"Sudah?" tanyaku sambil tersenyum-senyum. "Belum! Awas kalau ngintip!" Nadia mengancamku."Memang kenapa? Kamu istriku, loh! Aku beusaha mengganggunya. Dan benar saja, Nadia kembali mengancam akan meninjuku jika saja aku berani mengintip.Rasa geli akan tingkah Nadia semakin menggelitik. Wanita ini sangat menguji adrenalin. Sifatnya yang tidak mencla-mencle membuat naluri tertantang untuk mendalaminya lebih jauh. "Nanti malam aku tidur di mana?""Di extra bed!" serunya cepat."Masa di sana. Bukannya kita sudah berdamai?" Aku menolak sambil menunjuk ke arah bed kosong yang memang sudah disediakan di dalam kamar."Lalu?""Tidur di ranjang, dong, sama kamu. Tuh mawarnya masih rapi."Saat aku dan Nadia memasuki kamar yang di-booking siang tadi, di atas ranjang kamar dihias sedemikian rupa dengan taburan mawar merah berbentuk love. Wajar, karena Nadia memesan kamar untuk pasangan yang ingin honeymoon agar para orang tua tidak menaruh curiga."Ya sudah. Kamu di ranjang. Aku di sana."Kuli
"Aku juga mau hamil! Aku mau punya anak dari kamu!"Tiara terus mengulang-ulang ucapannya. Susah payah aku merayu wanita itu agar bersikap tenang dan jangan gegabah. Namun, dia seperti sengaja ingin membuatku panik."Sekarang! Ayo!"Tiara memaksaku naik ke atas ranjang. Aku serba salah. Merasa sangat kasihan melihat wajahnya yang sembab, tapi tidak mungkin juga aku mengikuti ide tak sehatnya itu. Belum saatnya."Tiara. Kamu dengar aku, Sayang. Tolong jangan begini!" seruku tegas.Seperti menulikan telinga, ia tidak menggubris kata-kataku. Wanita berambut ikal kecokelatan itu membuka paksa bajunya. Beberapa butir kancing terlepas berjatuhan menyentuh lantai. Tiara menanggalkan satu persatu pakaian yang melekat di tubuhnya."Kamu ngga mau? Yakin?" tanyanya menantang.Kugunakan akal sehat melawan keinginan untuk memadu kasih bersama Tiara. Aku tidak bisa. Semuanya masih harus tersimpan rapat. Belum saatnya semua orang tahu jika aku beristri dua."Jangan sekarang, Tiara. Kumohon mengertil
POV NADIA***Aku harus bagaimana ini? Ya Tuhan!Lelaki itu pasti kesambet penghuni pantai ini. Buktinya semenjak kami tiba di sini dia jauh berubah. Biasanya sangar, eh, sekarang malah sering membuat hatiku berdebar.Hadi, plis, pindah ... pindah! Jangan duduk di dekatku begitu. Jantungku berdetak tak keruan ini. Jangan sampai dia mendengarkannya."Nadia, aku tau kamu belum tidur. Jika malam ini aku meminta secara baik-baik, maukah kamu memberikannya? Menunaikan tugasmu sebagai istri. Menyempurnakan separuh agamamu bersamaku?"Aduh!Hatiku! Tolong!Ini pasti mimpi. Aww! Sakit. Cubitanku di paha terasa sekali. Berarti bukan mimpi? Terus aku harus bagaimana, dong?"Mau tidak?" Hadi masih saja mengangguku. Sama sekali dia tidak beranjak dari pinggir ranjang. Kenapa aku tahu? Karena selimutku tertahan tak bisa ditarik ke atas. Lelaki itu mendudukinya."Aku sudah tidur! Jangan ganggu!" gerutuku pelan. Kubaik-baikkan suaraku agar tak terdengar panik. Padahal dalam hati? Jangan tanya. Aaaa
Aduh! Pakai acara ketahuan lagi. Tolong!Hampir saja aku menjerit jika Hadi tidak segera membekap mulutku."Kamu mau apa?" tanyaku panik."Kamu lucu. Kamu yang ngapain ke tempat tidurku seperti pencuri?" Hadi terkekeh sambil melepaskan tangan dari mulutku."Aku ... aku, cuma mau lihat kamu sudah tidur atau belum," ucapku terbata."Kalau belum tidur, kenapa?" Hadi makin memaksa."Ya sudah. Aku ...."Lelaki itu menarik kepalaku ke dalam pelukannya. Aku berontak karena susah bernapas. Hadi melonggarkan dekapan dan mengubah posisi tidurnya. Ingin pergi, akan tetapi lelaki itu malah mengaitkan pelukan di pinggangku. Kami tidur bersebelahan. Dalam jarak yang sangat dekat, bisa kurasakan detak jantungnya yang berdebat cepat, sama sepertiku.Aku memejamkan mata tidak berani menatapnya. Aku kaget saat tiba-tiba merasakan jemari Hadi menyentuh pipiku. Menjalar hingga ke hidung dan berhenti di atas bibirku.'Aduh! Habislah aku!' Aku membatin."Jangan takut. Aku akan melakukannya dengan perlahan.
Aku berlari menuju kamar. Kesal sekali melihat mereka. Walaupun mempunyai hubungan sah, tapi apa pantas bersikap begitu di depanku?Mungkin aku memang tidak secantik Tiara. Wanita itu telah lama bisa merebut hati Hadi, tapi apa aku tidak boleh mencicipi sedikit saja kebahagiaan dengan suamiku juga?Hadi pun terlihat suka dengan perlakuan Tiara barusan, buktinya dia hanya menolak sekadarnya."Nadia!" Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Hadi berdiri di depan pintu."Sudah selesai urusan kalian? Aku lari bukan karena cemburu, tapi biar kalian lebih leluasa saja!" kilahku pada Hadi.Lelaki itu berjalan ke arahku. Sebelumnya ia telah menutup pintu kamar."Maaf, bukan bermaksud membuat kamu sakit hati. Tiara tidak bisa mengontrol diri. Dia sudah terlalu berlebihan.""Wajar! Kamu juga suaminya, tapi waktumu selama di sini tidak ada untuknya." Aku berusaha berujar setenang mungkin."Jadi apa bedanya dengan dirimu dulu. Setiap waktu aku menghabiskan hari bersama Tiara. Apa pernah kamu protes?"Ke
Seperti biasa malam harinya, aku sibuk di dapur menyiapkan makan malam kami. Terserah dengan Tiara, aku hanya ingin melayani Hadi."Kita makan di luar saja. Kamu jangan repot-repot." Suara Hadi mengagetkanku.Aku membalikkan badan. Di dekat meja makan Hadi berdiri melihatku. Namun, ada Tiara di sana. Dia seperti sedang memantau gerak-gerik Hadi."Oh, kalau kalian ingin makan di luar, silakan. Aku di rumah saja," ujarku menolak."Kenapa?""Sedang malas keluar. Pun besok harus wawancara. Aku mau mempersiapkan diri," ucapku tanpa melihay ke arah Hadi."Baguslah! Yuk, Di. Kamu, sih, ngga percaya. Dia pasti ngga akan mau pergi bersama. Kamunya ngeyel!"Bukannya emosi, aku malah menertawakan Tiara. Kuletakkan pisau yang sedang kugunakan untuk memotong tomat. Aku kembali berbalik badan melihat ke arah wanita itu."Silakan pergi berdua. Aku sudah biasa, kok. Bukan seperti kamu yang kejang-kejang kalau tidak dibawa."Wanita menatapku kesal. Lalu menarik Hadi dari dapur. Dasar lelaki plin plan.
Aku ternganga. Sungguh ini adalah hal yang mengejutkan. Wajah yang tak asing itu berada di depan mata. Ia sedang menatapku tanpa kedip."Silakan duduk!" seru lelaki yang masih berdiri di pinggir jendela tersebut.Pikiranku tak menentu. Dia mirip sekali dengan Azzam, seseorang yang pernah mengisi hari-hariku dulu. Lelaki baik dan sangay menghormatiku. Cinta pertama yang pernah singgah di hatiku. Tapi kenapa lelaki itu tidak mengenalku? Aku mencari name desk, untuk meyakinkan benarkah lelaki yang memiliki potongan rambut rapi itu adalah Azzam. Namun, papan nama di atas meja tidak menghadap ke arahku. Hatiku berdebar tak keruan. Derap langkah sepatunya mengetuk lantai saat berjalan ke arahku, menimbulkan detak-detak yang semakin sulit kuartikan."Apa anda yakin ingin bekerja di perusahaan ini?" tanyanya datar."Tentu. Sangat yakin.""Kenapa? Karena bekerja di perusahaan bergengsi ini adalah impian setiap orang. Termasuk saya."Saya bisa memanggimu Nadia? Atau ada sebutan lain?" tanyanya
Debar di dada masih belum beraturan. Saat keluar dari ruangan Azzam pun tanganku masih berkeringat dingin. Sungguh ini di luar kendaliku. Bertemu dengan lelaki itu di saat yang tidak tepat. Sesukses itukah dia sekarang? Menjadi direktur utama di sebuah perusahaan majalah fashion ternama.Tanpa melihat ke sekeliling, aku berjalan cepat menuju lift. Tak kupungkiri, aku memang sangat ingin berjumpa dengannya. Hanya dia yang bisa membuatku merasa istimewa. Lelaki yang selalu membuatku tersenyum walau dulu kami jarang bertatap muka. Ya, dulu aku menjalin hubungan jarak jauh dengan Azzam.Sekuat tenaga aku berusaha menepis pikiran yang tidak-tidak. Namun, semakin kuat aku menyingkirkannya, semakin kuat pula bisikan-bisikan itu berdengung di telinga.'Seandainya dulu aku menikah dengan Azzam, hidupku pasti bahagia.''Apakah dia masih mencintaiku?''Jika Hadi menceraikanku, apakah Azzam akan menerimaku lagi?'Astaghfirullah!Berulang kali aku beristighfar dalam hati. Setan sedang memperdaya d