Bandung, 22 tahun yang lalu.
Seorang wanita berusia 30 tahun tengah menatap anak bayinya yang sedang berada dalam gendongan hangatnya. Ada rasa iba melihat sang putra tampak berceloteh kecil dan asik dengan dunianya sendiri."Aku menitipkan anakku padamu. Nanti, jika sudah waktunya, laki-laki brengsek itu akan menjemputnya." Wanita itu mengalihkan gendongan bayinya ke tangan Dirta. Ada sedikit tangannya bergetar, seperti tidak rela jika Renan kecilnya diasuh oleh orang lain untuk saat ini."Anak laki-laki yang tampan. Nona, aku akan bilang pada tuan Aditama bahwa cucunya harus di beri marga Aditama. Marga Atmadja hanya akan membuatnya susah dikemudian hari," kelakar Dirta memberi saran pada ibu si kecil.Adisa tersenyum simpul dengan wajah pucatnya. "Terima kasih, Dirta," ungkapnya, enggan membahas marga apa yang akan diberikan untuk di kecil nantinya.Dirta hanya menganggukkan kepalanya, dia memahami perasaan Adisa. Setelahnya, AdisSetelah dua minggu berada di Bandung, Renan melakukan pekerjaannya dengan baik sebagai seorang manager. Dia dibantu oleh Nindi yang menjabat sebagai asisten tuan Damar, penanggung jawab perusahaan Atmadja Groups di Bandung. Renan sangat diterima oleh orang-orang-orang disana, mereka menghormati Renan sebagai tamu istimewa. Bukan hanya sekedar karena dia anak pemilik perusahaan Atmadja Groups, dia juga dipuji karena kecerdasan otaknya yang mampu mengatasi permasalahan yang terjadi akhir-akhir ini di perusahaan. Sore itu, di sebuah taman kecil yang cukup sepi, salah satu tempat paling nyaman untuk mengobrol sore hari dengan pasangan atau teman sebaya. Seorang pria dan wanita tengah bercengkrama di dekat Sungai tersebut. Mereka sesekali tertawa terbahak-bahak karena lelucon yang diciptakan wanita itu. Mereka terlihat sangat bahagia dan saling melepas penat akibat pekerjaan di kantor yang sangat padat dan membuat lelah. "Kau memang sangat lucu ya, Nindi," u
"Bukannya dia terlihat cocok dengan wanita cantik itu? Sangat serasi daripada dengan wanita yang memiliki dua anak." Rania memasukkan foto-foto tersebut ke dalam amplopnya dengan tangan yang sedikit kaku. Foto yang menunjukkan kedekatan Renan dan Nindi. Ada sedikit rasa kecewa dan cemburu di saat bersamaan, tapi jika memang itu pilihan Renan, Rania juga tidak bisa berbuat banyak. Matanya yang sayu mulai terpejam karena perasaan hatinya yang sudah gundah. Kini, handphone-nya bergetar di atas nakas, sebuah pesan masuk terpampang dari Haru Atmadja. Laki-laki itu selalu membuat hati Rania tak tenang, ada saja yang ia coba lakukan agar Rania menjauh dari putra-putra Atmadja. 'Putra-putraku tidak beruntung jika bersama denganmu. Lihat sendiri, gadis cantik itu yang pantas jadi menantuku. Jangan buta, lihat bagaimana Renan lebih senang berada disana bersama wanita itu. Biar aku kasih tahu padamu, kau itu tidak pantas bahagia, kau hanya kotoran yang memenuhi bumi ini.'
Mereka bertiga pergi ke pasar malam dengan menggunakan mobil Raihan. Vano yang dipangku oleh Rania sangat heboh bercerita tentang keasikannya pertama kali mandi bersama handanya. Bahkan, Vano belum pernah mandi bersama handa Enan, lantaran handa Enannya jarang menginap di apartemen Rania. Jadinya, ini pengalaman pertama Vano, makanya dia antusias menceritakan pada Buna. "Ano becok ingin becal kaya handa, Bun," ucapnya pada Buna yang sedang menatap ke arah luar jendela mobil. Mendengar itu, Rania menarik dua sudut bibirnya ke atas. Anak itu ingin sekali ya menjadi seperti ayahnya. "Iya, Vano besok akan tumbuh besar seperti handa, kok," jawab Rania seadanya. Raihan yang ada di sebelahnya hanya berani melirik dari ujung ekor mata. Akibat kejadian tadi sore, ada rasa canggung dan malu yang menyelimuti hati laki-laki itu. Padahal mungkin, Rania sudah melupakannya. "Apa Ano akan tapan cepelti handa?" Lagi, anak kecil itu gemar menanyai ibunya dengan
"Jangan melewatkan makan malammu atau kau akan membuat aku mati berdiri oleh ayahmu?" "Katakan padanya, aku sudah berusaha Tapi dia belum sepenuhnya mencintaiku." Gadis itu menarik selimutnya sampai ke atas kepala, dia tidak ingin melihat laki-laki yang seperti mayat hidup dan kaku tersebut tengah berdiri di dekat ranjangnya. "Aku harus apa?" Kembali pria itu memasang raut wajah dinginnya dan bertanya dia harus apa jika sudah begini. "Aku mencintai dua orang laki-laki di saat bersamaan. Tapi, sekarang aku pikir ... mencintai satu saja sudah cukup. Aku ja-" "Kau mencintai Raihan, selamanya akan begitu," potong Yogi dengan cepat. Dia malas mendengar perkataan selanjutnya dari gadis itu. Hatinya sedang lelah untuk memikirkan kisah asmara yang tak kunjung usai. Jihan membuka selimutnya dan menatap Yogi dengan tajam. "Bawa aku pergi, Mas! Aku ingin dinikahi olehmu saja! Aku tidak ingin mencintai mas Raihan terlalu jauh dan pada akhirnya a
"Cepatlah, sebelum bianglalanya bertambah kecepatan." Raihan menarik lengan Rania untuk dudu di sampingnya. Dia berjanji, akan membuat ibunya Vano merasa aman. Mau tidak mau Rania berpindah menjadi duduk di sebelah Raihan. Bunanya Vano sekarang sudah masuk ke dalam dekapan lengan Handa Vano. Lega, itulah yang dirasakan wanita dengan lesung pipi yang manis setelah lengan laki-laki kekar itu mengapit tubuhnya, pertanda sedang dilindungi. Ada rasa aman dan tentu dia sangat berterima kasih pada Raihan nantinya. Tiba-tiba, Raihan sedikit menundukkan kepalanya untuk berbicara pada Rania. "Jangan takut, Handa akan melindungi Buna dan Vano," janjinya dengan sebuah usapan lembut di bahu wanita itu. Rania hanya mengangguk pasrah dan menerbitkan senyum manisnya yang kelewat teduh jika diperhatikan. "Terima kasih, Mas." Setelah selesai dengan asiknya bianglala, mereka melanjutkan lagi menjelajahi permainan dan mencoba tantangan baru dari wahana lain. Vano juga membeli banyak mainan dan jajana
"Cepatlah, sebelum bianglalanya bertambah kecepatan." Raihan menarik lengan Rania untuk dudu di sampingnya. Dia berjanji, akan membuat ibunya Vano merasa aman. Mau tidak mau Rania berpindah menjadi duduk di sebelah Raihan. Bunanya Vano sekarang sudah masuk ke dalam dekapan lengan Handa Vano. Lega, itulah yang dirasakan wanita dengan lesung pipi yang manis setelah lengan laki-laki kekar itu mengapit tubuhnya, pertanda sedang dilindungi. Ada rasa aman dan tentu dia sangat berterima kasih pada Raihan nantinya. Tiba-tiba, Raihan sedikit menundukkan kepalanya untuk berbicara pada Rania. "Jangan takut, Handa akan melindungi Buna dan Vano," janjinya dengan sebuah usapan lembut di bahu wanita itu. Rania hanya mengangguk pasrah dan menerbitkan senyum manisnya yang kelewat teduh jika diperhatikan. "Terima kasih, Mas." Setelah selesai dengan asiknya bianglala, mereka melanjutkan lagi menjelajahi permainan dan mencoba tantangan baru dari wahana lain. Vano juga membeli banyak mainan dan jajana
Renan • - Besok aku pulang ke Jakarta, aku harap kau tidak melupakan janjimu, Rania. Aku mencintaimu, kau harus tahu itu - Rania meremat ponselnya saat membaca pesan yang berasal dari Renan. Dia tidak siap bertemu dengan pria itu dalam waktu dekat ini. Jika mereka bertemu, itu akan membuat hati Rania semakin labil dan tidak teguh pada pendiriannya. Dia berniat ingin menjauh saja dari kehidupan Renan mulai saat ini. Niatnya, tidak ingin merepotkan laki-laki itu. Rania • - Terserah. Jangan menemuiku lagi, Ren. Aku rasa kita tidak perlu melanjutkan apa yang baru kita mulai, cukup sampai disini saja. Kau, carilah kebahagianmu dan wanita yang tentu jauh lebih sempurna dariku - Renan • - Apa yang kau katakan? Jangan mengacaukanku lagi, Rania. Aku tidak ingin mengetahui omong kosongmu itu. Aku tetap akan kembali menemuimu - Setelahnya, Rania tidak menjawab pesan dari Renan lagi, memilih mendiamkan saja. Dia fokus pada pekerjaannya sekarang, tangannya lihai memasak makanan untuk tamu pe
Aku ingin menemui wanitaku, jangan katakan pada siapapun, ini rahasia. Kau temanku dan kau harus janji. Oke?" "Hem," jawab Nindi seadanya, membuat Renan menjadi gemas sendiri. Laki-laki itu mencubit ujung hidung Nindi, membuat si gadis menjadi memanyunkan bibirnya, memamerkan sisi keimutan yang tiada duanya. "Aku berangkat! Jangan mencariku. Nanti, ku hubungi jika aku menemukan sesuatu yang menarik untuk kau lihat." Renan segera masuk ke dalam mobil bmw-nya dan melaju begitu saja meninggalkan wanita mungil itu sendirian. Iya, dia harus segera sampai ke Jakarta sebelum hari semakin sore dan warna langit menjadi kehitaman. Perlahan, Nindi mengeluarkan ponselnya dan langsung menelpon Haru Atmadja. Sambungan telepon terhubung dengan sempurna dari seberang sana. "Paman, putramu Renan tiba-tiba kembali ke Jakarta. Dia ingin menemui wanita sialan itu," ucapnya membongkar apa yang terjadi barusan. Jelas, adanya Nindi adalah maksud tersirat dari rencana Haru.