Drap! Renan membalikkan layar handphone-nya pada sebuah meja bulat yang terletak di dekat jendela kaca milik mansion mewahnya. Pandangannya mengabur saat air hujan bercucuran turun melalui corong penampung. Di saat itu pikirannya kembali terlena tentang apa yang terjadi beberapa waktu belakangan ini. "R-ren, tidak diangkat?" Seorang gadis cantik berwajah bulat itu bertanya pada sosok laki-laki yang ia rawat karena mengalami kelumpuhan pada kaki. Itulah perkerjaan yang ia tekuni beberapa tahun belakangan ini. Renan merespon dengan menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Bibirnya terus bergerak-gerak menahan sesuatu saat ini. Ada yang ingin ia sampaikan pada semesta atau air hujan yang mengalir membasahi rumput nan hijau tersebut. "Mau mandi?" tanya gadis itu karena dia pikir sudah sore dan Renan harus mandi agar tidak terlalu kedinginan di cuaca yang seperti ini. "Nanti saja, Kak. Aku masih ingin memandangi air hujan ini ...." "Baiklah, panggil saja aku jika kau butuh sesuatu. A
"Kakak ...." Nana membuat bibirnya tersenyum tipis mendengar lirihan Renan. "Mandi, ya ... kau harus mandi agar tubuhmu lebih rilex lagi. Aku akan membantumu …," tawar Nana dengan mengelus bahu pria itu untuk memberikan penenangan. Dalam keadaan seperti ini, orang seperti Renan hanya butuh tempat bersandar dan orang yang mengerti dengan dirinya. "Aku mandi sendiri saja seperti biasanya ...." balas pria itu dan kembali memandang air hujan yang sejak tadi tidak ingin reda sebentar. Lalu, Nana berjongkok dan melepaskan kaos kaki yang sedang dikenakan oleh Renan. "Baiklah, jika itu maumu. Kakak tidak akan memaksa ...." "Terima ka-" Cklek! Pintu mansion milik Renan terbuka dan menampilkan seorang wanita bertubuh tinggi dengan penampilan swag-nya yang memakai topi baret gelap. Tangannya menjatuhkan koper bajunya saat melihat Nana yang sedang membantu Renan melucuti kaus kaki. "R-rania," reflek Renan saat melihat siapa wanita yang datang dengan wajah sedikit tirus dan tubuh yang sema
"Kakak Rania!!" "Iya?" Rania membalikkan tubuhnya saat ada yang memanggilnya. Bisa-bisanya dia menemukan seseorang yang mengenalnya di German. Tapi, dirinya juga reflek menoleh, mana tau bukan dirinya yang dipanggil, hanya nama saja yang sama. "Nah, kan bener. Ini Kakak," ucap Jeffrey yang sudah berhasil berdiri di depan Rania. Senyum dengan dimple yang dalam bisa membuat wanita mana saja meleleh. "Hah? K-kau Jeffrey, bukan?" Rania memajukan wajahnya, menelisik wajah laki-laki yang ada di depannya, sungguh sulit dipercaya jika itu adik tingkatnya. "Benar. Kakak sedang apa disini?" "Mengejar sesuatu." "Renan, ya?" Seolah tahu apa yang terjadi, Renan membuat Rania salah tingkah. Rasanya seperti satu dunia tahu bahwa Rania sekarang tengah mengejar Renan. Lalu, Rania berusaha menyimpulkan senyumannya. "Kau tahu?" Nada bicaranya mengecil di akhir. "Tahulah, feed ig renanadtm97 isinya foto anyarst95 semua, haha …," tawa Jeffrey dengan menampilkan senyum lesung pipitnya. Tangannya b
"Kakak! Kakak! Bantu aku sebentar! Aku di kamar mandi! Kakak …," teriak Renan yang sudah memasang kolor dengan asal. Tidak ada jawaban dari Nana, Renan terus kembali memanggil kakaknya. "Kakak! Apa kau dengar aku! Kemarilah, aku butuh bantuanmu!" Cklek. Seorang wanita telah membuka pintu kamar mandi Renan dengan hati-hati, membuat Renan terkejut dan reflek bergerak menutupi pahanya yang terpampang dengan jelas. Paha sexy berotot idaman para wanita itu bisa dilihat sempurna oleh Rania. "Kau butuh bantuan? Kakakmu sedang ke pasar," tawar Rania yang masih berdiri diambang pintu dengan tatapan biasa saja. Tidak memperhatikan yang lain karena tidak berminat, dia murni ingin menolong. "Tidak! Pergilah sana, aku tidak butuh bantuanmu!" tolak Renan dengan suaranya yang begitu keras. Mendengar penolakan Renan, Rania menatap ke arah kaki pria itu dan mendapati celana tidur Renan yang masih tergantung di dekat tisu toilet. Jelas, pria itu sangat membutuhkan bantuan. "Aku akan membantumu mem
"Memang dia siapa? Aku sedang mengobrol bersama Kakak dengan tenang dan dia ikut menimbrung. Merusak mood-ku saja, aku jadi tidak berselera untuk melanjutkan makan, huh!" kesal Renan dan kembali berfokus pada Nanan yang ada di depannya. Tidak peduli pada perasaan Rania yang mungkin terluka akibat perkataan kasarnya. Tes! Satu bulir air mata Rania turun tanpa permisi, buru-buru Rania menghapusnya dengan cepat dan menaruhkan daging mentah tersebut ke dalam wadah mangkuk yang cukup besar. Setelah itu, ia melanjutkan mencuci sayuran dan kembali ke dalam kamarnya. Tidak ada yang dia ucapkan, langkah kakinya juga tidak menandakan dia marah, wanita itu mampu mengontrol emosinya agar tidak menangis di depan Renan. Mata Renan juga terus memperhatikan Rania yang berjalan dengan santai tanpa menegur laki-laki itu lagi. "Cih! Lewat dia di depanku! Semakin merusak ketenanganku sekarang!" Rania meneguk ludahnya susah payah dan dengan cekatan menutup pintu kamarnya. Setelah pintu tertutup, bar
"Selamat atas peluncuran atas brand-mu sendiri, kau gadis yang hebat." Raihan menyodorkan tangannya pada seorang gadis yang ada di depannya. Si gadis menerima jabatan tangan dari Raihan dengan senyuman yang merekah cantik. "Terima kasih, Mas. Akhirnya, aku bisa mendapatkan apa yang aku mau," ungkapnya, terlihat wajahnya yang berseri-seri karena sedang bahagia. "Kau memang penuh ambisi dan layak mendapatkan semua ini," tutur Raihan lagi sambil melepaskan jabatan tangannya. Sesekali, dia melirik ke arah perempuan berambut panjang hitam yang sedang berdiri sendirian dan tidak punya teman untuk sekedar mengobrol. Jeni tersenyum miring menanggapi seniornya tersebut. "Benarkah? Aku tersanjung mendengarnya. Aku pikir wanita dengan paras good looking sangat mudah mendapatkan apa yang mereka inginkan," sarkasnya dengan menyindir seseorang yang jelas Raihan tahu. "Perkataanmu ada benarnya dan ada juga poin yang salah, aku rasa kau mengerti maksudku." Jeni terkekeh kecil mendengarnya. "Aku
"Tidak! Sanalah pulang sendiri! Sudah puas kan lihat aku yang berjalan sendiri? Itu mau dirimu, kan? Sana pulang!" desak Renan, mata tajam seperti elang itu hampir meruntuhkan pertahanan Rania. Tapi, syukurlah Rania masih mampu menahannya agar tidak menangis hebat di depan laki-laki itu. Dengan berat hati Rania menundukkan kepalanya dan menggeser tubuhnya perlahan ke samping dan berbelok ke jalur kanan lorong rumah sakit. Tanpa pamit lagi, Rania langsung mengayunkan kakinya meninggalkan Renan dan Nana dengan tangisan pecah tanpa suara. Akhirnya, dia meluruhkannya sendiri tanpa dilihat oleh orang lain. Renan memperhatikan punggung Rania yang semakin jauh pergi meninggalkannya. "Ini yang terakhir dan maaf …," gumam Renan. Setelah ini, dia akan benar-benar meminta maaf yang banyak pada wanitanya. Bukankah ini terlalu kejam, Ren? *** Sudah hampir tiga jam lebih atau lebih tepatnya hampir pukul 23.00. Rania masih setia duduk di bawah bangku taman seorang diri. Dia tidak berniat pulang
"Cantik …," gumam Rania saat dirinya bercermin dengan gaun putih sederhana yang terpasang dengan indah di tubuhnya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai begitu saja dan diiringi polesan make up kuat di bagian wajah. "Tentu, kau kan adikku makanya cantik …," ucap Yogi yang memperhatikan adiknya dari pantulan cermin. Dirinya terlihat kurang sehat karena kehilangan jejak dari sang istri. Beginilah dia sekarang, membuntuti Rania akhir-akhir ini. "Mas terlihat kurang sehat, jika nanti ku-" "Dimana Irene?" Rania tercekat atas pertanyaan Yogi yang memotong ucapannya. "Mas ... kalian sudah berpisah, apalagi yang Mas mau? Bukannya itu pilihan sepihak dari Mas sendiri? Biarkan Kakak Irene bahagia dengan hidupnya, jangan mengusiknya lagi," jawab Rania dengan datar. Dia dapat melihat pantulan wajah Yogi dari cermin, ekspresi itu menyedihkan. "Aku tahu, aku menyesal Rania. Katakan padaku dimana Irene?" "Anya tidak tahu," jawab Rania dan langsung berpura-pura mencari sesuatu dalam tasnya. Dia