William menghubungi sopir untuk menanyakan tujuan Erland, maka sangat mudah baginya menyusul saudara kembarnya yang ternyata menemui Amelia. Seharusnya hal ini tidak mengejutkan karena dirinya sudah menduganya, tetapi hatinya tetap dicambuk perih karena masa depan Erland dan Amelia adalah akhir dirinya dan Amelia.William hanya duduk lesu, kebetulan meja yang dipilihnya berdekatan dengan bodyguard yang dibawa Erland. Maka, mana mungkin pria ini tidak menyapa tuannya, “Selamat malam, Tuan.”William bergeming selama beberapa detik karena terlalu larut dalam dilema, kemudian menoleh pada pria tinggi besar yang berdiri di sisinya penuh rasa hormat. “Eu, iya, malam. Kau di sini.”“Iya, Tuan. Saya diperintah tuan Erland.” Sikapnya selalu penuh rasa hormat. Bahkan pria tinggi besar ini seolah tidak memiliki wibawa dan kekuatan jika di hadapan tuannya, berbeda saat dihadapan orang yang berpotensi mencelakai tuannya atau hanya menganggu.William kembali mengarahkan tatapan pada Erland dan Amel
Erland selalu luluh oleh ketulusan wanita di sisinya, yang tetap memeluknya bagaimanapun tatapan orang pada mereka. Pertemuan ini sangat indah untuk pria yang sering tenggelam dalam rasa tidak percaya diri. Maka, tekadnya untuk kembali pulih sangat tinggi. “Mei, tunggu aku sampai aku pulih, aku akan menunjukan diri pada orangtua kamu, melamar kamu secara resmi.”Amelia segera melepaskan pelukannya untuk memandangi Erland. Wanita ini sangat mengerti keadaan Erland sekarang yang tidak memungkinkan menemui orangtuanya karena fisik mungkin menjadi salah satu harga diri untuk seorang pria. “Iya, aku akan menunggu hingga saat itu tiba.”Pertemuan diakhiri dengan kecupan di pipi Amelia, setelahnya Erland mengantarkan wanitanya. Namun, mereka harus menaiki mobil yang berbeda karena Amelia membawa si kuda besi. Setibanya di rumah, Sopia dibuat heboh. “Astaga Mei-Mei. Apa-apaan baju ini, hm. Diam-diam kamu jadi pegawai cafe!” Seakan seisi rumah berguncang akibat suaranya bahkan Amelia mengangka
William membalas pelukan istrinya, melindunginya. Namun, kali ini hatinya dicambuk keraguan. ‘Apa benar Erland berhalusinasi? Tapi aku rasa aku telah berburuk sangka.’Setelah Nitara terlelap, William berjalan-jalan mengitari pintu kamar Erland. Ingin kembali berbicara dengan saudaranya, tetapi waktu sudah lewat tengah malam. “Akh!” keluhnya.“Nak, sedang apa?” Bagaswara sempat terpaku kala menyaksikan William yang hanya bolak-balik di depan pintu kamar Erland. Sekejap, putranya mengerjap.“Malam, Pa. William sedang ..., eu-hanya tidak bisa tidur.” Senyuman lebarnya.“Kemarilah.” Bagaswara memimpin jalan, mengajak putranya duduk di atas sofa.“Apa Papa kesulitan untuk tidur?” William duduk di seberang ayahnya.“Tidak. Papa sengaja ingin memeriksa keadaan Erland,” aku Bagaswara tanpa menutupi apapun.“Erland baik-baik saja.” Terdapat keraguan serta penyelidikan dalam tatapan dan kalimat William.“Iya, Papa rasa Erland memang sangat baik, tapi Papa tetap ingin memeriksanya. Kamu tahu se
Amelia terkesiap oleh kedatangan ibunya. “Itu ....” Handphone dipandangi, tetapi ternyata panggilan sudah terputus. “Tadi Amei sedang menonton video di internet.” Senyuman lebar dipasang.Sopia sedikit mengintip pada layar handphone, tetapi sudah tidak ada yang bisa dilihatnya. “Jangan mempertontonkan tayangan tidak layak pada Kenzo, itu tidak baik,” nasihat penting selayaknya seorang nenek yang menginginkan cucunya tumbuh dengan baik berkat didikan baik dari ibunya.“Tadi Kenzo melihat edukasi, Ma ...,” alasan Amelia dengan sikap tenang supaya dustanya tidak terbongkar.“Iya, memang harus begitu. Tapi ... Mama heran sepertinya tadi Mama melihat pria kurus yang wajahnya mirip William.” Dahi Amelia berkerut, tetapi hatinya tidak yakin dengan apa yang dilihatnya.“Mama salah lihat ..., tadi Amei menunjukan film animasi sama Kenzo.”“Iya sudah ....” Sopia tidak ambil pusing, dirinya segera meraih Kenzo yang sudah minta digendong, “sarapan dulu sebelum pergi. Oh iya, hari ini Mama juga ha
Amelia tersenyum cerah. “Lupakan, anggap saja hubungan kita selalu baik-baik saja.”“Mei, aku tidak tahu bagaimana caranya berterimakasih pada kamu.” Seolah Nitara sangat tulus dan menyesali semua perbuatannya.“Sudahlah, kita kan sahabat ....” Senyuman Amelia tidak pernah pudar.‘Apa aku bilang, mudah sekali aku mendapatkan maaf dari kamu!’ Seringai puas Nitara. “Bagaimana kabar kamu dan Kenzo?”“Aku baik-baik saja, Kenzo juga. Kenzo mempunyai pertumbuhan yang sangat baik, semenjak bersama mama berat badan Kenzo naik pesat,” kekeh bahagia Amelia sebagaimana seorang ibu yang menyayangi putranya.“Syukurlah ..., aku ikut senang mendengarnya. Lain kali ajak aku bertemu Kenzo, aku ingin memeluknya dan meminta maaf karena sempat membencinya.” Lagi, wajah penyesalan tampak.“Iya, atur saja waktunya. Aku akan mempertemukan kalian.”Nitara mengusap ujung matanya seolah basah oleh air mata haru. “Aku sudah melupakan masa lalu kalian. Aku sudah menerima masa lalu kamu dan William dan juga mene
Nitara terisak. “Mei ..., aku bingung bagaimana harus menceritakannya sama kamu ..., apalagi sama William ....”“Sssttt, tenang dulu ya ....” Amelia beringsut, kini dirinya duduk di sisi Nitara untuk memberikan pelukan hangat nan tulus, ditambah dengan usapan lembut di punggung sahabatnya, “semua masalah ada solusinya kok ....”Wajah Nitara menyeringai. ‘Aku harap solusinya kamu!’ Kebetulan seringai licik Nitara disaksikan oleh sopir yang mengantarnya, dengan setia menunggu majikannya hingga selesai. Namun, ekspresi nyonya muda membuatnya berpikir jika hati Nitara tidak seindah sosoknya.Pelukan Amelia berakhir, kini tatapannya mengarah pada Nitara dengan penuh rasa peduli. “Kamu bisa bercerita semua ke aku, dan semoga aku bisa membantu.”Nitara terisak, anehnya, air mata keluar secara alami bahkan dirinya tidak mengerti kenapa bisa seperti itu? Tapi ini adalah keuntungan untuknya. “Mei, kamu bisa menyimpan rahasia ini dari semua orang kan, apalagi dari William?”“Tentu. Aku akan meny
“A-apa retoran ini milik Tio?”“Betul, Nona.” Pelayan memberikan jawaban dengan sangat ramah.Amelia segera celingak-celinguk. “Apa Tio di sini?” Dia harap tidak karena waktunya sangat tidak tepat.“Mohon maaf, Nona. Tuan Tio sedang tidak di sini.”“Oh ....” Datar Amelia.“Silakan dicicipi, Nona. Hidangan spesial dari chef kami.”“I-ya ....” Senyuman kecil Amelia. Nafsu makannya hilang, bagaimana bisa dirinya bisa memakan ini, tetapi Amelia memaksakan dirinya menyantap hidangan untuk menghargai kerja keras chef yang diduga mendapatkan perintah khusus dari Tio. Saat ini, makanan enak itu sangat hambar di lidahnya karena isi kepalanya sedang terombang-ambing oleh fakta menyakitkan yang dikatakan Nitara. “Bagaimana sekarang, apa aku harus membicarakannya dengan Erland atau memberi tahu William? Tapi ... pasti William akan marah besar pada Nitara. Ahk sudahlah.” Amelia menggelengkan kepalanya, “biarkan Erland saja yang menyampaiakannya setelah kami membicarakannya, tapi semoga saja Erland
Waktu menunjukan pukul delapan malam. “Maaf aku terlambat, tadi Kenzo menangis saat aku tinggalkan.” Kalimat pertama Amelia saat Erland membukakan pintu kamar hotel.“Tidak apa. Lalu bagaimana Kenzo?”“Mama yang gendong terus diajak main sama papa.” Amelia menyimpan tasnya di atas sofa, kemudian duduk di sana, “aku tidak bisa lama karena mungkin Kenzo menangis lagi.” Raut wajahnya menggambarkan kekhawatiran.Erland mengisi jus pada gelas yang sudah disediakan. “Minum dulu,” sodornya.Amelia mencicipinya sedikit. “Aku harus minta maaf lagi karena sampai membuatmu kesini.”“Tidak apa. Aku selalu suka menemui kamu.” Senyuman bahagia Erland, begitupun Amelia yang membalas dengan senyuman yang sama.“Ada hal penting yang harus aku katakan.” Tatapan Amelia berubah sendu.“Silakan. Katakan saja apapun yang ingin kamu katakan.”“Ini tentang Nitara.”Erland segera merubah erkspresinya, raut wajahnya sangat dingin disertai dengan dendam yang seakan mampu membakar Nitara sekarang juga. “Apa dia