"Cuma ini kost yang deket dari rumah. Nggak ada aturan, lingkungannya open BO, eh open minded, bebas juga karena yang punya orang luar kota. Jangan heran kalau banyak yang kumpul kebo atau mabok-mabokan di sini. Jaraknya juga cuma seratus meteran dari rumah gue sama Mami. Lo bisa dateng kapan aja kalau butuh sesuatu. Awas aja kalau ada apa-apa lu nggak bilang sama gue." Roy menjelaskan dengan panjang lebar tentang indekos berukuran 6 x 6 yang sudah difasilitasi dengan ranjang dan lemari. Setelah melakukan transaksi dengan pemiliknya tadi, aku bisa langsung menempati tempat ini."Iya, iya. Gue ngerti, makasih dan maaf kalau selama ini gue selalu ngerepotin kali--""Sttt ...!" Roy meletakkan telunjuknya di bibirku. "Lu nggak ngerepotin sama sekali." Sesaat setelah menarik tangannya, dia tiba-tiba menatapku sayu. "Padahal kalau liat sikon, rumah yang saat ini Bu Nia sama Nana tempatin gue tahu ada hak, lu, Nindi. Karena lu juga bantu selesain proses pembangunan sampe tuh rumah layak huni
"Mau dimasakin apa Abang hari ini?"" .... " Tak ada jawaban, kulihat Bang Khalid masih sibuk dengan ponsel seolah menunggu balasan dari seseorang."Bang?!" Sekali lagi aku memanggil."Eh, iya." Bang Khalid terhenyak hingga membuat ponselnya hampir terlepas dari genggaman tangan."Mau makan apa buat sarapan?""Ng--minta Neli buatin martabak mie aja, Nay."Aku tertegun sejenak, dan sontak memastikan. "Martabak mie?"Dia mengangguk. "Iya, tanya Neli, dia pasti tahu. Kalau gitu Abang sepedaan keliling perumahan sebentar, ya. Habis itu baru kita makan." Bang Khalid bangkit setelah memasukan ponsel ke saku celana training pendek yang dikenakan. Dia mengecup keningku sejenak, sebelum berlari kecil ke luar.Kuperhatikan dia dari balik balkon kamar, bagaimana suamiku mengeluarkan sepeda dari garasi, kemudian mulai mengendarai.Memang sudah jadi kebiasaannya tiap akhir pekan. Olahraga dua kali dalam sepekan selalu dia sempatkan. Namun, ada yang janggal ketika dia tiba-tiba meminta mie untuk s
Seminggu kembali berlalu, berarti tepat dua pekan sejak kepergian Nindi. Tidak ada hal berarti yang terjadi. Namun, tak bisa dipungkiri ada yang mulai berubah dari semua ini.Perubahaan yang baru kusadari terasa asing dan mengganggu. Perubahan yang membuatku tak bisa menyangkal bahwa aku mulai cemburu. Tenggelam, jiwaku dalam anganTersesat, hilang, dan tak tahu arahKu terjebak masa lalu yang kelamTak kulihat lagi cahaya cintaSuara dering yang berbunyi menginterupsi. Sayup-sayup suara yang terdengar seperti rekaman seseorang yang tengah bernyanyi mengikuti irama yang diputar.Dan kamu hadir coba bawa bahagiaKetika ku masih mati rasaKuikuti asal suara dan menemukan ponsel Bang Khalid yang tergeletak di meja kerja samping laptop yang masih menyala. Seperti dia lupa bawa saat pergi lari pagi tadi.Dia yang pertama membuatku cintaDia juga yang pertama membuatku kecewaKamu yang pertama menyembuhkan lukaTak ingin lagi ku mengulang keliru akan cintaJadi kisah yang ....Klik!Dering
"Tiap hari selama hampir tiga minggu kerjaan lu cuma begini?" Roy bertanya sesaat setelah aku menyodorkan piring berisi nasi dengan lauk sayur asam, ikan asin, sambal, dan tempe goreng."Emangnya apa lagi yang bisa dilakuin orang bunting? Benerin genteng? Ngaduk semen? Atau manggul bata?" jawabku sekenanya sembari meraih remot dan menyalakan TV di ruang tamu yang kecil ini. "Emangnya salah kalau gue cuma suka bebersih, masak, sama nonton series?"Roy mendengkus. "Ya, nggak gitu juga, Zubaedah. Lu, kan bisa main-main ke tetangga, ngerumpi sambil ngemil kuaci. Atau bisa juga daftar aerobik di Gor tiap seminggu sekali," usulnya sambil sesekali menyuap nasi."Nggak tertarik. Menurut gue gabung circle Mak-Emak kompleks bukannya nambah temen, malah nambah musuh. Belum lagi ngomongin orang tiap hari. Bikin keki.""Dih, emang agak laen cewek yang satu ini." Roy mengeritingkan bibirnya. Ekspresi yang khas sekali bila dia sudah mulai nyinyir. "Padahal shopping atau jalan-jalan, kek sesekali. Ny
"Berapa lama lagi, sih?" sungut Roy seraya mengipasi wajah dengan tangan, setelah beberapa waktu kami menunggu di depan ruang poli Kia atau singkatan dari Poli Kesehatan Ibu dan Anak untuk memeriksakan kandungan."Sabar, tinggal nunggu tiga orang lagi.""Ck, lagian di daerah ini kenapa banyak beud, sih yang bunting?""Ya, lo tanya lakinyalah. Kenapa rajin amat produksi? Noh, masih inget yang baru keluar tadi? Itu tukang gado-gado langganan kita, kalau nggak salah itu kehamilan ketiganya selama empat tahun in--""Duluan, ya, Mbak Nindi, Mas Roy!""Eh, iya, Bu Jamilah. Aktif sekali, ya, Bun." Refleks kami tersenyum begitu yang bersangkutan lewat di hadapan."Is, elu, sih!" Aku menyikut lengan Roy. "Orangnya lewat, kan.""Lah, pan elu yang ngomongin!""Au, ah.""Dih, dasar cewek nggak mau salah!""Bod--" Tiba-tiba semua pandangan teralihkan saat melihat seorang wanita paruh baya yang membawa anak kecil yang menangis histeris di loket pendaftaran."Nggak mau ... Nana nggak mau ke dokter
"Mama nggak pulang karena Papa bawa Mama baru, ya? Tapi, Nana nggak mau Mama baru, Nana maunya Mama. Sekarang Mama baru udah pergi, kita bisa sama-sama lagi, kan, Ma? Mama bisa sama Pa--" Tarikan tangan yang cukup keras itu membuat kalimat Nana terpotong sebelum sempat dia menyelesaikan.Kulihat Bu Nia menarik cepat cucunya dari rengkuhanku."Udah, Nana! Kita pulang, nanti papa bawa mainan sama buah-buahan. Kemarin Nana minta apel, kan?"Bocah itu mengangguk. "Tapi Nana pengen pulang sama Mam--""Nana! Dengerin nenek nggak, sih? Bandel banget kamu akhir-akhir ini. Udah berapa kali nenek bilang dia bukan mama--""Bu!" Aku menegurnya sebelum Bu Nia mengeluarkan kata-kata yang semakin membuat Nana tertekan. "Kasih dia waktu. Nana masih terlalu kecil untuk mengerti semua ini."Bu Nia memalingkan muka. "Terserah.""Kapan-kapan mama mampir, ya, sayang. Bawa makanan kesukaan Nana." Aku membungkuk mengelus kepalanya."Janji, ya, Ma! Kalau mama nggak dateng Nana nggak mau makan."Aku menganggu
"Jadi, sudah hampir tiga minggu kamu tinggal di sini?" Khalid mulai mengamati sekeliling tempatku tinggal begitu warga yang diketuai Pak RT membubarkan diri."Ya, kenapa?" Aku balik bertanya.Sebenarnya aku malas menanggapi hal-hal seperti ini. Terlebih karena dia datang tanpa diundang, dan aku belum sempat meluapkan kekesalan juga menuntut penjelasan pada Roy yang langsung ikut kabur begitu Pak RT dan konco-konconya pergi.Mereka langsung meminta maaf saat Khalid menjelaskan dengan detail bagaimana hubungan kami terjalin dengan tambahan bumbu-bumbu sandiwara yang menutupi fakta tentang anak di kandunganku sebenarnya. Ekspresi yang paling kentara jelas ditunjukan si Bandot Tua Tikus Berdasi, yang menatap dengan penuh emosi tadi. Niat ingin menjatuhkan, tapi malah dia yang malu sendiri."Apa nggak kekecilan?" Khalid bertanya dengan hati-hati, masih dengan pandangan yang mengitari sekitar indekos yang baru dia singgahi."Nggak. Pas, kok. Mending kecil tapi nyaman. Daripada gede tapi ngg
"Suaminya single, Mbak?" Celetukan dari tetangga sebelah kosan menginterupsiku yang tengah mengangkati pakaian kering dari balik rak jemuran yang sengaja dinaikan ke teras selepas hujan."Single jidatmu!" cetusku ketus."Canda, Mbak. Btw cakep amat lakinya, siapa tahu butuh yang kedua buat bantu-bantu angkat jemuran." Gadis yang baru beranjak dewasa itu nyengir lebar."Kedua? Mungkin maksudnya yang ketiga!""Hah?" Gadis itu melotot antara terkejut dan heran.Aku hanya bisa terkekeh pelan."Saya cuma mau ngasih tahu, Dek. Naksir itu jangan sama laki orang. Walaupun sama-sama suka, jatohnya tetep selingan. Tempatnya pulang, ya tetep istri yang dia nikahin pertama kali!"Gadis dengan wajah siang dan leher malam itu hanya bisa menggaruk rambut. "Oh, gitu, ya, Mbak?"Aku mengangguk pelan, lalu masuk ke dalam.Begitu meletakkan baju kering di atas karpet ruang tamu, suara dari arah kamar mandi terdengar."Nin, ada sampo lain?""Kenapa emang?" "Kayaknya yang ini abis," jawabnya tak yakin."