Seminggu kembali berlalu, berarti tepat dua pekan sejak kepergian Nindi. Tidak ada hal berarti yang terjadi. Namun, tak bisa dipungkiri ada yang mulai berubah dari semua ini.Perubahaan yang baru kusadari terasa asing dan mengganggu. Perubahan yang membuatku tak bisa menyangkal bahwa aku mulai cemburu. Tenggelam, jiwaku dalam anganTersesat, hilang, dan tak tahu arahKu terjebak masa lalu yang kelamTak kulihat lagi cahaya cintaSuara dering yang berbunyi menginterupsi. Sayup-sayup suara yang terdengar seperti rekaman seseorang yang tengah bernyanyi mengikuti irama yang diputar.Dan kamu hadir coba bawa bahagiaKetika ku masih mati rasaKuikuti asal suara dan menemukan ponsel Bang Khalid yang tergeletak di meja kerja samping laptop yang masih menyala. Seperti dia lupa bawa saat pergi lari pagi tadi.Dia yang pertama membuatku cintaDia juga yang pertama membuatku kecewaKamu yang pertama menyembuhkan lukaTak ingin lagi ku mengulang keliru akan cintaJadi kisah yang ....Klik!Dering
"Tiap hari selama hampir tiga minggu kerjaan lu cuma begini?" Roy bertanya sesaat setelah aku menyodorkan piring berisi nasi dengan lauk sayur asam, ikan asin, sambal, dan tempe goreng."Emangnya apa lagi yang bisa dilakuin orang bunting? Benerin genteng? Ngaduk semen? Atau manggul bata?" jawabku sekenanya sembari meraih remot dan menyalakan TV di ruang tamu yang kecil ini. "Emangnya salah kalau gue cuma suka bebersih, masak, sama nonton series?"Roy mendengkus. "Ya, nggak gitu juga, Zubaedah. Lu, kan bisa main-main ke tetangga, ngerumpi sambil ngemil kuaci. Atau bisa juga daftar aerobik di Gor tiap seminggu sekali," usulnya sambil sesekali menyuap nasi."Nggak tertarik. Menurut gue gabung circle Mak-Emak kompleks bukannya nambah temen, malah nambah musuh. Belum lagi ngomongin orang tiap hari. Bikin keki.""Dih, emang agak laen cewek yang satu ini." Roy mengeritingkan bibirnya. Ekspresi yang khas sekali bila dia sudah mulai nyinyir. "Padahal shopping atau jalan-jalan, kek sesekali. Ny
"Berapa lama lagi, sih?" sungut Roy seraya mengipasi wajah dengan tangan, setelah beberapa waktu kami menunggu di depan ruang poli Kia atau singkatan dari Poli Kesehatan Ibu dan Anak untuk memeriksakan kandungan."Sabar, tinggal nunggu tiga orang lagi.""Ck, lagian di daerah ini kenapa banyak beud, sih yang bunting?""Ya, lo tanya lakinyalah. Kenapa rajin amat produksi? Noh, masih inget yang baru keluar tadi? Itu tukang gado-gado langganan kita, kalau nggak salah itu kehamilan ketiganya selama empat tahun in--""Duluan, ya, Mbak Nindi, Mas Roy!""Eh, iya, Bu Jamilah. Aktif sekali, ya, Bun." Refleks kami tersenyum begitu yang bersangkutan lewat di hadapan."Is, elu, sih!" Aku menyikut lengan Roy. "Orangnya lewat, kan.""Lah, pan elu yang ngomongin!""Au, ah.""Dih, dasar cewek nggak mau salah!""Bod--" Tiba-tiba semua pandangan teralihkan saat melihat seorang wanita paruh baya yang membawa anak kecil yang menangis histeris di loket pendaftaran."Nggak mau ... Nana nggak mau ke dokter
"Mama nggak pulang karena Papa bawa Mama baru, ya? Tapi, Nana nggak mau Mama baru, Nana maunya Mama. Sekarang Mama baru udah pergi, kita bisa sama-sama lagi, kan, Ma? Mama bisa sama Pa--" Tarikan tangan yang cukup keras itu membuat kalimat Nana terpotong sebelum sempat dia menyelesaikan.Kulihat Bu Nia menarik cepat cucunya dari rengkuhanku."Udah, Nana! Kita pulang, nanti papa bawa mainan sama buah-buahan. Kemarin Nana minta apel, kan?"Bocah itu mengangguk. "Tapi Nana pengen pulang sama Mam--""Nana! Dengerin nenek nggak, sih? Bandel banget kamu akhir-akhir ini. Udah berapa kali nenek bilang dia bukan mama--""Bu!" Aku menegurnya sebelum Bu Nia mengeluarkan kata-kata yang semakin membuat Nana tertekan. "Kasih dia waktu. Nana masih terlalu kecil untuk mengerti semua ini."Bu Nia memalingkan muka. "Terserah.""Kapan-kapan mama mampir, ya, sayang. Bawa makanan kesukaan Nana." Aku membungkuk mengelus kepalanya."Janji, ya, Ma! Kalau mama nggak dateng Nana nggak mau makan."Aku menganggu
"Jadi, sudah hampir tiga minggu kamu tinggal di sini?" Khalid mulai mengamati sekeliling tempatku tinggal begitu warga yang diketuai Pak RT membubarkan diri."Ya, kenapa?" Aku balik bertanya.Sebenarnya aku malas menanggapi hal-hal seperti ini. Terlebih karena dia datang tanpa diundang, dan aku belum sempat meluapkan kekesalan juga menuntut penjelasan pada Roy yang langsung ikut kabur begitu Pak RT dan konco-konconya pergi.Mereka langsung meminta maaf saat Khalid menjelaskan dengan detail bagaimana hubungan kami terjalin dengan tambahan bumbu-bumbu sandiwara yang menutupi fakta tentang anak di kandunganku sebenarnya. Ekspresi yang paling kentara jelas ditunjukan si Bandot Tua Tikus Berdasi, yang menatap dengan penuh emosi tadi. Niat ingin menjatuhkan, tapi malah dia yang malu sendiri."Apa nggak kekecilan?" Khalid bertanya dengan hati-hati, masih dengan pandangan yang mengitari sekitar indekos yang baru dia singgahi."Nggak. Pas, kok. Mending kecil tapi nyaman. Daripada gede tapi ngg
"Suaminya single, Mbak?" Celetukan dari tetangga sebelah kosan menginterupsiku yang tengah mengangkati pakaian kering dari balik rak jemuran yang sengaja dinaikan ke teras selepas hujan."Single jidatmu!" cetusku ketus."Canda, Mbak. Btw cakep amat lakinya, siapa tahu butuh yang kedua buat bantu-bantu angkat jemuran." Gadis yang baru beranjak dewasa itu nyengir lebar."Kedua? Mungkin maksudnya yang ketiga!""Hah?" Gadis itu melotot antara terkejut dan heran.Aku hanya bisa terkekeh pelan."Saya cuma mau ngasih tahu, Dek. Naksir itu jangan sama laki orang. Walaupun sama-sama suka, jatohnya tetep selingan. Tempatnya pulang, ya tetep istri yang dia nikahin pertama kali!"Gadis dengan wajah siang dan leher malam itu hanya bisa menggaruk rambut. "Oh, gitu, ya, Mbak?"Aku mengangguk pelan, lalu masuk ke dalam.Begitu meletakkan baju kering di atas karpet ruang tamu, suara dari arah kamar mandi terdengar."Nin, ada sampo lain?""Kenapa emang?" "Kayaknya yang ini abis," jawabnya tak yakin."
Untuk pertama kali sejak tujuh bulan kebersamaan, aku terbangun dalam dekapan seorang Khalid Prasetya dalam ranjang yang sebenarnya hanya muat untuk ditempati satu orang. Melihat posisinya yang menyamping dengan sebelah lengan menopang kepalaku, sudah dipastikan betapa keram dan mati rasa salah satu lengannya itu.Kutatap jam yang terpajang di sudut ruang kamar menunjukan hampir waktu subuh, tapi belum sampai terdengar kumandang adzan. Perlahan aku beranjak dari sisinya untuk mengambil wudu, setelah itu baru memulai kegiatan yang rutin dilakukan mulai dari bangun pagi.Dua puluh menit setelah selesai sholat dan memasak nasi, aku melanjutkan kegiatan mencuci beberapa helai pakaian kotor, beserta yang Khalid kenakan kemarin. Karena memang tak ada mesin cuci, semua kulakukan dengan tangan. Meski awalnya kesusahan berjongkok dengan perut besar, tapi seiring berjalannya waktu apa yang sudah menjadi kebiasaan akan mudah dilakukan."Kenapa nggak pake mesin?" tanya sebuah suara dari belakang
"Kenapa nggak pesen taksi online atau go-car aja?" tanya Khalid saat aku menyodorkan helm di depan motor matix yang akan kami kenakan."Lama, ribet. Ini lebih cepet. Dah, buruan!" Tak mau memperpanjang perdebatan, aku langsung menepuk jok, dan bersiap naik di belakang.Helaan napas panjang terdengar. Dia malah terdiam menatapku dan motor di hadapan dengan bergantian."Ayo, buruan!" desakku kemudian."Nindi, sebenernya saya malu mengatakan ini. Tapi, saya nggak bisa pake motor.""Demi?" Aku terpekik tanpa sadar.Khalid mengangguk pasrah, wajahnya terlihat amat meresahkan."Ck, ya udahlah, duduk di belakang! Biar aku yang bonceng." Kudorong pelan tubuhnya agar menyingkir, lalu bersiap memarkir motor memasuki gang."Apa nggak keliatan aneh?" Resahnya begitu duduk di jok belakang dan berpegangan pada kedua sisi bahuku."Satu-satunya keanehan cuma orang yang lancar naek sepeda, tapi nggak biar naik motor. Dah, buruan pake helm-nya. Keburu siang.""Saya pernah jatuh ke parit, Nindi. Terus d