Kulirik Yanti yang menatap Mas Hasan dengan lekat. Sebagai sesama perempuan, dari caranya menatap, aku tahu kalau dia punya perasaan lebih pada Mas Hasan. Beruntung, Mas Hasan tak menanggapi. Suamiku itu khusyu melahap sambil menyuapi putra kami.
Setelah selesai, Ningrum, Rika dan Nuri mengajak Yanti ke ruang tamu. Sementara aku mengumpulkan piring-piring kotor yang berserakan dimana-mana. Kebiasaan mereka, kalau selesai makan enggan tuk sekadar menyimpan piring ke wastafel.
Hadi turun membantuku. Dia membereskan makanan yang tersisa. Sementara Mas Hasan pamit menidurkan Khalid.
“Teh, kita cuci piring aja sekarang aja gimana?“ Saudara jauh yang belum kutahu namanya bertanya. Aku berpikir sejenak.
“Jangan sekarang, Bibi Ndeh. Udah malam, nggak baik buat kesehatan. Mana cucian piringnya juga banyak,“ jawab Hadi yang ternyata sudah berdiri di belakangku.
“Sekarang aja yuk, Bi Ndeh.“ Kuhiraukan Hadi yang menatapku dengan mata memicing. Tampaknya dia keberatan dengan perkataanku.
Bibi Ndeh ternyata asik juga orangnya. Dia anak dari nenek tirinya Mamah. Dia bercerita banyak hal, termasuk keadaan ekonomi yang pas-pasan. Dia juga mengajakku ke rumahnya.
“Insya Allah, Bi.“ Aku menjawabnya singkat.
Semua piring dan perabotan kotor sudah bersih dan wangi. Aku dan Bibi Ndeh segera masuk, mengganti pakaian lalu menghampiri Mas Hasan yang kini duduk di ruang tamu. Bergabung dengan yang lain.
“Dari mana aja? Lihat nih, Mamah keteteran nyiapin bingkisan,“ semprot Mamah saat aku baru keluar dari kamar. Mamah sedang menyiapkan bingkisan untuk para saudara yang sudah ikut rewang. Aku pun segera duduk tak jauh darinya. Membantu mengemas bingkisan yang belum tersentuh.
“Habis nyuci piring sama perabotan, Mah,“ jawabku agak kencang. Mamah melotot mendengarnya.
“Iya, Teh Aas. Itu cucian banyak banget. Saya heran deh. Kok cuma Teh Hanna yang mau turun. Mantu Teteh yang lain pada ke mana? Harusnya mantu yang lain diajarin buat pegang kerjaan rumah, Teh. Jangan dibiarin main hape terus,“ timpal Bibi Ndeh membuat wajah Mamah merah padam. Sedangkan Nuri dan Rika hanya saling lirik dengan wajah cemberut.
“Maafin istri saya ya, Bi. Nuri memang nggak biasa pegang kerjaan rumah. Di rumah juga saya yang kerjain semua,“ sahut Haikal terkekeh. Membuat bibir istrinya semakin mengerucut.
“Pantesan atuh. Jadi perempuan itu harus rapekan, jangan mageran. Sekarang belum punya anak, nah nanti kalau punya anak ...“ ucap Bibi Ndeh menggantung, dengan kepala menggeleng-geleng.
“Kalau punya anak saya mau pake art.“ Nuri membalas ketus dengan mata melirik tak suka.
“Baguslah kalau begitu.“ Bibi Ndeh tersenyum lebar.
“Sudah ... sudah. Mending sekarang kita buka kado sama buka amplop.“ Mamah tampaknya geram karena satu mantu kesayangannya dipojokkan.
“Iya betul, Mah. Aa ... sini, kita buka kado!“ teriak Ningrum. Tak lama Ikmal keluar dari kamarnya sambil tersenyum ramah.
**
Ningrum begitu histeris, membuka satu persatu kadonya. Kado pernikahannya lumayan banyak tapi isinya biasa saja. Kebanyakan isinya sprei, gelas set dan bingkai foto. Ningrum mencolek suaminya saat membuka kado yang isinya lingeri warna merah.
“Suka nggak Ning?“ tanya Rika sambil tersenyum menggoda.
“Ini dari Teh Rika?“ Ningrum balik bertanya dengan mata membulat. Rika mengangguk pasti. Ningrum menatap lingerie itu sekali lagi dengan tatapan yang agak ... kecewa.
“Suka banget. Makasih ya,“ ucapnya sambil tersenyum tipis.
“Eh Ning, lihat ini isinya tas loh.“ Yanti membuka suara. Dia memberikan tas itu pada Ningrum. Ningrum meraihnya dengan senyum sumringah, terlebih saat membaca secarik kertas di dalamnya.
’Untuk adik iparku tersayang. Bahagia selalu untuk rumah tanggamu. Love you.’
“Ahh, Teh Nuri ... Makasih banyak. Tahu aja kalau Ning belum punya tas jelly,“ katanya sambil tertawa. Nuri tersenyum sambil melirik masam padaku. Entah apa maksudnya.
“Coba buka kado yang di pojokan, Ning.“
Kali ini Mas Hasan yang buka suara. Sepertinya dia tak mau istrinya diremehkan ipar-iparnya. Aku sih santai saja, toh kado mereka juga ternyata tak sesuai dengan penampilan glamor mereka.
Ikmal membawanya dari pojok ruang tamu. Nuri dan Rika saling pandang. Kulirik Rika mengendikkan bahunya. Kali ini Ikmal yang membukanya, Ningrum melongo tak percaya saat tahu isinya. Sebuah tv led keluaran terbaru.
“Itu kado dari Teh Hanna, bukan dari Akang. Semoga kalian suka, Ning,“ kata Mas Hasan. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. Kulihat alis Mamah pun terangkat sebelah.
“Terimakasih, Teh, Aa,“ ucap Ikmal sambil mengusap layar tv.
“Coba nyalain. Kali aja tv rekondisi.“ Mamah menyunggingkan senyum.
Kuhembuskan napas melalui mulut seraya mengusap dada. Sabar, Hanna. Sabar ... Biarkan Mamah berucap sesuka hatinya. Ikmal langsung mencobanya. Begitu tv menyala, Mamah melirik pada kedua mantu dan anak bungsunya.
“Wah ini kan tv bagus. Harganya tiga juta lebih kalau nggak salah,“ kata Hadi. Mama sontak memegangi dadanya.
Aku tersenyum puas. Harga baru tv itu memang tiga juta lebih, tapi aku mendapatkannya hanya dengan sepuluh rupiah saja. Aku membelinya saat flash sale besar-besaran di Marketplace orange.
“Ini buka rekondisi, Mah. Ini kartu garansinya juga ada,“ lanjut Hadi membuat wajah Mamah pias seketika.
“Ini kado dari Teteh, Ning. Semoga kamu suka.“
Yanti memberikan kadonya pada Ningrum. Sebuah kado berukuran dua puluh × lima belas centi meter. Ningrum langsung memeluknya setelah tahu isinya. Mini gold 0,25 gram.
“Makasih banyak ya, Teh.“
Perlakuan yang begitu jomplang. Padaku jangankan memeluk, mengucapkan terimakasih pun tidak. Berbeda pada dua ipar dan Yanti. Begitulah jika hati sudah diisi dengki, mengucap terimakasih pun gengsi.
Semua kado sudah dibuka. Ningrum menawarkan pada semua orang yang ada. Lucunya, Nuri malah meminta tv dariku. Haikal sontak mencubit tangannya, lalu berbisik hingga membuat netra Nuri berkaca-kaca.
Ningrum hanya tersenyum paksa sembari menggaruk kepala.“Ja-jangan yang itu, Teh. Nanti Teh Hanna ngambek,“ katanya. Aku memutar bola mata, lalu bangkit berdiri. Andai dia cabe, sudah habis kuulek.
“Teh Hanna mau ke mana?“ tanya Ikmal membuat semua orang menoleh kepadaku.
“Mau tidur saja.Ngantuk,“ jawabku.
“Jangan dulu atuh, Teh. Ayo, Teteh mau apa, ambil aja jangan sungkan,“ tawar Ikmal. Aku menggeleng pelan.
“Nggak usah. Buat kalian saja.“ Aku menjawab dengan sopan.
“Iya, Hanna ... Ambil saja. Tuh ambil sprei satu, sprei di rumah kamu pasti sudah pada buluk,“ kata Mamah.
Aku yang jenuh, segera melangkah ke kamar.
“Dasar sombong!“ umpat Rika.
“Iya. Udah miskin, sombong pula.“ Nuri menimpali.
Aku geleng-geleng kepala. Mereka memang keterlaluan. Didiamkan semakin menginjak, dilawan semakin beringas. Entah harus kuapakan model manusia seperti mereka itu.
**
Rapekan = Cekatan
Mager = Malas gerakCahaya matahari mulai menyembul dari arah timur saat aku menghangatkan makanan sisa hajatan kemarin. Setelah shalat subuh, aku dan Bibi Ndeh langsung ke dapur umum. Dia membereskan sisa-sisa bumbu, lalu membawanya ke dapur Mamah. “Kalau di sini udah beres, Bibi mau langsung pulang. Kasihan Mang Aden—suaminya—kalau bibi nggak pulang hari ini,“ katanya sambil menyapukan sampah-sampah yang berserakan. Setelah acara selesai, saudara dekat Mamah maupun Bapak tidak ada yang rewang, termasuk Uwak Piah. Sepertinya mereka lelah sudah karena sudah rewang dari jauh-jauh hari.“Alhamdulillah, selesai. Hayu Teh, kita siapin makan. Bibi mau pulang nih,“ ajaknya. Aku mengangguk lalu mematikan kompor. Saat aku dan Bibi Ndeh ke ruang keluarga, Nuri dan Rika sedang asyik nonton berita artis. Mereka menonton sambil ngemil kue-kue sisa hajatan.“Ya Allah, Teh Aas ... Lihat sini Teh!“ Mendengar teriakan Bibi Ndeh, Mamah langsung keluar dari kamarnya. Tangannya sedang memegang amplop dan uang. Sepertin
Setelah makan berjamaah, Bibi Ndeh pamit pulang. Selain memberi bingkisan, Mamah juga memberinya uang. Bibi Ndeh memang pantas menerimanya, karena dia begitu totalitas dalam rewang. Mas Hasan dan Khalid mengantarnya sampai ke terminal.Kulangkahkan kaki ke dapur. Masih ada sedikit pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum pulang ke Bogor.“Hanaaa ... cepat kesini!“Aku segera menghampiri Mamah yang sedang menjejerkan bingkisan dan kakaren hajatan. “Ada apa Mah?“ tanyaku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang keluarga.“Kamu anterin bingkisan dan kakaren, ke sini,“ jawabnya seraya memberikan selembar kertas berisi nama-nama saudara Mamah dan Bapak. “Maaf Mah, nggak bisa. Hanna mau siap-siap.“ Aku menolaknya dengan lembut. Aku dan Mas Hasan memang sudah berencana pulang hari ini. Aku bekerja sebagai pengajar TPA dan Mas Hasan jadi penanggung jawab masjid, lebih tepatnya marbot di Yayasan pendidikan Islam di kota Bogor. Kami sudah terlalu lama izin. Malu jika harus izin lagi
Kususuri jalanan sambil berpikir kemana aku harus pulang. Bisa saja pulang ke Bandung, ke rumah orangtuaku. Tapi Ammah sama Appa pasti curiga. Karena selama empat tahun menikah, aku tak pernah pulang seorang diri. Selalunya pulang dengan Mas Hasan. Mereka pasti bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dan aku tak mau membebani pikiran mereka. “Teteh ... mau ke mana?“ tanya Uwak Piah. Saking fokusnya berpikir, aku sampai lupa kalau ternyata sedang melewati rumah Uwak Piah. Uwak Piah menghampiriku, mengajakku masuk ke rumahnya. “Uwak Ayi mana, Wak?“ tanyaku saat duduk di bangku dapurnya. Uwak Ayi itu suaminya yang juga kakak kedua Mamah, uwaknya Mas Hasan. “Lagi ke pasir, Teh. Kan udah mulai panen cengkeh,“ jawabnya sambil memberiku secangkir susu jahe. Aku hanya membulatkan bibir. “Ayo Teh, diminum. Ini jahenya baru dipanen kemarin. Seger,“ katanya. “Iya, Wak. Hatur nuhun,“ ucapku. Uwak menatap penampilanku sejenak. Lalu menatap Khalid yang kini tertidur di gendongan. “Ada
Matahari mulai menampakan sinarnya dari ufuk timur. Pohon-pohon rindang dengan dedaunan hijaunya masih berbasahkan embun. Kuhangatkan semur daging pemberian Uwak Piah sambil menyalakan mesin cuci.Sementara Khalid sedang duduk di depan tv. Menonton murrotal sambil melahap roti bakar yang kubuat. Usai mengeringkan cucian, kuajak Khalid keluar. Dia duduk di tepian teras sambil bernyanyi lagu anak-anak nabi. Memang belum jelas, tapi aku bisa memahaminya.“Eh, Neng Hanna ... kapan pulang?“ tanya Bu Iroh—pemilik rumah yang kukontrak. Dia menghampiriku. Aku segera menyalaminya.“Kemarin, Bu. Cuma ya itu banyak yang harus dibereskan, jadi belum sempat kemana-mana,“ jawabku. Bu Iroh mangut-mangut. Kemudian duduk di samping Khalid.Di Bogor, kami mengontrak sebuah rumah super minimalis. Hanya ada ruang tamu yang menyatu dengan dengan ruang tv, satu kamar, dapur kecil dan kamar mandi. Di depannya ada teras dan sedikit lahan yang biasa kupakai menjemur pakaian.“Oh iya Neng, satu minggu lalu Mir
Setelah satu bulan lebih ambil cuti, Pagi ini Mas Hasan berangkat ke Masjid Annuha. Masjid dimana Mas Hasan menghabiskan hari-harinya. Masjid yang tak begitu besar namun jamaahnya banyak.Setiap hari sabtu dan ahad, Masjid Annuha selalu mengadakan kajian rutin. Setelah kajian selesai, para jamaah diberi jamuan. Baik nasi box ataupun prasmanan. Posisi Mas Hasan bisa dibilang susah-susah gampang. Walau hanya seorang marbot, tapi posisinya seringkali terancam. Selalu ada saja orang yang iri. Mungkin karena Bos Deny, crazy rich Bogor sekaligus donatur masjid Annuha begitu royal dan perhatian pada Mas Hasan. Dia juga mempercayakan segala tetek-bengek urusan masjid pada Mas Hasan. Membuat bendahara masjid takut tersaingi.Mas Hasan digaji dua juta lima ratus ribu setiap bulannya dan aku yang mengajar di TPA-nya, digaji satu juta lima ratus. Jumlah yang bisa dibilang lumayan besar. Kami ke sini mengikuti Ustadz Fakhri dan istrinya Ustadzah Farhah. Ustadzah Farhah, putri guru kami semasa tin
Satu minggu berlalu dengan penuh drama. Tubuh mulai sulit menerima asupan makanan. Setiap makan pasti keluar lagi. Belum lagi hidung yang tak bersahabat dengan wewangian. Terutama detergen dan sabun pencuci piring. Tiap kali mencium baunya, perutku mual dan langsung mengeluarkan isinya. Mas Hasan mengambil alih hampir semua pekerjaan rumah. Mulai dari mencuci pakaian dan menjemurnya, mencuci piring,hingga mengepel. Aku hanya memasak saja. Seringkali kulihat Mas Hasan keteteran. Kadang kasihan juga, tapi apa daya tubuh tak bisa diajak kompromi.Malam ini sepulang Mas Hasan dari Masjid, kami pergi ke klinik bidan mandiri terdekat. Sementara aku diperiksa, Mas Hasan dan Khalid menunggu di ayunan ruang tunggu.“Usia berapa, Teh?“ tanya asisten bidan.“24 tahun 1 bulan,“ jawabku.“Kapan hari pertama haid terakhir?“ Aku menggeleng sembari tersenyum nyengir. Jujur saja, aku lupa.“Coba diingat-ingat dulu,“ katanya.Aku berpikir sejenak dan sayangnya aku tidak ingat sama sekali. Aku kembal
Siang ini jadwal mengajar bertambah padat. Ustadzah Farhah dan Ustadz Fakhri ada undangan jadi pemateri di stasiun tv swasta. Jadi, kelas Ustadz Farhah dihandel olehku dan kelas Ustadz Fakhri dihandel oleh Ustadz Maher.Hanya ada empat kelas di TPA Annuha. Saat aku cuti pulang kampung, kelasku dihandel segara bergantian oleh mereka bertiga. Kami, satu sama lain selau berusaha saling memahami. Jika salahsatu di antara kami berhalangan hadir, maka kami siap menggantikan.Sebelum adzan magrib aku dan Khalid baru tiba di rumah. Malam ini Mas Hasan pulang terlambat, karena bakda isya ada kajian rutin akbar khusus ikhwan dengan pemateri seorang ulama besar dari Bandung.Dari empat marbot, hanya Mas Hasan yang dipercaya mengurus dapur masjid. Marbot lain hanya bertugas membagikan makanan saja. Setiap ada sisa makanan, Mas Hasan selalu membagikannya pada siapapun yang dia kehendaki. Semuanya tentu atas wewenang dari Bos Deny.Malam semakin larut. Udara dingin mulai menyergap diri. Kueratkan s
Hujan gerimis dan keheningan menemani perjalanan kami. Aku sibuk memikirkan biaya kuretase, entahlah dengan Mas Hasan. Aku turun di depan gerbang rumah Bu Iroh, sedang Mas Hasan masuk lebih dulu.Saat ke rumah Bu Iroh, Khalid masih terlelap. Kata Bu Iroh, tadi memang sempat bangun, tapi tidur lagi setelah diberi minum.“Jadi gimana Neng? Baik-baik saja kan?“ tanyanya. Aku menghela napas panjang.“Harus dikuret, Bu,“ jawabku sambil menggendong Khalid dengan hati-hati.“Ya Allah ... mana kuretase itu lumayan, Neng, kalau nggak punya bpjs. Di beberapa rumah sakit malah biayanya setara secar,“ kata Bu Iroh. Dia menatapku iba.“Itu dia, Bu. Mana saya nggak ada bpjs.“ Aku menimpalinya seraya tertawa miris. Bu Iroh menatapku sejenak.“Kalau Neng butuh, ibu ada perhiasan. Neng bisa pake dulu,“ katanya sungguh-sungguh. Ada rasa haru saat mendengarnya.“Makasih banyak sebelumnya, Bu. Tapi enggak dulu deh, Bu. Saya ada sedikit tabungan. Semoga saja cukup,“ sahuku.“Aamiin.““Kalau gitu saya pami