Share

4. Mata

Bianca melenggang menuju kamarnya, santai seperti biasa. Beberapa meter di depan Bianca, Gerald melangkah tergesa-gesa. Ada banyak amarah tersirat dari gesturnya, tapi Bianca tidak peduli. Bianca tidak salah sama sekali. Kalau ada yang harus disalahkan, maka itu adalah keteledoran keluarga Lagrave yang sengaja mengabaikannya. Sialan, apa ini masih di SMA? Bagaimana bisa mereka membully-nya dengan tindakan kolot itu?

'Jika Ayah tau aku diperlakukan seperti tadi, dia akan menjemputku pulang dan meninggalkan para bajingan ini sendirian.' Bianca membatin sambil mengingat ekspresi kejam seorang Warren Dawson. Ayahnya mungkin pria gila yang terobsesi pada pekerjaan, tapi dia sangat menjaga nama baiknya. Bila dia tau darah dagingnya diperlakukan dengan hina, dia akan sangat marah. Bukan berarti dia menyayangi Bianca sih, lebih kepada dia sangat menjaga nama baiknya sendiri.

Dijemput pulang mungkin opsi yang menyenangkan, tapi itu tidak berarti aman. Clarissa masih harus berkuliah, Bianca tidak mau mengorbankan masa depan adiknya hanya karena dia tidak bisa bertahan di antara para bajingan ini.

Bianca merenung dan merenung situasinya hingga...Brugh!

Keningnya menabrak punggung Gerald. Suaminya yang beraroma manis itu, berhenti tiba-tiba dan berbalik menatapnya. Sebelum Bianca bicara, Gerald sudah maju dengan telunjuk teracung di depan wajahnya. "Kau sangat senang membuat masalah, ya?"

"Senang? Aku?" Bianca tergelak akan tudingan itu. "Apa yang sudah aku lakukan?"

"Kau bahkan pura-pura tolol!"

"Pertama-tama, tuan Gerald yang terhormat..." Bianca menunjuk Gerald kembali menggunakan jari telunjuknya yang lentik. Ia mendorong dada pria itu mundur dan cukup terkejut saat merasakan kalau Gerald mempunyai otot yang cukup kuat, mencuat di balik kemeja hitamnya.

Sempurna. Mengapa dia sempurna?

Sialan, jangan terdistraksi dengan hal tidak penting, Bia!

"Pertama-tama...," ucap Bianca kembali, "Aku tidak melakukan kesalahan apa pun. Apa aku salah sudah mengatakan kalau pelayanan kalian terhadap keluarga baru kalian sangat buruk?"

"Kau tidak diposisi yang berhak untuk mengatakan apa pun!"

"Tapi aku istrimu, loh. Kau baik-baik saja dengan istrimu diperlakukan dengan tidak adil? Apa kau bajingan?"

"Bianca..." tekan Gerald, ia menapak satu langkah lebih dekat kepada gadis itu, ekspresi dingin seperti balok es di samudera atlantik. "Bagian mana dari ucapanku semalam yang kau lupakan?"

"..." Bagian mana?

"Kau hanya istriku di atas kertas. Jangan percaya diri dan menganggapku suamimu sungguhan. Aku tidak pernah menganggapmu lebih dari sekedar hama di rumah ini."

Kalau begitu mari bercerai!--adalah kata yang ingin Bianca katakan, tapi tak mampu ia ungkapkan. Ia tidak bisa kalah di pertempuran ini pada hari pertama pernikahannya.  Dia tidak boleh menyerah begitu saja.

"Hanya karena itu pandanganmu, bukan berarti aku harus menatap hubungan ini sesuai sudut pandangmu." Bianca menghela napas, menahan gemas. "Di mataku, kau adalah suamiku sungguhan. Aku sudah bersumpah di depan Tuhan akan menjadi istrimu dalam keadaan suka maupun duka. Aku tidak akan mengkhianati Tuhan hanya karena kau bersikap seperti bajingan."

"Apa-apaan?" Gerald syok atas bantahan Bianca yang tiba-tiba membawa Tuhan kedalam konversasi mereka. Sejak kapan gadis itu menjadi sosok yang religius? Tunggu, apa dia memang sosok yang religius? Gerald sama sekali tidak tau.

Jika Bianca adalah pribadi yang agamis, apa itu berarti Bianca akan mengabdikan dirinya dengan tulus dalam hubungan ini? Sebagaimana ia sudah berjanji di depan Tuhan kemarin?

'Apa dia akan..., benar-benar..., bertekad menjadi istriku? Serius?'

Pemikiran tentang Bianca yang enggan melepaskannya, menempelinya seperti wanita-wanita di drama romansa, membuat Gerald jijik setengah mati. Ia tidak mau mempunyai hama menempeli hidupnya sampai dia tua. Lagipula, Gerald tidak ada niat mencintai Bianca. Ia berencana menceraikan gadis itu setelah kerja sama dengan keluarga Dawson berjalan mulus.

"Bianca..." Menyela perdebatan di antara Bianca dan Gerald, Erina muncul dengan suara lembutnya yang menyejukkan hati Gerald saat itu juga. Benar, istri idaman Gerald adalah Erina, bukan Bianca. Ia tidak seharusnya memedulikan Bianca dan omong kosongnya barusan.

"Ada apa, Erina?" Bianca menoleh dan merasa lega setelah menemukan Erina di ujung lorong kamarnya. Setidaknya, ia tidak perlu memperpanjang perdebatannya dengan Gerald. Itu menjemukan dan merusak mood paginya.

"Ibu menunggumu di ruang kerjanya."

"Apa karena tadi?" Bianca menyuarakan isi hatinya dan itu membuat dia ditatap sengit oleh Gerald. Pria itu selalu saja menjengkelkan!

"Apa?" Bianca menantang Gerald seperti mengajak pria itu berkelahi. Ia menggulung lengan blouse-nya setinggi siku, siap memukul pria itu. Gerald menatap tingkah Bianca dan menggeleng-gelengkan kepala.

Betapa kekanakan. Ia tidak menyangka wanita itu sudah berusia 26 tahun. Mengapa dia terlihat seperti remaja puber yang tolol?

***

"Pertama-tama, maafkan Ibu atas kejadian tadi pagi,"--merupakan kata sambutan yang didengar Bianca ketika ia menghadap Melisa. Duduk manis dengan secangkir teh di atas meja.

Bianca menyimak ucapan wanita itu dengan anggukan ringan, karena jujur saja, Bianca sudah move on dari kejadian tadi pagi. Ia tidak mau terlalu berlarut-larut pada situasi yang sudah terjadi. Toh, dia menang tadi pagi. Jadi tidak masalah.

"Ibu sudah lalai dan memberikan pelayanan buruk padamu. Padahal ini adalah hari pertamamu bergabung bersama kami, Ibu merasa bersalah sudah membuatmu merasa terabaikan."

'Tidak, daripada merasa diabaikan, aku memang diabaikan.' Bianca membatin sambil memamerkan cengiran sopan. Bianca pikir, tidak ada baiknya memperburuk situasi dengan ibu mertuanya. Jadi..., mari memperbaiki imejnya sekali lagi.

"Aku tidak menyalahkan Ibu sepenuhnya pada apa yang sudah terjadi," ucap Bianca, sengaja memperlembut tuturnya. "Lagipula, Ibu tidak sendirian di sana. Ada Gerald dan Olliver, bahkan Ayah juga ada di sana. Ibu tidak perlu menanggung masalah tadi pagi seorang diri."

Melisa mengangkat wajahnya dan menatap Bianca. Ia terpana, begitu terpana. Kendati penuturan menantunya itu lembut dan bermaksud untuk menenangkan, Melisa mengartikannya sebagai Bianca memang menyalahkan mereka semua menyangkut masalah tadi pagi. Dia sama sekali tidak ada niat untuk menyalahkan dirinya sendiri dan bersikap rendah hati. Walaupun dia di posisi yang benar, ketika berada di depan orang tua, dia sudah seharusnya mengalah, kan? Dia seharusnya meminta maaf juga!

Betapa arogan.

"Ibu?"

"Hmm?"

Bianca menggaruk pipi, ia merasa agak kikuk ketika suasana menjadi sunyi. "Apa ada hal lain yang ingin Ibu katakan padaku?"

"Oh, benar juga...," Melisa tersenyum hambar. "Junie, silakan masuk."

Setelah memanggil seseorang dari luar, Melisa kembali menghadap Bianca.

"Ibu mempunyai hadiah untukmu."

"Oh?" Apa ini semacam warisan keluarga? Sambutan untuk menantu baru? Hmmm, apa itu?

Bianca agak antusias ketika Junie--wanita muda dengan ekspresi tenang itu memasuki ruangan. Dia menghadap Bianca sebentar dan menundukkan kepala, penghormatan singkatnya membuat Bianca tersenyum ceria. Dia merasa seperti princess dari negeri dongeng.

"Bianca,"

"Ya, Ibu?"

"Ini Junie," kata Melisa, "Dia akan menjadi asisten pribadimu di sini."

"Hah?"

Orang? Jadi hadiahnya..., orang? Bukan gelang atau berlian?

"Kau bisa mengatakan apa pun yang kau butuhkan kepada Junie, dia akan mengajarkanmu beberapa hal tentang keluarga ini juga. Hal-hal yang perlu kau lakukan dan hal-hal yang tidak perlu kau lakukan."

"Begitukah?" Bianca mendongak menatap Junie, menilai wanita itu dari ujung rambut ke ujung kaki. "Aku mengapresiasi hadiah Ibu, tapi..., apa ini baik-baik saja?"

Bianca tidak pernah memperoleh pelayan pribadi sebelumnya. Bahkan selama berada di Dawson, seluruh pelayan bekerja untuk semua orang. Bianca merasa sudah diperlakuan secara eksklusif, dan eksklusif tidak selalu berarti baik. Itu bisa berarti dia dikecualikan, dipisahkan.

"Jangan merasa sungkan," ujar Melisa, "Setiap orang di rumah ini mempunyai pelayannya pribadi."

"Ah..., kalau memang seperti itu..."

Bianca tidak bisa menolak kalau situasinya memang seperti yang Melisa katakan. Ugh, sialan. Lama-lama di rumah ini, Bianca menjadi paranoid.

"Junie," sapa Bianca. Ia menyodorkan tangannya kepada si pelayan muda. "Mohon bantuanmu kedepannya. Aku agak cerewet, jadi aku harap kau mampu bertahan di sampingku."

Junie menjabat tangan Bianca ragu-ragu, canggung. "Aku akan bekerja keras."

"Jangan terlalu keras," canda Bianca. "Aku tidak akan memintamu melakukan sesuatu yang luar biasa."

"Ah..."

"Hanya berada di sisiku dan menjadi temanku, aku akan sangat mengapresiasikan bantuanmu."

Menatap keramahan Bianca pada Junie di ruang kerjanya, ketegangan di tubuh Melisa agak mereda. Ia lega Bianca tidak mencurigainya ini itu dan tidak menolak tawarannya. Setidaknya, dengan Junie berada di sekitar Bianca, ia bisa memastikan kalau menantunya itu tidak akan melakukan sesuatu yang berbahaya tanpa sepengetahuan mereka. Sesuatu semacam mencemarkan nama baik mereka, menyabotase dan merusak ketentraman di sini.

Junie akan menjadi mata yang sempurna.

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status