"Apa yang terjadi?"Kristo masih berdiri di sana, berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket, menatap kedatangan Ariza. Gadis itu terlihat seperti siluet misterius yang muncul tiba-tiba dari hutan Pinus."Jangan cari lagi Lilymu," Gadis itu meraih helmetnya dengan tenang, mengibaskan rambutnya ke belakang lalu mengenakan benda pelindung itu dikepalanya."Maksudmu?" Pemuda berwajah rupawan itu mengangkat alisnya."Dia sudah berakhir.""Ariza..."Perempuan itu memandang Kristo. Saat itu, Kristo menyadari bahwa warna mata Ariza biru dan separuh hitam. Pemuda itu terhenyak di bawah permukaan."Kau percaya padaku, bukan?" tuntut ketua Poison itu pula. Kristo, mengangguk tanpa ragu."Sejak awal, gadis itu datang untuk mengincarku. Dia berasal dari dimensi yang sama denganku. Tapi dia tidak akan dapat lagi kembali kesini.""Kau mengirimnya pulang?""Lebih dari itu."Ariza tampaknya tidak niat bicara lagi. Dia menaiki kendaraannya, menatap Kristo sejenak."Aku minta maaf ka
"Chandra Fala, siswa pindahan dari sepuluh 1PA B." ungkap Riana saat dilihatnya Ariza mengarahkan mata pada Chandra yang duduk di sudut kantin dan menikmati makanannya bersama Daniah."Jadi, dia memakai nama asli?" gumam Ariza nyaris tak terdengar. "Siapa gadis yang duduk bersamanya?""Dwi Daniah. Kelas Sepuluh juga." Kali ini Saron yang bicara. Gadis itu menjawab sambil menatap layar ponselnya."Perempuan itu biasanya terlihat juga bersama Bayu, namun akhir-akhir Bayu belum terlihat di sekolah."Ariza ingat interaksi terakhirnya dengan Bayu, dia merawat pemuda itu selama dua hari sampai akhirnya dia mendapati pemuda itu lenyap tanpa jejak di kamarnya. Pulang tanpa pamit. Dia juga tidak pernah melihat Bayu di sekolah.Ariza, memperhatikan Chandra dan Daniah, mempelajari gerak gerik dan senyum pemuda itu dan menyimpulkan satu hal.Dia menoleh pada Riana yang tengah menikmati es tehnya. Merasa sang ketua memerlukan dirinya, Riana membalas tatapan Ariza."Bawa gadis itu di villa Sapphire
"Jangan!"Chandra Fala berseru, serak dan keras. Wajahnya tampak pias. Dia tahu apa yang dilakukan Ariza. Gadis itu hendak membunuh Daniah perlahan dengan merusakkan sel tubuhnya satu persatu."Aku mohon..." pintanya, jatuh berlutut, memelas. Tirza menjauhkan tangannya dari Daniah yang sudah terlihat jauh lebih pucat pasi."Kau menerima tawaranku?" Ariza menoleh pada Chandra. Laki -laki itu mengepalkan tangannya."Apa yang hendak kau lakukan pada Putri Nilam Rencana?" tanyanya menuntut. Ariza tersenyum tipis, "Kau tidak berhak tahu, kau hanya perlu membawaku kepadanya, dan jangan berani berbohong.""Aku... " Chandra menggigit lidahnya, melihat Daniah yang sudah nyaris kehilangan kesadaran, "Akan membawamu padanya."Ariza menoleh pada Riana. "Bawa gadis itu ke dalam villa. Aku akan pergi dengan pemuda ini."Riana mengangguk patuh.Di menit yang lain, Chandra dan Ariza kini telah berdiri di depan villa, di samping sepeda motor sport mereka masing-masing. Chandra berinisiatif menaiki ken
Hari itu, Ariza meninggalkan kediamannya saat hari masih sore. Dia menyetir mobilnya sembari memutar undur memori, mengingat tempat dimana Nilam Rencana pernah berusaha menculiknya.Dia tersesat beberapa kali, sampai akhirnya dia berada di jalur yang tepat, melihat bangunan familiar itu. Kediaman yang dulu digunakan Putri Sofraz itu untuk menyekapnya.Ariza memarkir kendaraannya. Hari itu dia terlihat sama cantiknya seperti biasa, dalam pakaian santai dan celana selutut yang membuatnya lebih manusiawi. Rambutnya di gerainya lepas, memamerkan kilau rambut Sapphire yang memang indah.Ariza menekan bel, setelah menunggu beberapa lama, pintu itu di buka oleh seorang perempuan separuh baya dalam pakaian asisten rumah tangga."Ada yang bisa di bantu?""Saya ingin bertemu pemilik rumah ini,""Maksud Anda, Nona Nilam?""Ya."Sang asisten tampak terdiam sejenak, Ariza dapat melihat dia bahkan tidak membuka pintu itu lebar lebar, hanya memunculkan kepalanya saja.Merasa wanita itu sedang menila
"Bukan kamu yang menentukan kepantasan seseorang untuk menjadi ratu,""Ya,"Ariza mengangguk tanpa ragu menyahuti ucapan sang Pangeran. "Tapi aku bebas menilainya.""Aku akan mengampuni perbuatanmu ini," Ucap Angin Nava Satra, berdiri dengan tenang dalam wibawa seorang raja. "Asalkan, kau dengan sukarela menyerahkan Nilakandi Adavara. Aku berjanji, aku tidak akan mengusikmu lagi."Ariza membeku beberapa saat, lalu perlahan -lahan senyum manisnya terbentuk. "Barangkali jika kau lupa, Angin Nava Satra. Kaulah yang mengusirku dari Sofraz. Lalu kenapa sekarang kau bisa melintasi dimensi hanya karna Nilakandi Adavara ada bersamaku?""Ini untuk kesembuhan ibunda." balas Angin Nava Satra. "Bagaimana...." Tirza menarik nafasnya, lalu mengangkat kepala menatap orang yang dicintainya itu. "Jika aku tidak mau?"Angin Nava Satra mengerjab dalam ketenangannya, dia maju satu langkah. Sedangkan Nilam mulai bangkit perlahan dan berusaha melakukan penyembuhan mandiri meski itu memang tidak akan banyak
Frazia Farza Purdam melangkah memasuki ruang peraduan Ratu Sofraz. Perempuan itu berada dalam keadaan setengah koma, tak dapat bicara dan tak membuka mata. Beberapa saat, Frazia berdiri disana, lalu perlahan senyum tipis muncul di bibirnya."Sudah begitu lama eh? Padahal aku berharap kamu segera mati, Agatara Vidma. Aku menikmati peranku sekarang, semuanya berada dalam kendaliku. Aku tinggal menunggu waktu bagaimana cara menutup portal dimensi agar putramu tidak akan dapat kembali ke sini, dan aku akan berkuasa selamanya..."Perempuan berambut merah itu tertawa kecil, menahan mulutnya dengan tangan. Khawatir kalau para dayang yang berdiri di luar sana dapat menangkap suara tawanya. Frazia melangkah mengelilingi ranjang ratu."Sekarang, Sofraz berada dalam genggamanku. Namun karna para tua tua sialan itu aku terpaksa harus menahan diriku untuk duduk di kursi kebesaran. Padahal selangkah lagi, semuanya akan sempurna." Dia berdecak sinis. Lalu, wanita itu menatap ke arah Agatara Vidma, Ra
"Pergilah bersama Galamav." Pangeran Gag melepas kepergian Tirza. Gadis itu mengenakan pakaian perjalanan sederhana, namun tetapi tak bisa menyembunyikan kecantikannya.Tirza memang menguasai kemampuan teleportasi, namun untuk melakukannya dibutuhkan energi yang besar dan cukup beresiko. Karna itu dia berpikir untuk kembali ke Sofraz jalur udara. Tirza ingin menemui gurunya lebih dulu.Gadis itu tersenyum pada pangeran Gag sebelum Galamav, gagak raksasa itu mengepakkan sayapnya membawa Tirza terbang ke awan."Kita temui Guruku, Galamav."burung itu menguik halus tanda mengerti. Selang beberapa saat kemudian, mereka mulai melintasi langit Sofraz. Galamav sepertinya tahu tempat terakhir dimana Guru Amba berada. Dia mendarat di hutan Pilaz. Hutan yang terletak di barat Sofraz itu adalah salah satu hutan terlarang yang jarang di masuki manusia.Tirza sendiri tahu bahwa hutan ini adalah tempat dimana sang guru lebih banyak bersunyi diri dan bermeditasi semenjak Angin dan Tirza telah purn
Menutup portal hanya bisa dilakukan oleh orang yang membuka portal itu sendiri, Angin Nava Satra. Bagaimana bisa Frazia melakukan itu?"Aku bisa melakukan banyak hal," Seolah tahu apa yang ada di pikiran Tirza Antara, wanita tua yang masih terlihat muda itu bicara."Kau memang berniat mengambil alih tahta..." gumam Tirza, dengan pandangan tak habis pikir.Mendengar itu, Frazia tertawa. "Aku tidak mengambil alih, sejak awal, tahta Sofraz adalah milikku. Jangan menjadi naif.""Kau juga yang menjebakku sehingga aku difitnah sebagai orang yang meracuni Ratu, bukan?"Tanpa ragu, Frazia tertawa dan mengangguk. "Lalu, kamu mau apa? Berteriak mengatakan kalau aku yang meracun Agatara? Tidak akan ada yang mempercayai seorang pengkhianat sepertimu."Tirza sadar akan hal itu, dia tidak bisa menuding Frazia begitu saja. Dia membutuhkan bukti."Aku tidak peduli dengan urusan Fandita," akhirnya gadis itu bicara lagi. "Aku hanya memohon izin untuk bertemu dengan ibuku.""Ibumu?" Frazia mengangkat