Raka mengikuti empat orang asing itu dengan bergerak dari satu pohon ke pohon lain di depannya. Dia tidak dapat menyembunyikan seluruh tubuhnya karena batang pohon tidak cukup besar, sehingga apabila mereka menengok ke belakang dan sedikit jeli akan melihat ada orang membuntuti.
Mereka kelihatan kurang waspada. Manusia plasma barangkali tidak berkeliaran di bukit ini sehingga dianggap situasi aman. Lagi pula, kehadiran makhluk itu mudah terdeteksi di malam hari.
Raka bisa menghabisi mereka dengan mudah. Dia sabar membuntuti karena ingin mengetahui rumah singgah mereka. Dia melihat di kejauhan Jonan dan teman-temannya menyusul. Mereka mengambil jarak yang aman.
Raka segera bersembunyi di balik batu ketika salah seorang pria pembawa carrier yang bernama Alfred memisahkan diri untuk buang air kecil. Dia melihat Jonan dan kawan-kawan menghilang di balik pohon.
"You guys go on," kata Alfred. "I pee first. I'll catch up later."
Alfred berjalan ke ba
Luhantara berdiri melihat peta besar pulau tak bernama yang terpampang di dinding. Bernard menunggu di depan radio komunikasi. Dia duduk menghadapi dua cangkir kopi panas dan penganan hangat di meja. Mereka baru sempat mengurus Raka dan kawan-kawan pagi ini karena semalam ada rombongan wisatawan asing datang untuk berkemah. Mereka belum tidur karena sibuk melayani rombongan itu. Rasa kantuk mereka terhibur dengan pendapatan besar yang diperoleh. "Sudah kau temukan?" tanya Bernard saat Luhantara duduk di sampingnya. "Ya," sahut Luhantara. "Perkiraan di sekitar gugusan karang bagian utara, di situ ada celah tebing besar." "Kemungkinan lain?" "Tebing curam di sektor selatan. Tapi kemungkinan kecil. Gadis-gadis metropolis itu terlalu manja untuk sampai secepat itu di sana." Bernard meraih mic mencoba menghubungi tim pencari lewat radio komunikasi. "Macan pulau tak bernama, kontek." "Masuk, ganti." Mahargo, alias macan pulau tak ber
Matahari beranjak pulang. Raka mengintip lewat lubang pengintai di pintu. Di luar suasana mulai temaram. Malam ini mereka akan melintasi lembah dan mendaki bukit hijau untuk kemudian tiba di sebuah sungai besar. Malam berikutnya mereka melanjutkan perjalanan ke pesisir pantai menuju basecamp. Sebuah perjalanan yang dapat ditempuh satu malam jika fisik gadis-gadis metropolis itu sedikit lebih baik. Perjalanan malam ini adalah perjalanan yang paling berbahaya. Mereka harus melewati perkebunan bunga matahari yang demikian luas. Jaraknya kurang lebih ada satu kilo. Area itu sangat terbuka terhadap serangan musuh. Ancaman tidak hanya datang dari manusia plasma. Kelompok Nick tentu tidak terima teman-temannya terbunuh. Komplotan itu akan mencari siapa pelakunya. Raka dan kawan-kawan dapat dihabisi dengan mudah di perkebunan itu kalau di antara mereka ada sniper. Raka harus mengatur strategi agar mereka tidak menjadi sasaran empuk musuh. Dia perlu me
Raka dan kawan-kawan menunggu hujan reda di bawah pohon rindang. Kabut tebal membungkus hutan. Jarak pandang jadi terbatas. Angin dingin mencucuk tubuh. Cuaca buruk sudah membantu mereka untuk melewati perkebunan bunga matahari dengan selamat. Musuh yang berada di lereng bukit tidak dapat melihat mereka karena perkebunan diselimuti kabut tebal. Gadis-gadis metropolis itu memasukkan semua pakaian yang diangin-anginkan ke tas Kirei. Pakaian itu belum bisa dipakai karena belum kering benar. Takut masuk angin. Mereka cukup nyaman mengenakan blazer. Mereka melanjutkan perjalanan setelah hujan berhenti dan kabut berangsur lenyap. Perjalanan mendaki bukit sedikit terhambat karena jalan yang dilalui licin bekas terguyur hujan. Inara sudah dua kali terpeleset dan hampir terjatuh kalau tidak berpegangan pada lengan Raka. "Hati-hati," kata Raka ketika untuk ketiga kalinya Inara tergelincir. "Kalian terpeleset kayak berlomba-lomba." Maysha dan Kirei sudah
Malam sudah sangat larut ketika Raka dan teman-temannya tiba di puncak bukit. Oldi kelihatan berkeringat menggendong Kirei, padahal cuaca sangat dingin. "Istirahat kalau cape," kata Raka. "Malam ini kayaknya kita tidak sampai ke sungai." "Aku keringatan bukan cape." "Karena pepayanya Kirei?" sindir Jonan. "Panen saja sekalian." "Pepayanya membuat aku berfantasi. Harum nafasnya membuat aku terbius." "Sayangnya bau keringatmu membuat aku ingin muntah," gerutu Kirei. Oldi menanggapi serius padahal maksud Kirei bercanda. "Ya sudah kamu turun dulu, biar aku keringkan." Kirei jadi menyesal sudah bicara sembarangan. Dia terpaksa turun. Oldi membersihkan keringat dengan tissue basah. "Sembunyi di semak-semak," kata Raka tiba-tiba. "Cepat." Mereka segera pergi ke rumpun semak dan masuk ke dalamnya. Jonan membabat beberapa batang semak agar sedikit leluasa. Mata Raka memandang ke kejauhan. Manusia plasma tampak be
Putusnya komunikasi dengan Mahargo membuat posko heboh. Luhantara kalang kabut tidak mendapat kabar sehari semalam. Basecamp sudah tiga kali dihubungi, Mahargo dan kawan-kawan belum muncul di sana. Apa yang terjadi? Mengapa Mahargo susah dihubungi? Mungkinkah mereka mengalami kejadian seperti yang dialami beberapa wisatawan itu? Hutan larangan ditutup untuk wisata alam bukan semata-mata banyak wisatawan tewas, karena susah komunikasi, sehingga tim pencari kesulitan jika wisatawan butuh bantuan. Luhantara tidak percaya dengan cerita takhayul yang beredar, hutan itu dihuni oleh dedemit yang gemar membunuh manusia. Kalau wisatawan yang tewas memiliki ciri-ciri luka yang aneh, sangat mungkin di wilayah itu terdapat spesies binatang yang belum ditemukan oleh para peneliti. Luhantara menemukan beberapa spesies langka yang belum terdaftar di CITES ketika terakhir kali menjelajah hutan itu mencari wisatawan yang hilang. Sekalipun binatang yang ditemukan adala
Jonan dan Oldi tidur dengan nyenyak di sofa. Raka tidur di lantai sambil duduk bersandar ke pintu depan. Sementara gadis-gadis metropolis itu tidur di dalam kamar. Dua jaring besar berisi bola berbagai jenis teronggok di dekat Raka. Bola-bola itu akan digunakan untuk menyelamatkan diri dari perburuan makhluk pembunuh itu. Raka memutuskan untuk melakukan perjalanan sore ini sehingga esok pagi bisa tiba di basecamp. Jadi mereka bisa pulang sesuai jadwal. Lagi pula tinggal lama-lama di rumah ini bukan situasi yang menguntungkan. Setiap saat anggota mafia bisa muncul. Melihat banyaknya mayat bergeletakan tentu akan membuat keadaan semakin runyam. Pimpinan mereka bisa saja mengambil keputusan kontroversial, meledakkan bangunan ini karena sudah dikuasai musuh. Ada baiknya juga alat komunikasi tidak berfungsi, sehingga apa yang terjadi di rumah singgah ini tidak cepat menyebar. Anggota mafia yang ingin beristirahat di siang hari tentu menjadikan temp
Keputusan Oldi untuk mengambil Elena sebagai pasangan hidup tidak main-main. Mempunyai istri cantik adalah obsesinya. Wajah Oldi pas-pasan, tapi selera tidak kalah dengan Jonan. Ini yang membedakan berapa banyak koleksi mantan pacar mereka. Fisik jadi standar utama perempuan idealis. Oldi sudah bosan pacaran dengan menghambur-hamburkan uang. Mall adalah tempat favorit untuk kencan karena gadis-gadis jadi pacar bukan atas nama cinta, mereka ingin bebas shopping secara gratis. Dia menolak segala persembahan mereka karena tidak bedanya dengan pelaku prostitusi, cinta berbayar. Tentu saja Oldi tidak membuang kesempatan ketika ada perempuan cantik mencintai dengan tulus tanpa peduli bagaimana keadaan fisiknya. Elena hanya ingin diperlakukan bukan sekedar alat pemuas, dia ingin diangkat dari lembah hitam. Latar belakang kehidupan Elena sungguh tragis. Lulus SMA jadi simpanan CEO karena ayahnya tidak mampu membayar hutang. Kemudian dia jadi fotomodel dan ter
Setiap kali Kirei melihat kemesraan Oldi dan Elena ada rasa yang tidak dimengerti merayapi hatinya. Entah cemburu atau kecewa karena pemuda itu tidak memberi waktu untuk berpikir. Oldi bukan laki-laki pilihan di kampus. Wajah yang pas-pasan dan tubuh yang tidak ideal membuat gadis-gadis berpikir untuk menjadikannya sebagai pacar. Orang tuanya memang kaya raya. Tapi itu biasa di kampus mereka. Sedangkan Kirei adalah mahasiswi yang didamba cintanya oleh setiap mahasiswa. Di mana hatinya berlabuh di situ tersedia dermaga. Cowok nomor satu di kampus bahkan pernah berujar. "Aku lebih memilih kamu daripada tujuh bidadari sekalipun kamu bukan yang tercantik." Tentu saja Kirei tersanjung. Dia tahu Raka bercanda. Seandainya sungguh-sungguh pun, dia sudah menutup pintu rapat-rapat. Pemuda itu adalah cinta mati sahabatnya. Lagi pula, dia bukan calon istri yang sesuai dengan selera bundanya. Inara memenuhi kriteria karena bukan gadis tomboy. Kirei ada di