“PUTRA!”
Putra lantas menjauhkan ponselnya dari telinga saat mendengar suara teriakan ibunya.
“Ya, Mi?” tanyanya dengan wajah mengernyit.
“Sebenarnya kamu lagi ngapain, hah?”
Putra menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia baru saja membantu Fadlan merapikan kekacauan di rumah Bara. Sedangkan pemilik rumah itu sendiri malah pergi mengantarkan Nilam dan Leo pulang.
Musik yang dinyalakan Edo mengalun kencang dari ruang depan, tempat ia tengah mengepel sambil bernyanyi.
“Heh, Kampr*t! Matiin dulu!” desis Putra tanpa suara. Tangannya menunjuk ponsel dan gorokan ibu jarinya di leher sebagai kode hitam. Edo langsung bergerak mafhum. Ia melompat dan mematikan musik menggelegar itu, lalu kembali asyik mengepel lantai tempatnya tertawa sampai mengompol tadi.
“Kamu di mana sekarang?!”
“Aku lagi di apartment, Mi,” jawab Putra sambil mengel
Ny. Retno Arum Ningtyas.Nama itu tertulis sempurna di atas gelang pasien yang baru saja masuk ke ruang perawatan. Selang infus, ventilator pernapasan, dan elektroda yang terhubung dengan monitor hemodinamik dan saturasi, menempel di tubuh rentanya.Meski gejala krusial serangan jantung sudah berlalu, tapi dokter tetap siaga memantau kondisi pasien.“Ibu Retno harus dirawat dulu untuk memantau perkembangannya,” terang seorang dokter berkaca mata.“Iya, iya, Dok. Lakukan apa pun yang memang diperlukan untuk Ibu saya.”Dokter itu mengangguk mafhum. “Baik, Bu. Kami pasti akan mengusahakan yang terbaik.”Gendis menyeka matanya yang berkabut. Lalu mengangguk saat dokter dan dua perawat pendampingnya berpamitan.“Dis?” Suara lemah dari balik gorden membuat Gendis terkesiap. Ia melongokkan kepalanya, menyapa sosok renta di atas ranjang itu. “Mana suamimu?”Gendis mengerjap be
“Wah, enak yah jadi janda, bisa ganti-ganti pasangan sesuka hati, dan nggak ada yang marah.”“Hus! Jangan suka bener kalau ngomong! Hihihi.”Nilam menghela napas panjang saat mendengar gunjingan orang-orang tepat di belakang punggungnya.Minggu ketiga setelah kepergian pria itu, tapi rasanya seperti sudah 3 tahun berlalu. Kini aroma yang ditinggalnya perlahan mulai terasa samar.Rutinitas Nilam kembali, tapi hidupnya tak lagi sama. Dulu, tidak peduli betapa banyak cemoohan yang ia dapat, ia tetap bisa berjalan dengan langkah tegap. Tidak peduli sekejam apa dunia memperlakukannya, Nilam tetap bisa bertahan tanpa memedulikan hal itu.Namun entah mengapa, sekarang ia merasa begitu letih.Setiap pagi, hal pertama yang Nilam lakukan adalah memeriksa ponselnya seperti orang bodoh. Detak jantungnya bertalu tak menentu, dengan harapan pria itu meninggalkan sebuah pesan atau panggilan tak terjawab saat ia terlelap. Itu menjadi
Edo bersiul pelan sambil menyisir rambut jabriknya. Ia tersenyum di cermin, mengagumi ketampanannya, lalu menjentikkan jari saat merasa sudah sempurna.“Lo emang ganteng, Do,” pujinya sambil tersenyum bangga. Pria itu melompati sofa untuk mengambil kunci mobil, lalu melompat lagi ke tempat semula seperti atlit parkur professional.Plok. Plok.Edo bertepuk tangan untuk dirinya sendiri, seakan ia adalah penonton yang terkagum-kagum. “Terima kasih, terima kasih,” katanya, sambil membungkukkan badan, kini berperan sebagai seorang atlit yang digemari banyak orang.Namun, saat ia membuka pintu studio, hampir saja jantungnya berhenti berdetak. “ANJ*NG! S*ALAN! NGAPAIN LO DI SINI?!” bentak Edo ketika menemukan Putra duduk di depan studionya.Putra menghela napas panjang sambil menghisap dalam-dalam rokok yang hampir habis. Di sekitar kakinya, beberapa puntung rokok berserakan bagai bunga yang ditabur di atas makam. Di sa
“Pak Bara beneran mau resign?” tanya Dianty, staff admin berusia 22 tahun.Gosip itu menyebar dalam sekedipan mata.Setelah cuti hampir 3 minggu lamanya, tiba-tiba saja Bara kembali dengan surat pengunduran diri yang mengguncang semua orang.“Apa dia keterima di law firm yang lebih bagus?” tanya Feby, finance officer yang baru saja menikah dua bulan yang lalu. “Atau mau buka law firmnya sendiri?”Suasana pantry siang itu semurung mendung di luar gedung. Bekal makan siang yang sudah dibuka hanya diaduk tanpa selera. Kesedihan jelas terpancar dari wajah karyawan yang lain, terutama karyawan wanita yang sangat mengidolakan wajah tampan Bara.“Masa kamu nggak pernah dengar apa-apa sebelumnya, Ren?” Dianty beralih kepada Iren yang sejak tadi hanya menatap ketoprak pesanannya.Sebagai paralegal yang bekerja mendampingi Bara, Iren menjadi salah satu orang yang harus
“Saya minta maaf, Nilam.”Nilam menghela napas sambil melirik Leo yang asyik bermain dengan robot kesukaannya di kursi belakang.“Ini check up terakhir Leo, kan?”Nilam mengangguk. “Ya.”“Kalau begitu biar saya antar sekali ini lagi saja.”Pandangan Nilam terpaku ke atas dashboard mobil di hadapanya. Entah bagaimana, rasanya mobil itu tak lagi terasa asing. Mungkin waktu sudah membuat jarak penilaiannya sedikit kabur.“Terima kasih, Mas Putra.”Putra tersenyum tipis. Ia juga berkali-kali melirik Leo dari kaca spion. Tanpa terasa, sekarang tawa Leo sudah menjadi bagian dari kesunyian yang selama ini pria itu lewati. Bahkan, ia tak lagi terkejut melihat satu atau dua mainan Leo yang tertinggal di mobil. Kehidupan abu-abu pria 27 tahun itu jelas ikut berubah sejak kedatangan Leo dan Nilam.Dan ia pasti merindukan warna berbeda yang mereka bawa.&ldquo
Beberapa saat yang lalu.“Dokter Cindy?”Langkah Cindy terhenti seketika.“Dokter Kinan.” Cindy tersenyum manis saat melihat seniornya. Berbeda dengan senyuman sedih di wajah Kinan. “Saya dari tadi cari Dokter.”“Ah, males sebenarnya saya ketemu kamu.”Cindy tersenyum melihat rajukkan seniornya. “Maaf ya, Dok.”Kinan melipat tangan di dada. “Kenapa sampai harus resign sih?”“Kan aku mau ikuti jejak Dokter Kinan dan Dokter Andra.” Cindy menatap cincin berlian yang melingkari tangan Kinan. Kisah Kinan dan Andra memang menjadi kisah romansa terfavorit di rumah sakit mereka. Keduanya adalah dokter muda yang rupawan dan baik hati. Pernikahan mereka yang dramatis membuat semua orang di rumah sakit ikut merasa begitu bahagia.“Kalau kamu mau ikut jejak saya, ya cari suami dokter. Bukan suami pengacara,” gerutu Kinan, masih dengan n
Kardus-kardus menumpuk di depan rumah dinas Bara.Edo menghisap dalam-dalam rokoknya sambil memejamkan mata. Beberapa puntung rokok yang mati berserakkan di sekitar kakinya, dan satu lagi tambahan setelah Edo menghisap rokoknya sampai habis. Ia melemparkan rokok itu, lalu menginjaknya hingga mati.Masih belum terurai, Edo mencari batang rokok yang lain. Berharap kali ini, penat dalam benaknya akan sedikit memudar. Namun, saat ia tidak menemukan batang lain di bungkus rokoknya, ia memaki keras. “B*ngsat!”Edo menendang kerikil dengan ujung sepatu, lalu memungut puntung rokok yang sudah diinjaknya —yang masih cukup panjang— sebelum menyalakannya kembali. Ia tertawa sinis saat menyadari penampilannya pasti seperti penampilan Putra yang terjaga semalaman di depan studionya beberapa waktu yang lalu.Bahkan mungkin, meski ia sudah menghisap seluruh rokok di muka bumi, kusut dalam kepalanya takkan pernah menghilang.Bruk.Fa
Putra : ‘Gue akan nikahi Nilam.’Tidak perlu menunggu lama untuk mendapat jawaban dari pesan yang dikirimnya beberapa saat yang lalu. Putra menghisap dalam-dalam rokok yang terselip di antara jarinya, lalu terkekeh sinis saat melihat nama Bara yang mencoba menghubunginya berkali-kali.Jika ia tau semudah itu memancing Bara keluar dari persembunyiannya, mungkin ia sudah melakukannya sejak dulu.Putra membiarkan teleponnya berdering sedikit lebih lama, meski sebentar, ia ingin pria itu merasakan kegelisahaan yang selama ini mereka rasakan saat mencari keberadaannya.“Apa maksud lo, bangs*t?!” bentakkan itu muncul saat akhirnya Putra menjawab telepon.Senyum sinis Putra melengkung tipis. “Lo nggak bisa baca?”“Jangan main-main, Putra!” geram pria di seberang telepon, yang membuat kekeh Putra terlontar begitu saja.“Gue nggak ma