Tidak ada siapapun di kamar mandi itu kecuali dirinya. Reihan yang mulai merinding segera meraih handuk dan juga pakaiannya. Ia keluar dari kamar mandi dengan badan yang masih basah. Ia langsung menuju ke ruang makan untuk menemui istri dan juga anaknya. “Lho, Mas? kok masih basah semua gitu? Memangnya gak ada handuk?” Tanya Jihan yang melihat suaminya keluar dari kamar mandi, namun ekspresinya seperti ketakutan. “Ada apa, Mas? kok kamu seperti ketakutan begitu?” Tanya Jihan lagi. “Kamu tadi masuk kamar mandi gak, Sayang?” Tanya Reihan yang memastikan bahwa yang memeluknya tadi adalah Jhan atau bukan. “Tidak, Mas. Aku dari tadi di sini sama Alea nungguin kamu mandi gak selesai-selesai.” “Serius?” Tanya Reihan lagi. “Serius, Mas. Memangnya kenapa sih?” Tanya Jihan penasaran. “Gak apa-apa. Kita makan bareng aja yuk. Perutku sudah lapar.” Kata Reihan yang berusaha mengalihkan pembicaraannya. “Apalagi Alea. Alea dari tadi sudah lapar, Ayah. Nungguin Ayah gak datang-datang
TapAda tangan yang tiba-tiba memegang pundaknya dari belakang. Jihan terkejut dan langsung menoleh ke arah belakangnya. “Kamu kenapa belum tidur, Sayang?” Tanya seseorang yang menepuk pundak Jihan yang ternyata itu adalah Reihan. “Ada... ada...” Kata Jihan terbata-bata. Karena ia takut mendengar suara tangisan yang tiba-tiba menghilang itu. “Ada apa?” Tanya Reihan penasaran. “Ada suara wanita menangis, Mas.” “Dimana? Aku tidak mendengarnya.” Ucap Reihan. “Di situ, Mas. Aku tadi mendengarnya.” Kata Jihan sambil menunjuk ke arah asal suara tangisan itu. “Seperti apa suaranya?” Tanya Reihan lagi. “Ya seperti suara tangisan perempuan, Mas.” Jawab Jihan. “Apa suaranya seperti ini? Heemmm heeemmm.” Tiba-tiba Reihan yang tadinya baik-baik saja menjadi menyeramkan. Suara menangisnya sama persis seperti apa yang didengar oleh Jihan tadi. Jihan menjadi takut. Ia semakin mundur. Sedangkan Reihan semakin mendekatinya. “Siapa kamu?” Tanya Jihan yang berusaha melawan rasa taku
Reihan yang mendengar Alea berkata seperti itu langsung menoleh ke arah puterinya dan menghentikan wudhunya. “Yah. Kok ilang?” Kata Alea. “Sayang. Kamu lihat Jeny?” Tanya Jihan kepada Alea. “Iya, Ma. Tadi dia berdiri di samping Ayah.” Jelas Alea. Reihan segera melanjutkan wudhunya. Kemudian ia menunggu Jihan dan juga Alea selesai wudhu. Ia takut kalau harus pergi ke ruang ibadah sendirian.Setelah wudhu, mereka bertiga langsung menuju ke ruang ibadah untuk menunaikan sholat subuh. Suasana hening, tanpa ada aba-aba dari kokokan ayam atau pun suara kicauan burung yang menandakan pagi akan segera tiba.Reihan melantunkan surah pendek dengan baik. Pelafadzannya juga lumayan bagus. Sedangkan Jihan dan Alea mendengarkan dan mengikuti gerakan imam. Mereka bertiga terlihat khusyu saat menjalankan sholat.***Matahari mulai menampakkan sinarnya. Hari ini Reihan libur bekerja karena harus mendaftarkan Alea ke sekolahnya yang baru. “Alea. Kamu sudah siap kan belajar di sekolah yang baru
“Tidak tahu. Coba aku periksa dulu.” Reihan pun turun dari mobil. Jihan dan Alea menunggu di dalam mobil. “Ada apa, Ma? Kenapa mobilnya berhenti?” Tanya Alea kepada ibunya. “Tidak tahu, Nak. Kita tunggu Ayah sampai selesai mengeceknya ya.” Jawab Jihan.Beberapa menit kemudian, Reihan belum juga bisa menemukan kendala yang sedang menimpa mobilnya. Jihan dan Alea pun turun dari mobil. Menanyakan keadaan kendaraan yang mereka tumpangi saat ini. “Kenapa, Mas? Apa ada masalah?” Tanya Jihan kepada Reihan yang masih meneliti kerusakan yang menyebabkan mobilnya berhenti mendadak. Jihan merasa takut. Karena kondisi jalanan sangat sepi, mengingat mereka sedang berada di sepanjang jalan yang kanan kiri penuh dengan pepohonan. Ya bisa dibilang masih seperti hutan. “Aku belum menemukan kerusakannya. Sabar ya.” Kata Reihan yang berusaha menenangkan kedua wanitanya. “Hei. Kenapa kamu berlari.” Kata Alea kepada sosok yang dilihatnya. “Ada apa, Alea? Siapa yang kamu maksud barusan?” Tan
Jihan terbangun dari tidurnya. Nafasnya terengah-engah. Ia juga mengeluarkan keringat dingin. Ternyata semua itu hanyalah mimpi. Namun mimpi itu terlihat seperti nyata. Tidak hanya satu orang yang memperingatinya untuk pergi dari rumah itu. Takut. Itu yang sebenarnya Jihan rasakan. Tapi ia belum bisa memecahkan misteri-misteri yang ingin ia ketahui kebenarannya. “Sayang. Kamu kenapa? Kamu pasti mimpi buruk lagi ya?” Tanya Reihan sambil mengemudikan mobilnya. “Iya, Mas. aku mimpi buruk lagi.” Jawab Jihan yang masih dengan perasaan yang tegang. Jantungnya berdegup kencang. Rasanya seperti dikerjar hantu. “Mama kalau udah ngantuk, baca do’a tidur aja. Biar nanti kalau ketiduran aman. Gak mimpi buruk lagi.”Celetuk Alea yang duduk di kursi belakang. “Hahaha. Kamu ini ada-ada saja, Nak. Mama pasti kecapekan. Makanya ketiduran. Terus mimpi buruk deh.” Kata Reihan yang tertawa melihat kepolosan Alea. “Memangnya Ayah kalau kecapekan juga suka mimpi buruk begitu , Yah?” Tanya Alea la
Sosok itu semakin melotot ke arah Reihan. Reihan yang semakin takut memutuskan untuk memejamkan matanya. Namun, di tengah-tengah ketakutannya menghadapi sosok yang menyeramkan tersebut, kaca mobil Reihan diketuk oleh Jihan. “Mas. Mas. Kok lama banget gak keluar-keluar?” Tanya Jihan dari luar mobil. Mengetahui hal tersebut, sosok wanita itu melepaskan kedua tagannya yang sedari tadi menggenggam erat pergelangan kaki Reihan. Ia menghilang begitu saja.Reihan yang tampak masih lemas membuka pintu mobilnya. “Huft. Syukurlah.” Katanya Lega. “Ada apa, Mas? Kenapa kamu panik seperti itu?” Tanya Jihan penasaran. Ia melihat wajah suaminya yang begitu panik, namun pria tersebut juga merasa lega lantaran sosok wanita yang menghantuinya tadi telah pergi. “Tidak apa-apa, Sayang. Hanya tadi kakiku kram. Tidak bisa digerakkan.” Jawab Reihan berbohong. Ia tidak ingin membuat istrinya semakin takut. Reihan pun keluar dari mobilnya. Mereka berdua masuk ke dalam rumah. Sedangkan sosok wanita ta
Malam ini terasa begitu dingin. Angin yang masuk melalui jendela sangatlah menusuk tulang. “Sepertinya akan turun hujan.” Kata Jihan sambil menutup pintu jendela. “Sepertinya begitu.” Jawab Reihan.Mereka bersantai setelah makan malam selesai. Alea yang sibuk memainkan bonekanya bersama sang ayah, kini sudah mulai mengantuk. Namun tiba-tiba lampu di rumah mereka pun padam. Semua terlihat gelap gulita. Tidak ada penerangan. Angin semakin kencang. Jendela yang tadinya tertutup kembali terbuka karena diterpa angin kencang. Jihan yang masih belum beranjak dari depan jendela kembali menutup jendela tersebut. “Ayah, Mama. Kalian dimana?” Tanya Alea yang takut karena mati lampu. “Tenang, Sayang. Ayah ada di sampingmu.” Jawab Reihan.Alea merasakan sentuhan yang memegang tangannya. “Tangan Ayah dingin sekali.” Kata Alea. “Ayah tidak memegang tanganmu, Alea.” Jawab Reihan yang mulai takut. Terasa aneh jika Alea merasa bahwa ia yang memegang tangannya. “Lalu siapa? Jeny. Apakah
“Lepaskan aku! Lepaskan!” kata Jihan yang sangat ketakutan. Ia berontak dan berusaha meloloskan diri dari sosok yang memegang kedua lengannya. “Kenapa kamu tidak mau disentuh oleh suamimu sendiri, Jihan?” Tanya sosok itu yang ternyata adalah Reihan. Ia sengaja menjahili istrinya yang penakut itu. “Kamu, Mas? Kamu ini selalu saja mengerjaiku. Aku tidak suka kamu buat deg-degan seperti ini.” Kata Jihan kesal. “Hahaha. Makanya, jadi orang jangan penakut. Kalau dijahilin begini, kan yang ngejahilin jadi puas karena ulahnya berhasil.” Jawab Reihan sambil tertawa kecil. “Gak lucu, Mas.” Gerutu Jihan dengan muka kesalnya. “Hehe. Maaf deh. Ya sudah. Sekarang kita tidur yuk. Aku dari tadi tungguin kamu keluar dari kamar Alea. Alea sudah tidur?” “Sudah kok. Barusan aja dia tidur.” “Ya sudah. Sekarang gantian kita yang tidur. Tapi sambil pelukan ya. Mumpung cuacanya mendukung banget ini.” Goda Reihan kepada istrinya. Jihan mencubit kecil perut suaminya yang sedikit buncit itu. Mer