Seperti biasa malam harinya, aku sibuk di dapur menyiapkan makan malam kami. Terserah dengan Tiara, aku hanya ingin melayani Hadi."Kita makan di luar saja. Kamu jangan repot-repot." Suara Hadi mengagetkanku.Aku membalikkan badan. Di dekat meja makan Hadi berdiri melihatku. Namun, ada Tiara di sana. Dia seperti sedang memantau gerak-gerik Hadi."Oh, kalau kalian ingin makan di luar, silakan. Aku di rumah saja," ujarku menolak."Kenapa?""Sedang malas keluar. Pun besok harus wawancara. Aku mau mempersiapkan diri," ucapku tanpa melihay ke arah Hadi."Baguslah! Yuk, Di. Kamu, sih, ngga percaya. Dia pasti ngga akan mau pergi bersama. Kamunya ngeyel!"Bukannya emosi, aku malah menertawakan Tiara. Kuletakkan pisau yang sedang kugunakan untuk memotong tomat. Aku kembali berbalik badan melihat ke arah wanita itu."Silakan pergi berdua. Aku sudah biasa, kok. Bukan seperti kamu yang kejang-kejang kalau tidak dibawa."Wanita menatapku kesal. Lalu menarik Hadi dari dapur. Dasar lelaki plin plan.
Aku ternganga. Sungguh ini adalah hal yang mengejutkan. Wajah yang tak asing itu berada di depan mata. Ia sedang menatapku tanpa kedip."Silakan duduk!" seru lelaki yang masih berdiri di pinggir jendela tersebut.Pikiranku tak menentu. Dia mirip sekali dengan Azzam, seseorang yang pernah mengisi hari-hariku dulu. Lelaki baik dan sangay menghormatiku. Cinta pertama yang pernah singgah di hatiku. Tapi kenapa lelaki itu tidak mengenalku? Aku mencari name desk, untuk meyakinkan benarkah lelaki yang memiliki potongan rambut rapi itu adalah Azzam. Namun, papan nama di atas meja tidak menghadap ke arahku. Hatiku berdebar tak keruan. Derap langkah sepatunya mengetuk lantai saat berjalan ke arahku, menimbulkan detak-detak yang semakin sulit kuartikan."Apa anda yakin ingin bekerja di perusahaan ini?" tanyanya datar."Tentu. Sangat yakin.""Kenapa? Karena bekerja di perusahaan bergengsi ini adalah impian setiap orang. Termasuk saya."Saya bisa memanggimu Nadia? Atau ada sebutan lain?" tanyanya
Debar di dada masih belum beraturan. Saat keluar dari ruangan Azzam pun tanganku masih berkeringat dingin. Sungguh ini di luar kendaliku. Bertemu dengan lelaki itu di saat yang tidak tepat. Sesukses itukah dia sekarang? Menjadi direktur utama di sebuah perusahaan majalah fashion ternama.Tanpa melihat ke sekeliling, aku berjalan cepat menuju lift. Tak kupungkiri, aku memang sangat ingin berjumpa dengannya. Hanya dia yang bisa membuatku merasa istimewa. Lelaki yang selalu membuatku tersenyum walau dulu kami jarang bertatap muka. Ya, dulu aku menjalin hubungan jarak jauh dengan Azzam.Sekuat tenaga aku berusaha menepis pikiran yang tidak-tidak. Namun, semakin kuat aku menyingkirkannya, semakin kuat pula bisikan-bisikan itu berdengung di telinga.'Seandainya dulu aku menikah dengan Azzam, hidupku pasti bahagia.''Apakah dia masih mencintaiku?''Jika Hadi menceraikanku, apakah Azzam akan menerimaku lagi?'Astaghfirullah!Berulang kali aku beristighfar dalam hati. Setan sedang memperdaya d
"Nadia, aku mau bicara!" Tiba-tiba Hadi memanggilku.Aku sedang bersiap hendak pergi. Hari ini adalah hari pertamaku bekerja."Tentang?" tanyaku singkat.Meskipun kami sempat sangat dekat saat di Bali, tapi ketika berada di Jakarta, Tiara kembali menguasainya. Yang aku kesalkan, Hadi seolah tak ada kekuatan untuk menolak wanita itu. Benar seperti dugaanku, Hadi memang sangat mencintainya. Dia tidak bisa membuat hati wanita itu sakit. Aku saja yang terlalu banyak menaruh harap, berusaha menggapai purnama, sementara sinarnya redup dan hanya cukup untuk Tiara."Ternyata itu alasanmu bersikeras agar diterima di perusahaan itu?" Lelaki itu berdiri di dekatku. Tangannya bersilang di dada dan menatapku penuh dengan rasa ingin tahu. Sejak kemarin tak lagi kudapati binar cahaya dari matanya untukku. Melainkan tatapan menyudutkan dan kata-kata sindiran yang kerap ia perdengarkan."Maksudmu apa?" Aku masih belum mengerti ke mana arah pembicaraannya."Sudahlah, Nadia. Jangan pura-pura lugu begitu
Aku berjalan menuju ruangan Azzam. Setelah mengetuk pintu aku pun segera masuk. Azzam duduk di kursinya. Ia tersenyum melihatku."Ada apa Bapak memanggil saya?""Bapak? Kapan aku jadi bapakmu, Nad?"Mulai! Sifat usilnya ternyata masih belum hilang."Apa ada yang harus saya kerjakan, Pak?""Bapak lagi, kamu lihat tampangku tua begitu apa?"Ck! Maunya apa, sih?"Azzam, masih banyak yang harus aku pelajari. Kalau memang ngga ada yang mau dibahas, aku permisi!""Kami kaku sekali sekarang. Urusan rumah tangga jangan bawa-bawa ke tempat kerja."Ah! Azzam membuat hatiku panas. Masih pagi, tapi mood sudah dua kali hancur. Ambyar!"Maaf! Aku permisi!"Kubalikkan badan menuju pintu. Tiba-tiba tirai lebar menutupi kaca ruangan Azzam. Aku kaget dan melihat sekeliling. Penglihatan ke luar ruangan terhalang tirai yang sudah diturunkan. Aku baru tahu jika ruangan Azzam diset seperti itu. Jika tirai kembali dinaikkan, maka siapa saja bisa dengan leluasa melihat Azzam di dalam ruangannya. Begitu juga s
Sibuk sekali mengajakku ke dokter. Seharusnya istrinyalah yang sering diperiksakan. Perangainya itu sering sekali membuat orang kesal."Aku bilang tidak! Sudah baikan, kok. Ini lagi makan." Aku menanggapi Hadi yang berada di seberang telepon."Keras kepala boleh, tapi jangan sampai menyakiti diri sendiri."'Memang kamu peduli?' sungutku dalam hati.Aku mematikan panggilan telepon. Makanku jadi terganggu karena hal tak penting yang dibahas Hadi.Aku kekenyangan setelah menghabiskan dua porsi makanan berbeda ditambah satu botol pepsi dingin. Ini perut lapar atau doyan? Ya ampun.Tidak mungkin aku tidur dalam kondisi kekenyangan begini. Akhirnya kuputuskan untuk membaca beberapa majalah fashion yang ada di rak buku mini milikku. Mempelajari aspek apa saja yang dianggap penting dalam meliput sebuah berita.Satu jam berlalu, aku masih belum bisa tidur. Jam di dinding berdetak berirama. Jarum pendeknya sudah mendekati angka sepuluh. Namun, mataku masih terasa segar. Rasa haus mendera, terpa
POV HADI***Berulang kali aku menghubungi Nadia, panggilan berdering, tapi dia tidak memberi respon apa-apa. Ke mana wanita itu?Setelah Shubuh tadi, aku ke kamarnya. Rasa khawatir yang mengantarkanku ke sana. Entah bagaimana kondisi Nadia. Sejak melihat wajahnya yang pucat, aku tak bisa lagi berpikir tenang. Tidak kuperlihatkan itu di depan Tiara. Aku tahu jika wanita yang dulu sangat kucintai itu tidak menyukai Nadia.Seperti biasa, aku pasti mengetuk pintu sebelum memasuki kamarnya. Tak ada sahutan. Aku mengetuk berkali-kali, hasilnya sama saja. Rasa panik merongrong jiwa, apa sesuatu terjadi pada wanitaku itu.Handel pintu kuputar pelan. Sedikit aku mengintip ke dalam kamar."Nadia."Sepi.Aku memutuskan untuk masuk. Pikiranku tak tenang sedikit pun. Setelah pertengkaran kami saat ia hendak berangkat kerja, aku benar-benar kalut. Saat itu, aku tidak bisa mengontrol emosi yang mengukung jiwa. Rasa kesal mencuat begitu saja. Saat melihat seorang lelaki berjalan di samping Nadia beb
POV HADI***Aku meninggalkan ruangan Azzam dengan perasaan gusar. Bukannya mendapat info tentang Nadia, lelaki tak tahu diri itu malah mengata-ngataiku. Dia pikir dia siapa bisa merebut Nadia semudah itu?Tak terasa sudah seharian aku mencari Nadia. Sempat aku pulang ke rumah, menunggu beberapa waktu, barangkali dia datang tiba-tiba. Nihil, menjelang Ashar tidak ada tanda-tanda jika wanita itu akan datang. Begitu pun ponselnya yang masih saja belum aktif saat dihubungi. Merasa waktu terbuang percuma, aku kembali melajukan mobil tanpa tujuan. Berharap berjumpa Nadia di jalan dan mau untuk diajak pulang. Di rumah, Tiara ikut mendiamkanku. Wanita itu melarangku untuk mencari Nadia."Nanti juga pulang. Untuk apa sibuk-sibuk dicari. Bisa besar kepala dia."Aku menghentikan mobil di pinggir jalan. Jika Nadia tidak sakit, aku tidak akan sesibuk ini mencarinya. Namun, tatapan sendunya masih terbayang jelas di ingatan, bahwa dia sedang tidak baik-baik saja.Atau mungkin Nadia kesal karena Tia