendengarnya. Sudahlah, akan aku jelaskan nanti. Sekarang aku pura-pura saja handphonenya lowbat.”Amelia sudah menimang Kenzo, mencoba menenangkan. “Sayang ..., nangisnya jangan kencang-kencang, nanti tenggorokannya sakit.”William menghampiri. “Sayang,” sapa hangat pria ini pada keponakannya. Melihat wajah William membuat Kenzo meronta ingin digendong pria yang selalu dianggap sebagai ayahnya. Maka, kini malaikat kecil sudah berada dalam pelukan William, ditimang sangat sayang.“Syukur ada kamu, karena kalau aku tidak berhasil menenangkan Kenzo biasanya mama yang ambil alih, tapi kadang-kadang mama juga tidak berhasil.”William terkekeh kegelian, “Untung sekarang aku di sini.” William dan Amelia sedang diselimuti kebahagiaan, tetapi di seberang sana Nitara mendengus.“Kamu bohongi aku kan. Kamu bukan sedang di gedung cabang, tapi kamu menemui Amelia dan anak kalian! Kena
William segera kehilangan warna segar di wajahnya, kulitnya memucat. “Pasti kamu salah lihat, Sayang.” Tidak mungkin seorang pria beristri dua mengakui perselingkuhannya. Sama halnya dengan pria ini.“Baiklah kalau kamu tidak mau bicara, aku anggap hubungan kita hanya sebatas ini, tidak perlu memakai kejujuran dan kepercayaan.” Nitara masih menahan rasa sakitnya hingga seakan ajal akan menjemput, itu sangat sakit.“Sayang ....” Hendak pelukan diberikan William, tetapi Nitara menolaknya, ini untuk pertama kalinya.“Malam ini aku akan tidur di tempat lain, aku tidak akan pulang ....” Nitara membuang wajahnya.“Tara, jangan seperti ini, aku mohon ....” Nitara adalah masa depan untuk William, tentu saja dirinya tidak ingin kehilangan wanita yang akan menemaninya hingga masa tua.“Kamu tidak perlu mengatakan apapun lagi, Wil. Aku mengerti posisiku, aku tahu di mana tempatku. Aku yang salah karena menaruh semua harapanku padamu, padahal aku tidak pantas sama sekali bersanding di sisi kamu.”
Amelia diserang cemas berlebihan saat mendengar kalimat Sopia, maka dirinya segera merasa pening hingga dahinya dipegangi sangat erat. Namun, ibunya tidak mengetahui ini sama sekali, Sopia sudah berlalu. “Apa yang harus aku lakukan untuk mencegah mama bicara pada Nitara, apa aku harus mengatakan yang sejujurnya kalau Kenzo anaknya Erland?”Kebingungan dalam kondisi kepala berputar membuat Amelia tidak dapat menemukan jawaban apapun hingga tubuhnya direbahkan, hanya merebahkan tanpa ingin memikirkan apapun sampai-sampai dirinya terlelap.Sementara, Sopia sudah membulatkan tekadnya untuk menemui Nitara secara pribadi maka diam-diam wanita ini membuka kontak handphone milik Amelia, mencari nomor Nitara kemudian mengirimkan sebuah chat. [Besok temui aku di restoran.]Nitara segera membaca chat dari Amelia karena walaupun dirinya sangat membenci, tetapi nomor mantan sahabatnya masih berada di antara deretan kontak handphonenya. “Mau apa Amei mengajak bertemu? Apa diam-diam Willam mengadu k
William meninggalkan saudara kembarnya begitu saja. Malam ini terasa lebih dingin karena cuaca sedang tidak baik, tetapi dengan senang hati dirinya meladeni Erland, pergi ke rumah belakang, berbicara dalam ruangan semi outdoor, tetapi yang didapatnya hanyalah hal memuakan padahal bisanya diskusi dengan Erland adalah hal paling baik karena mereka saling mengerti satu sama lain. “Ada apa denganya, apa aku harus meminta papa memeriksakan mental Erland!” rutuknya saat kembali memasuki rumah.“Wil,” panggilan Bagaswara yang memang sedang mencari kedua putranya. Seharusnya ini hal yang mudah, William dan Erland adalah pria dewasa, Bagaswara tidak perlu kesulitan mencari mereka seperti di saat masa kanak-kanak. Rumah besar ini terlalu menimbun tubuh William dan Erland kecil. Namun, kali ini justru dirinya merasa pencarian ini sangat sulit seolah mencari jarum dalam tumpukan jerami. Maka pertemuan tanpa sengaja dengan salah satu putranya disyukuri, “Papa mencari kalian, dari mana saja hm, lal
Tengah hari tiba. Sopia sudah mencuri nomor ponsel Nitara, maka dirinya leluasa menghubungi. [Temui aku sekarang.] Chat yang dikirimkannya pada Nitara.“Apa ini Amei?” Nitara memandangi nomor yang tidak terdaftar dalam kontaknya. “Apa harus ya, aku menemui Amei?” Wanita ini sedang diserang keraguan.“Sayang, ayo makan siang,” ajakan lembut William yang sudah melonggarkan dahinya.“Aku ....” Nitara masih berada diambang keputusan, “aku akan makan di kantin, memangnya kamu mau kesana?”“Kantin?” Dahi William berkerut, dirinya belum pernah makan di tempat seperti itu, “bagaimana tempatnya?”“Tempatnya higienis, tetapi menunya menu biasa saja.”William bergeming sesaat. “Aku tidak suka makan di tempat seperti itu. Kenapa tidak di restoran saja? Kakau kamu bosan kita bisa mengunjungi restoran prancis atau mungkin makanan korea dan jepang jika kamu mau.”“Tidak, aku sedang mau makan di kantin.” Ini hanyalah alasan untuk menghindari William karena Nitara memutuskan menerima ajakan bertemu da
Di tengah-tengah menyuap, Amelia kembali mendapatkan pesan, tetapi bukan Nitara atau orang yang berada di dalam kontaknya. [Apa kamu sudah makan?] Dahi Amelia berkerut setelah membacanya.[Aku sedang makan. Maaf, siapa ini?]Erland ingin sekali mengaku, tetapi dirinya menyimpan hal itu. [Aku akan meneleponmu nanti. Katakan kapan kamu senggang.]Amelia tidak berpikiran macam-macam, maka dirinya memberikan kesempatan pada seseorang di seberang sana. [Sepertinya pukul tiga.] Chat berakhir. Amelia berharap orang di seberang sana adalah Erland, wanita ini berharap ayah dari putranya sudah bangun. Handphone diletakan di atas meja setelah sempat dipandangi selama beberapa saat.“Siapa, Mei?” Perhatian Adhinatha tercuri karena raut wajah Amelia. Tidak ada senyuman dalam raut wajah putrinya, tetapi seakan handphonenya sedang sangat berarti.“Teman.” Senyuman kecil Amelia.“Mengajak bertemu, reoni?” Adhinatha sangat ingin mengetahui kegiatan putrinya.“Tidak, hanya menanyakan kabar.” Suapan Ame
Amelia menghampiri si pria yang saat itu belum diketahui namanya. “Astaga ..., tubuhmu sangat besar, tapi aku diminta mengusirmu. Bagaimana caranya?” Amelia menggaruk kepalanya sangat bingung, kemudian kembali mengarahkan tatapan pada wanita yang selalu dianggapnya sebagai selingkuhan Tio. “Aku di sini sedang memata-matai, tapi kenapa mendapatkan tugas seperti ini. Huft!” Satu kakinya dihentakan ke atas bumi hingga sikapnya ini sangat janggal karena di sini adalah tempat orang-orang pemberani dan bukan tempat wanita manja sepertinya.Si pria meninggalkan bartender. “Perlu bantuan?”Amelia mengerjap. “Kalau kau bisa melakukannya sendiri, kenapa memintaku?”“Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku. Siapa yang akan membuat minuman?” Setengah alisnya terangkat.“Tapi bagaimana aku memindahkannya ....” Amelia merajuk hingga tampak semakin janggal saja di mata si pria karena semua karyawan wanita ini di sini tidak manja dan lemah. Mereka akan menggoda pria untuk mencapai apapun termasuk unt
Hati William dicambuk perasaan tidak tenang. ‘Siapa, apa Amei? Amei sudah menerima surat dari Erland. Apa isinya, apa janji pertemuan, apa Erland sudah mengakui jati dirinya?’ Sederet pertanyaan ini berkecamuk ria.“Mama tidak tahu, Erland tidak mengatakannya.” Lembut Miranda yang saat ini sedang beristirahat sejenak seiring menemani suami dan anaknya menyaksikan televesi, sedangkan Nitara masih berada di dapur.“William akan menghubungi Erland sebentar. William tidak tenang Erland keluar sendiri,” alasannya. Padahal niatnya untuk mencari tahu tentang rekan yang dimaksud Miranda. Pria ini masuk ke dalam kamar, segera menghubungkan panggilan pada saudara kembarnya. “Kau di mana, siapa yang akan kau temui?”“Kenapa menanyakannya. Apa uruasannya dengamu, bukankah kau tidak memercayaiku.” Perasaan kecewa sedang menerpa Erland karena William menganggap Nitara sebagai malaikat padahal dirinya sudah membongkar kejahatan wanita itu.“Erland, bukan begitu maksudku. Kembalilah ....”“Apa hakmu