“Makasih ya, Kak.” Wajah Fahira sumringah setelah mendapatkan penjelasan salah satu mata kuliah yang tidak dipahaminya dari Faisal. Pria tampan itu menatap Fahira sambil menyunggingkan senyum. Dia sangat merasa berharga bisa membantu Fahira. Gadis keras kepala yang sering merasa bisa melakukan segalanya tanpa bantuan.Hari itu memang Fahira terpaksa menemui Faisal karena banyak hal yang tidak dimengertinya. Fahira merasa buntu. Sudah mencoba bertanya ke dosen, tetap tidak paham. Lama-lama merasa malu dan rendah diri. Untung ada Faisal yang merupakan mahasiswa PhD selalu bersedia membantunya. Mereka berdua berada di salah satu hall dimana di sana banyak bangku-bangku berderet. Tempat itu disediakan untuk para mahasiswa dalam menyelesaikan tugas kelompok. Awalnya Fahira sungkan untuk meminta bantuan Faisal. Tapi, demi tak ingin mengulang mata kuliah dan artinya membuat masa studinya molor, akhirnya Fahira memberanikan diri. Toh, Faisal tak pernah macam-macam dan dia dengan senang hat
Akhirnya, Nabila mulai bekerja. Dia bekerja sebagai asisten direktur di salah satu perusahaan milik salah satu kenalan Bayu. Setelah seminggu, Nabila mulai merasa betah, meski awalnya canggung. Ternyata mulai bekerja di usia yang bukan fresh graduate tak semenakutkan yang dibayangkan sebelumnya. Sikap Nabila yang mudah bergaul, membuat atasannya cepat akrab. Tak heran jika dia sering diajak oleh bosnya makan di luar. Aneka restoran mewah kembali dia sambangi, yang sejak menikah dengan Bayu sudah tak pernah lagi dikunjunginya. “Jadi, kamu sama Bayu hanya menikah siri?” tanya Bagas, sang atasan, saat keduanya sedang keluar makan siang di sebuah restoran bernuansa Sunda. Masakan Sunda pun ditawarkan di rumah makan itu. Keduanya duduk lesehan berseberangan sambil menikmati air mancur yang berada di depan gazebo.“Aku tak habis pikir. Pria seperti Bayu bisa sanggup punya istri dua.” Pria bernama Bagas itu mengenal Bayu dengan baik. Kebetulan dalam beberapa pekerjaan, kantor Bayu sering
Bayu menatap Nabila dingin saat istri sirinya itu masuk ke rumah.Papa dan mama mertuanya juga sudah duduk di sofa ruang tamu. Berulang papa mertuanya minta maaf kepada Bayu atas apa yang dilihatnya siang tadi. Tapi, hati Bayu seolah sudah mati. Antara sakit hati dan marah bercampur menjadi satu. “Papa, besok sudah bisa mulai bekerja,” ujar Bayu datar. Pemuda itu masih ingin memastikan bahwa papa mertuanya tidak mengurungkan niatnya untuk bekerja. Bagaimanapun, Bayu tidak tega jika harus meninggalkan keluarga ini tanpa pegangan apapun.“Iya, Nak. Terimakasih. Papa akan bekerja dengan baik. Percayalah. Kamu tak akan malu sudah merekomendasikan papa kerja di sana. Papa hanya ingin menghabiskan masa tua dengan tenang tanpa lilitan hutang,” sahut Papa Nabila. Sementara, Nabila langsung melenggang masuk ke kamarnya, tanpa memedulikan orang tuanya dan Bayu yang sedang mengobrol serius. Dia paham, kalau bergabung di sana, pasti papanya masih menyimpan murka.Bayu memilih menemui Nabila di
Faisal dengan sengaja mensejajari langkah Fahira yang sedang berjalan menuju parkiran sepeda. “Kata Mayang kamu lagi nyari apartemen?” tanya Faisal saat sudah berjalan di sebelah Fahira. Fahira menghentikan langkahnya. ‘Duh, Mayang kenapa ember, sih?’ batin Fahira. “Aku baca di grup. Dia posting nyari rumah. Aku tebak, pasti buat kamu,” tutur Faisal seperti memberi jawab penasaran Fahira. Faisal tahu, kalau tidak diklarifikasi, pasti Fahira akan memarahi sahabatnya itu. Sedikit banyak, Faisal mulai memahami Fahira yang makin tertutup untuk urusan pribadinya. Perut Fahira sudah mulai membuncit. Fahira ingin segera pindah tempat tinggal di saat kandungannya belum terlalu besar. Dia memilih mencari tempat tinggal di dekat centrum yang mudah akses kemana-mana. Membeli barang kebutuhan sehari-hari dekat. Apalagi jarak centrum ke kampus hanya sekitar 1 km. Bisa ditempuh jalan kaki jika dia sudah tak kuat bersepeda. Bukankah itu bagus untuk kehamilannya? “Cari yang satu kamar saja sih
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Saat Fahira melahirkan sudah semakin dekat. Nun jauh di sana, Fahira sedikit demi sedikit mulai mencicil kepindahan di tempat barunya. Dia mulai belajar beradaptasi menghadapi kelak usai melahirkan. Tak ada suami mendampingi, kadang membuat hatinya melow. Namun, dia sering mendapatkan dukungan dari ibu-ibu muda dari Indonesia yang rata-rata pasangan dari pelajar Indonesia. Fahira banyak bertukar pengalaman dengan mereka. Dan mereka selalu memberi semangat."Nggak usah risau. Hamil dan melahirkan jauh dari keluarga tidak masalah. Bidanmu akan siaga saat waktu sudah dekat. Begitu juga kraamzorg. Kami juga insyaalloh ready kapan kamu butuhkan." Begitu para ibu muda yang kadang mereka sengaja berkumpul di taman menemani balitanya bermain. Fahira akhir-akhir ini suka bergabung demi mendapatkan banyak nasehat dan tukar pengalaman dari mereka. Sementara di Jakarta, Bayu masih berjuang untuk berdamai dengan keadaan. Nabila yang kini menunjukkan s
Fahira sangat senang kedua orangtuanya akhirnya tiba di Belanda. Fahira sengaja menjemput ayah dan ibunya di bandara. Setelah turun dari kereta, Fahira dan kedua orang tuanya melanjutkan naik bis menuju apartemen Fahira. Kebetulan, halte bis terletak tepat di depan apartemennya. “Selamat datang, Ayah, Ibu,” ujar Fahira begitu masuk unit apartemen mungilnya. Ada satu kamar tidur, satu ruangan besar yang menyatu dengan dapur. Di sana ada sofa sekaligus sofa bed dan juga satu set meja makan. Pemandangan dari kamar Fahira adalah pusat kota. Fahira segera menghangatkan makanan yang sudah disiapkan sejak sebelum berangkat ke bandara, seraya menunggu ayah ibunya membersihkan diri bergantian di kamar mandi.“Ayah dan ibu nanti istirahat dulu ya. Fahira ada kuliah. Nanti habis kuliah, Fahira langsung pulang. Besok baru kita jalan-jalan,” ujar Fahira bersemangat sambil menyelesaikan sarapannya. Ayah dan Ibu Fahira sangat senang. Kondisi Fahira yang sehat dan tak tampak lemah, meskipun dengan
“Gimana ya, Mbak. Apa aku jual saja rumah dan mobilku saja, ya?” tanya Bayu pada Wulan. Satu-satunya orang yang bisa dimintai pertimbangannya.Setiap membezuk, mamanya, selalu menanyakan Fahira. Rasa bersalah masih saja menyelimuti benak mertua Fahira itu. Bukan Bayu tak mau menyusul Fahira, tapi banyak hal yang mesti dipertimbangkannya, terutama urusan finansial. Belum lagi urusan Nabila yang harus ditinggalkannya. Tidak mungkin meninggalkan Nabila tanpa memberinya nafkah.“Terus, nanti kalau Fahira pulang, kalian mau tinggal dimana? Pikir baik-baik. Bukan dengan emosi.” Wulan mencoba menasehati. “Atau, aku jual dulu rumah itu. Kalau sudah laku, uangnya aku pakai untuk membeli rumah yang ukurannya kecil secara cash. Jadi, aku tak perlu repot memikirkan cicilannya selama aku tidak ada,” lanjut Bayu. Wulan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak menyangka. Adiknya yang dulu jadi kebanggan. Cerdas. Lulusan perguruan tinggi ternama. Kini mengalami dilema. Tapi biarlah. Dia harus bela
Bayu dan kedua orang tua Nabila tergesa menyusuri koridor unit gawat darurat rumah sakit yang disebutkan oleh penelpon. “Korban sudah di pindah ke ruang ICU, Pak,” ujar petugas medis yang ada di sana. "Tadi ada pihak keluarga korban yang bertanggungjawab yang menandatangani persetujuan pemindahan ruangan. Tapi, untuk administrasinya, silahkan diselesaikan terlebih dahulu," ucap petugas itu, sebelum Bayu dan Mertuanya bergegas ke ruang ICU. Tanpa pikir panjang, Bayu mengangguk dan menerima arahan petugas, kemana dia harus menyelesaikan administrasi. Matanya seketika melebar saat tahu jaminan yang harus dibayarkan. Memang rumah sakitnya sangat berkelas. Setara dengan kocek yang harus dirogoh."Silahkan, Mbak." Bayu menyerahkan kartu yang isinya uang yang selama ini dikumpulkan untuk berangkat menemui Fahira. Rupanya manusia hanya berencana. Tapi, Tuhan selalu punya kehendak yang harus diikuti."Terimakasih, Nak Bayu." Suara Papa Nabila yang berdiri di belakang Bayu. Pria itu juga mel