"Bagaimana dengan dua bulan yang akan datang?" tanya Danu pada anaknya, Jihan dan pada calon menantunya, Raihan.
Haru yang ada disana, tampak mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja kaca yang ada di depannya. Bahkan, air tehnya sudah tidak lagi beruap."Jihan mengikuti saja, tergantung keinginan mas Raihan," jawab wanita itu dengan sopan, matanya sedikit melirik Raihan yang tampaknya sedang melamun."Bagaimana denganmu, Raihan?" Danu mengalihkan pandangan pada Raihan yang jiwanya seperti tidak ada disana. Tidak ada jawaban, sampai akhirnya Jihan yang menyenggol lengan calon suaminya."Mas!""H-hah! I-itu," gagap Raihan karena kesadarannya sudah kembali lagi. Dia bingung, sudah sampai dimana pembicaraan mereka. Alhasil, dia menatap Jihan untuk mendapatkan jawaban."Kau kenapa, Nak? Apa yang sedang kau pikirkan? Ini kita sedang membahas pernikahanmu," sela Haru. Dia tahu, pikiran putra sulungnya pasti sedang mengarah pada yanMalam itu di kediaman Rania Arsita, Renan ada disana menjenguk Vano dan berbincang serius dengan si pemilik mata indah nan manis. Renan sepertinya benar-benar akan pergi dan terpaksa berjarakan jauh dengan wanitanya mulai besok. "Aku akan merindukanmu, nanti," ucap Renan mengawali percakapan di antara keduanya. Tampak sayu-sayu ucapannya, seperti tidak ikhlas akan berjauhan dengan sang kekasih. Sudah dua minggu setelah kepulangan Vano dari Rumah sakit. Mereka sekarang sedang berada di balkon apartemen Rania sambil memandangi bintang yang tidak terlalu banyak, namun masih menghiasi langit malam dengan cantik. "Kau tidak akan berniat pulang kesini lagi?" jawab Rania dengan menembakkan pertanyaan yang membuat hati Renan menjadi membeku. Tentu, dia akan pulang karena belahan hatinya masih tertinggal penuh di Jakarta, wanitanya. "Aku akan mengusahakan untuk pulang di akhir bulan. Nanti, di waktu kepulanganku aku ingin melakukan kencan yan
"K-kau tahu?" Rania menganggukkan kepalanya dan sedikit menggeser tubuhnya untuk berbalik menatap Renan yang ada di belakang punggungnya. Dia tersenyum saat melihat wajah Renan yang kebingungan. Rupanya, Renan benar-benar tidak tahu sampai sekarang siapa Rania. Sebelum mengatakan kebenarannya, Rania berusaha mengambil napas dan membuangnya pelan. "Renan, aku adalah putri dari Dirta Bagyo," ungkap Rania dengan pelan, dia tahu Renan pasti sangat terkejut mendengar fakta yang dituturkan oleh Rania barusan. Tas! Tangan Renan membeku dengan mulut yang membisu mendengar ucapan Rania. Sesuatu yang sangat membuat laki-laki itu tertampar dan mati rasa. "K-kau--" Rania mengangguk dan berdiri menghadap Renan dengan senyuman manis yang masih terpatri dari wajah kecilnya. "Aku, Akak Anya .…" Deg! Detakan jantung milik Renan kembali membludak lebih cepat dari sebelumnya. Dia awalnya menundukkan kepala dan mencerna apa yang dika
Bandung, 22 tahun yang lalu. Seorang wanita berusia 30 tahun tengah menatap anak bayinya yang sedang berada dalam gendongan hangatnya. Ada rasa iba melihat sang putra tampak berceloteh kecil dan asik dengan dunianya sendiri. "Aku menitipkan anakku padamu. Nanti, jika sudah waktunya, laki-laki brengsek itu akan menjemputnya." Wanita itu mengalihkan gendongan bayinya ke tangan Dirta. Ada sedikit tangannya bergetar, seperti tidak rela jika Renan kecilnya diasuh oleh orang lain untuk saat ini. "Anak laki-laki yang tampan. Nona, aku akan bilang pada tuan Aditama bahwa cucunya harus di beri marga Aditama. Marga Atmadja hanya akan membuatnya susah dikemudian hari," kelakar Dirta memberi saran pada ibu si kecil. Adisa tersenyum simpul dengan wajah pucatnya. "Terima kasih, Dirta," ungkapnya, enggan membahas marga apa yang akan diberikan untuk di kecil nantinya. Dirta hanya menganggukkan kepalanya, dia memahami perasaan Adisa. Setelahnya, Adis
Setelah dua minggu berada di Bandung, Renan melakukan pekerjaannya dengan baik sebagai seorang manager. Dia dibantu oleh Nindi yang menjabat sebagai asisten tuan Damar, penanggung jawab perusahaan Atmadja Groups di Bandung. Renan sangat diterima oleh orang-orang-orang disana, mereka menghormati Renan sebagai tamu istimewa. Bukan hanya sekedar karena dia anak pemilik perusahaan Atmadja Groups, dia juga dipuji karena kecerdasan otaknya yang mampu mengatasi permasalahan yang terjadi akhir-akhir ini di perusahaan. Sore itu, di sebuah taman kecil yang cukup sepi, salah satu tempat paling nyaman untuk mengobrol sore hari dengan pasangan atau teman sebaya. Seorang pria dan wanita tengah bercengkrama di dekat Sungai tersebut. Mereka sesekali tertawa terbahak-bahak karena lelucon yang diciptakan wanita itu. Mereka terlihat sangat bahagia dan saling melepas penat akibat pekerjaan di kantor yang sangat padat dan membuat lelah. "Kau memang sangat lucu ya, Nindi," u
"Bukannya dia terlihat cocok dengan wanita cantik itu? Sangat serasi daripada dengan wanita yang memiliki dua anak." Rania memasukkan foto-foto tersebut ke dalam amplopnya dengan tangan yang sedikit kaku. Foto yang menunjukkan kedekatan Renan dan Nindi. Ada sedikit rasa kecewa dan cemburu di saat bersamaan, tapi jika memang itu pilihan Renan, Rania juga tidak bisa berbuat banyak. Matanya yang sayu mulai terpejam karena perasaan hatinya yang sudah gundah. Kini, handphone-nya bergetar di atas nakas, sebuah pesan masuk terpampang dari Haru Atmadja. Laki-laki itu selalu membuat hati Rania tak tenang, ada saja yang ia coba lakukan agar Rania menjauh dari putra-putra Atmadja. 'Putra-putraku tidak beruntung jika bersama denganmu. Lihat sendiri, gadis cantik itu yang pantas jadi menantuku. Jangan buta, lihat bagaimana Renan lebih senang berada disana bersama wanita itu. Biar aku kasih tahu padamu, kau itu tidak pantas bahagia, kau hanya kotoran yang memenuhi bumi ini.'
Mereka bertiga pergi ke pasar malam dengan menggunakan mobil Raihan. Vano yang dipangku oleh Rania sangat heboh bercerita tentang keasikannya pertama kali mandi bersama handanya. Bahkan, Vano belum pernah mandi bersama handa Enan, lantaran handa Enannya jarang menginap di apartemen Rania. Jadinya, ini pengalaman pertama Vano, makanya dia antusias menceritakan pada Buna. "Ano becok ingin becal kaya handa, Bun," ucapnya pada Buna yang sedang menatap ke arah luar jendela mobil. Mendengar itu, Rania menarik dua sudut bibirnya ke atas. Anak itu ingin sekali ya menjadi seperti ayahnya. "Iya, Vano besok akan tumbuh besar seperti handa, kok," jawab Rania seadanya. Raihan yang ada di sebelahnya hanya berani melirik dari ujung ekor mata. Akibat kejadian tadi sore, ada rasa canggung dan malu yang menyelimuti hati laki-laki itu. Padahal mungkin, Rania sudah melupakannya. "Apa Ano akan tapan cepelti handa?" Lagi, anak kecil itu gemar menanyai ibunya dengan
"Jangan melewatkan makan malammu atau kau akan membuat aku mati berdiri oleh ayahmu?" "Katakan padanya, aku sudah berusaha Tapi dia belum sepenuhnya mencintaiku." Gadis itu menarik selimutnya sampai ke atas kepala, dia tidak ingin melihat laki-laki yang seperti mayat hidup dan kaku tersebut tengah berdiri di dekat ranjangnya. "Aku harus apa?" Kembali pria itu memasang raut wajah dinginnya dan bertanya dia harus apa jika sudah begini. "Aku mencintai dua orang laki-laki di saat bersamaan. Tapi, sekarang aku pikir ... mencintai satu saja sudah cukup. Aku ja-" "Kau mencintai Raihan, selamanya akan begitu," potong Yogi dengan cepat. Dia malas mendengar perkataan selanjutnya dari gadis itu. Hatinya sedang lelah untuk memikirkan kisah asmara yang tak kunjung usai. Jihan membuka selimutnya dan menatap Yogi dengan tajam. "Bawa aku pergi, Mas! Aku ingin dinikahi olehmu saja! Aku tidak ingin mencintai mas Raihan terlalu jauh dan pada akhirnya a
"Cepatlah, sebelum bianglalanya bertambah kecepatan." Raihan menarik lengan Rania untuk dudu di sampingnya. Dia berjanji, akan membuat ibunya Vano merasa aman. Mau tidak mau Rania berpindah menjadi duduk di sebelah Raihan. Bunanya Vano sekarang sudah masuk ke dalam dekapan lengan Handa Vano. Lega, itulah yang dirasakan wanita dengan lesung pipi yang manis setelah lengan laki-laki kekar itu mengapit tubuhnya, pertanda sedang dilindungi. Ada rasa aman dan tentu dia sangat berterima kasih pada Raihan nantinya. Tiba-tiba, Raihan sedikit menundukkan kepalanya untuk berbicara pada Rania. "Jangan takut, Handa akan melindungi Buna dan Vano," janjinya dengan sebuah usapan lembut di bahu wanita itu. Rania hanya mengangguk pasrah dan menerbitkan senyum manisnya yang kelewat teduh jika diperhatikan. "Terima kasih, Mas." Setelah selesai dengan asiknya bianglala, mereka melanjutkan lagi menjelajahi permainan dan mencoba tantangan baru dari wahana lain. Vano juga membeli banyak mainan dan jajana