Pak Idris bergeming. Keningnya yang telah memiliki sedikit garis kerutan itu mengerut. Lelaki yang pada rambutnya ditumbuhi beberapa helai uban itu tampak sekali bimbang.Memang benar, saat Nayla baru saja menikah dengan Alvin, ia dan sang istri merasa keberatan ketika anak semata wayangnya itu akan diboyong ke rumah suaminya yang ada di kota.“Jika Nayla tetap diizinkan di sini. Bapak janji akan berikan tanah di ujung desa untuk kalian. Tapi, izinkan Nayla untuk tetap di sini,” pinta Pak Idris dengan suara bergetar. Egois memang ketika dia meminta menahan putrinya yang sudah berstatus seorang istri. Namun, hatinya tetap menganggap jika Nayla masihlah putri kecil yang selalu manja kepadanya.Lelaki itu kembali merasa sakit hatinya ketika Nayla justru memilih ikut sang suami karena alasan tanggung jawab sebagai istri. Tentu saja rasa senang menyelimuti hatinya ketika sang putri memiliki rasa demikian. Akan tetapi, di sisi lain hatinya sakit ketika harus berpisah dengan gadis cantik itu
Wajah Alvin pucat pasi ketika mendapati mertua lelakinya berada beberapa langkah di belakang. Pria itu berdiri tegap dengan alis yang mengerut, seolah meminta jawaban akan percakapan Alvin dengan seseorang yang berada di seberang ponsel.“Ba-Bapak sudah lama berdiri di sana?” tanya Alvin canggung.Pria itu tersenyum sedikit. Akan tetapi itu mampu membuat Alvin memasang sikap waspada. Sebab selama telpon tadi Alvin beberapa kali menyebut nama Viona, bukan nama putri dari keluarga ini.“Tidak. Tadi Bapak tidak menemukan kamu di ruang tamu. Bapak mendengar suara kamu berada di teras seperti sedang menelpon, panggilan kamu mesra sekali. Apa itu Nayla?” Pak Idris tersenyum setelah bertanya tentang hal yang membuat dirinya penasaran.Alvin mengusap pelan tengkuknya. Hatinya kini mulai merasa lega ketika mengetahui ternyata mertuanya tak sepenuh mendengar obrolannya.“I-iya, Pak. Itu dari Nayla. Alvin baru saja memberitahunya jika saat ini Alvin sedang mengunjungi Bapak dan Ibu,” ucapnya ber
Nayla segera menyalakan saklar lampu kamar. Saat itu kamarnya memang hanya menggunakan lampu tidur yang menyala temaram, sehingga Nayla tidak bisa melihat begitu jelas seseorang yang telah lancang memasuki kamarnya tanpa izin.Nayla kembali terkejut ketika melihat sosok Alvaro kini tengah duduk santai pada salah satu sofa. Kakinya dia naikkan ke atas meja, di tangannya terselip sebatang rokok.“Kak Alvaro kenapa ada di sini?” sentak Nayla. Tangannya dengan cepat menyambar sebuah sweater yang tersampir pada salah satu kaki ranjang, kemudian wanita itu segera melingkarkan pada tubuhnya yang sedikit terbuka.“Kenapa ditutup? Aku sudah melihatnya semua, bahkan aku segera datang ke sini untuk melihat seksinya tubuhmu,” goda Alvaro. Matanya mengerling.“Jangan macam-macam ya, Kak. Aku ini adik ipar Kakak,” ketus Nayla, “lagipula ngga sopan tahu, masuk kamar orang sembarangan!”Alvaro terkekeh setelah mengepulkan asap rokok ke udara.“Ini rumahku, sudah pasti semua ruangan bebas aku masuki.
Dua mangkuk bakso dengan kuahnya yang masih mengepul telah tersaji di atas meja Alvaro dan Nayla.Berbeda dengan reaksi Alvaro yang seolah ingin meneteskan liur setelah mencium aroma kuah dengan rempah melimpah itu. Nayla justru merasa kaget ketika Alvaro tanpa rasa bersalah memberikannya makanan yang akan membuat wanita itu kesusahan.“Kakak beneran minta aku makan ini?” tanya Nayla mengingatkan kembali Alvaro. Wanita itu pernah muntah parah karena mencium kaldu daging sapi.Alvaro hanya mengangguk sambil menyeruput kuah makanan sejuta umat itu.“Aku nggak mau,” tolak Nayla. Wanita itu telah mengangsurkan mangkuk miliknya ke hadapan Alvaro.“Coba saja. Ini rasanya sangat beda, nggak kaya kuah sop waktu itu.”Alvaro langsung tahu. Kemana jalan pikiran wanita hamil di depannya.Nayla sempat tak bisa makan seharian akibat sop daging yang Alvaro bawa. Ingin membuat nafsu makan Nayla meningkatkan, sebab Ibu hamil biasanya sangat menyukai makanan berkuah yang yang sangat segar.Namun, niat
Kini giliran Alvaro yang menatap brgantian antara dirinya dan juga Nayla. Pria itu beranggapan jika ada sesuatu yang mengganjal, membuat wanita di depannya kurang suka, atau merasa aneh. “Ada yang aneh?” Alvaro memperhatikan penampilan dirinya. “Bukan pada diri Kakak. Tapi pada hati Kak Alvaro.” Mendengar pengakuan sang adik ipar, Alvaro seketika mendongak. Mata indah kebiruan itu kini saling bertemu dengan Nayla yang menatapnya sinis. “Aku tak habis pikir sama Kakak. Kenapa bisa sampai hati membohongiku selama ini. Padahal Kakak tahu masalah perselingkuhan Mas Alvin, tapi lebih memilih menutupinya dariku. Kenapa? Apa karena dia adik Kak Alvaro? Lalu membiarkan aku sakit sendirian di sini?” Nayla memang tidak menangis. Akan tetapi, hatinya sangat pilu mengatakan itu semua. Wanita itu hanya ingin mendengar kejujuran Alvaro yang katanya menyayangi dirinya. Alvaro terdiam. Manik matanya menatap lekat Nayla. Ada rasa iba ketika Nayla dengan tegar mengatakan jika sang suami bukanlah
Setelah meminta orang suruhannya untuk mengurus Pakde Kumis, pria itu memasuki mobilnya, lalu melesat dengan kecepatan tinggi mengejar mobil yang membawa Nayla.Alvaro terus memukul setir akibat kebodohannya. Tidak seharusnya dia mengabaikan perhatian dari Nayla.“Berani-beraninya mereka membawa pergi Nayla. Awas saja, aku tidak akan membiarkan mereka bernapas esok hari jika terjadi sesuatu pada wanita itu,” sumpah Alvaro. Garis rahangnya mengeras, gigi gemeletuk menahan amarah.Aksi saling kejar-kejaran mobil pun terjadi.Di tengah jalan Alvaro terkejut ketika menyadari adanya sekerumunan orang yang tiba-tiba membuat jalanan macet. Padahal di daerah tersebut biasanya akan sepi dari lalu-lalang orang.Anehnya, orang-orang tersebut muncul setelah mobil Jeep yang membawa Nayla telah berhasil menjauh.Alvaro turun untuk memeriksa keadaan di sana. Meski pria itu hanya seorang diri, tak ada rasa takut pun yang menyergap dirinya.“Bisa kalian minggir? Aku sedang buru-buru,” pintanya, berhar
Alvaro mulai sadar. Matanya memindai sekeliling. Rupanya luka di lengan membuat pria tampan itu benar pingsan.“Aw!” Rintihnya setelah memegang luka lengan. Lukanya telah terbalut perban. Entah siapa yang melakukan itu.“Sial! Aku benar-benar pingsan. Aku jadi tak tahu siapa orang yang telah melakukan ini!” ungkapnya sangat kesal.Alvaro mulai bangkit. Meski tangannya tak terikat, namun kakinya terikat oleh sebuah borgol. Langkah kakinya tak bisa leluasa, dia meraba-raba di ruangan dengan cahaya minim. Untung saja, kedua tangannya tidak diikat seperti Nayla, sehingga dia dapat membongkar barang-barang bekas di sekitarnya untuk mencari jalan keluar.Sayangnya, ruangan itu hampir sama dengan Nayla, tak memiliki jendela hanya ventilasi sebagai tempat pertukaran udara.“Bagaimana caranya aku pergi dari sini? Ruangan ini hampir tak memiliki jalan.”Alvaro terus berpikir untuk bisa keluar dari sana dan mencari Nayla. Hatinya sungguh tidaklah tenang memikirkan wanita itu. Bagaimana jika para
Kau ini bikin aku jantungan aja!” Madam Dona melempar sebuah kaleng minuman yang telah kosong pada seseorang di ambang pintu.“Lagian lama banget. Kalo mau nemenin dia bukan di sini dan bukan waktunya juga.” Pria itu mengusap bahu yang berhasil menjadi sasaran kemarahan Madam Dona. “Ayo, keluar! Kita disuruh kumpul sama Bu Bos.”Madam Dona mencebik kesal.“Kau mau ke mana? Kita belum selesai bicara,” cegah Alvaro pada wanita-pria di depannya.Madam Dona membalikkan badan, lalu menepuk dahinya dengan raut wajah kesal.“Ya ampun, kau ini cerewet sekali seperti nenek-nenek. Apa kau tidak dengar apa yang si Jangkung tadi katakan?” Suaranya sedikit meninggi. Yang dimaksud Jangkung adalah orang yang memanggilnya barusan.“Tapi kita sudah sepakat. Aku akan membayarmu melebihi bos kalian jika Madam mau memberitahu siapa Bos itu.”“Aku akan segera kembali. Kau tidak perlu khawatir, kalo mengenai urusan uang aku tidak akan lupa.”Madam Dona segera meninggalkan Alvaro yang masih penasaran tentan