Setelah satu bulan lebih ambil cuti, Pagi ini Mas Hasan berangkat ke Masjid Annuha. Masjid dimana Mas Hasan menghabiskan hari-harinya. Masjid yang tak begitu besar namun jamaahnya banyak.Setiap hari sabtu dan ahad, Masjid Annuha selalu mengadakan kajian rutin. Setelah kajian selesai, para jamaah diberi jamuan. Baik nasi box ataupun prasmanan. Posisi Mas Hasan bisa dibilang susah-susah gampang. Walau hanya seorang marbot, tapi posisinya seringkali terancam. Selalu ada saja orang yang iri. Mungkin karena Bos Deny, crazy rich Bogor sekaligus donatur masjid Annuha begitu royal dan perhatian pada Mas Hasan. Dia juga mempercayakan segala tetek-bengek urusan masjid pada Mas Hasan. Membuat bendahara masjid takut tersaingi.Mas Hasan digaji dua juta lima ratus ribu setiap bulannya dan aku yang mengajar di TPA-nya, digaji satu juta lima ratus. Jumlah yang bisa dibilang lumayan besar. Kami ke sini mengikuti Ustadz Fakhri dan istrinya Ustadzah Farhah. Ustadzah Farhah, putri guru kami semasa tin
Satu minggu berlalu dengan penuh drama. Tubuh mulai sulit menerima asupan makanan. Setiap makan pasti keluar lagi. Belum lagi hidung yang tak bersahabat dengan wewangian. Terutama detergen dan sabun pencuci piring. Tiap kali mencium baunya, perutku mual dan langsung mengeluarkan isinya. Mas Hasan mengambil alih hampir semua pekerjaan rumah. Mulai dari mencuci pakaian dan menjemurnya, mencuci piring,hingga mengepel. Aku hanya memasak saja. Seringkali kulihat Mas Hasan keteteran. Kadang kasihan juga, tapi apa daya tubuh tak bisa diajak kompromi.Malam ini sepulang Mas Hasan dari Masjid, kami pergi ke klinik bidan mandiri terdekat. Sementara aku diperiksa, Mas Hasan dan Khalid menunggu di ayunan ruang tunggu.“Usia berapa, Teh?“ tanya asisten bidan.“24 tahun 1 bulan,“ jawabku.“Kapan hari pertama haid terakhir?“ Aku menggeleng sembari tersenyum nyengir. Jujur saja, aku lupa.“Coba diingat-ingat dulu,“ katanya.Aku berpikir sejenak dan sayangnya aku tidak ingat sama sekali. Aku kembal
Siang ini jadwal mengajar bertambah padat. Ustadzah Farhah dan Ustadz Fakhri ada undangan jadi pemateri di stasiun tv swasta. Jadi, kelas Ustadz Farhah dihandel olehku dan kelas Ustadz Fakhri dihandel oleh Ustadz Maher.Hanya ada empat kelas di TPA Annuha. Saat aku cuti pulang kampung, kelasku dihandel segara bergantian oleh mereka bertiga. Kami, satu sama lain selau berusaha saling memahami. Jika salahsatu di antara kami berhalangan hadir, maka kami siap menggantikan.Sebelum adzan magrib aku dan Khalid baru tiba di rumah. Malam ini Mas Hasan pulang terlambat, karena bakda isya ada kajian rutin akbar khusus ikhwan dengan pemateri seorang ulama besar dari Bandung.Dari empat marbot, hanya Mas Hasan yang dipercaya mengurus dapur masjid. Marbot lain hanya bertugas membagikan makanan saja. Setiap ada sisa makanan, Mas Hasan selalu membagikannya pada siapapun yang dia kehendaki. Semuanya tentu atas wewenang dari Bos Deny.Malam semakin larut. Udara dingin mulai menyergap diri. Kueratkan s
Hujan gerimis dan keheningan menemani perjalanan kami. Aku sibuk memikirkan biaya kuretase, entahlah dengan Mas Hasan. Aku turun di depan gerbang rumah Bu Iroh, sedang Mas Hasan masuk lebih dulu.Saat ke rumah Bu Iroh, Khalid masih terlelap. Kata Bu Iroh, tadi memang sempat bangun, tapi tidur lagi setelah diberi minum.“Jadi gimana Neng? Baik-baik saja kan?“ tanyanya. Aku menghela napas panjang.“Harus dikuret, Bu,“ jawabku sambil menggendong Khalid dengan hati-hati.“Ya Allah ... mana kuretase itu lumayan, Neng, kalau nggak punya bpjs. Di beberapa rumah sakit malah biayanya setara secar,“ kata Bu Iroh. Dia menatapku iba.“Itu dia, Bu. Mana saya nggak ada bpjs.“ Aku menimpalinya seraya tertawa miris. Bu Iroh menatapku sejenak.“Kalau Neng butuh, ibu ada perhiasan. Neng bisa pake dulu,“ katanya sungguh-sungguh. Ada rasa haru saat mendengarnya.“Makasih banyak sebelumnya, Bu. Tapi enggak dulu deh, Bu. Saya ada sedikit tabungan. Semoga saja cukup,“ sahuku.“Aamiin.““Kalau gitu saya pami
Matahari perlahan menyembul dari ufuk timur. Hujan gerimis semalam meninggalkan petrikor yang begitu menyejukkan penciuman.Aku bergegas menyuapi Khalid yang sudah tampan dengan rambut agak basahnya. Mas Hasan tengah berkemas dan menyiapkan beberapa berkas. Hari ini rencananya kami akan menyusuri kota Bogor. Selain mencari klinik atau rumah sakit yang harganya cukup terjangkau, kami juga mencari yang dokter obgynnya perempuan.Saat hendak menyimpan piring bekas Khalid, terdengar ketukan pintu diiringi salam. Mas Hasan menghampiri seraya menjawab salam.“Masya Allah, Ammah, Apa.“Suara Mas Hasan membuatku terbelalak. Aku buru-buru menyusul dan ternyata kejutan tak terduga datang di pagi ini. Ammah dan Appa. Aku segera mencium punggug tangan mereka penuh takzim.“Udah mau berangkat, Teh?“ tanyanya saat aku merangkul Ammah masuk. Sementara Mas Hasan membantu Appa mengeluarkan barang dari angkot.“Iya, Ammah.“ Ammah duduk lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.“Khalid, cucu
Mas Hasan izin ke mushola setelah mengantarku berwudhu. aku mengangguk lalu melaksanakan shalat sambil duduk. Usai shalat, kuraih ponsel di dalam tas. Sembari menunggu Mas Hasan, iseng kubuat status WA.[“Sesungguhnya dosa besar itu atas orang-orang yang telah berbuat zalim kepada manusia dan telah melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka akan mendapat azab yang pedih.“ Qs.Asy-syura :24]Nuri jadi orang yang pertama melihat statusku. Tak lama, dia mengirim balasan.[Nyindir?] balasnya.Aku tersenyum sinis, baguslah kalau dia merasa tersindir. Kubuka aplikasi si biru, membuat akun fake dan bergabung di grup komunitas menulis terbesar se Indonesia. Aku butuh terapi untuk mengurangi kepenatan diri. Setelah disetujui, aku mulai menulis. Hanya sebuah cerpen tentang kedzaliman mertua dan ipar.Dadaku terasa lebih lapang, setelah memuntahkan uneg-uneg di dada dalam bentuk cerpen. Kumatikan data saat Mas Hasan pulang dari mushola. Mataku membelalak saat melihatnya tak datang sendiri, ta
Udara dingin mulai menjamah tubuh. Kunaikkan selimut hingga dada sambil memainkan ponsel. Mas Hasan sudah tidur lebih dulu di bed sebelah. Di ruang Dandelion, rawat inap kelas dua ini ada enam bed dan hanya terisi tiga sehingga Mas Hasan bisa tidur di bed sebelah, seperti suami pasien lain.Kubuka akun fake yang baru dibuat tadi siang. Mataku terbelalak sempurna saat melihat jumlah like, komentar dan share. 11.299 menyukai, 2.119 mengomentari dan 558 membagikan postinganku. Jantung berdebam kencang. Kuscroll layar dengan cepat, membaca komentar dengan sekilas. Banyak yang meminta kelanjutan cerpenku.Aku tersenyum. Tiba-tiba saja aku tertantang untuk mengembangkannya menjadi sebuah cerbung. Biasanya aku hanya membaca saja, menikmati liukkan jari penulis lain. Kali ini aku akan meliukkan jari sendiri. Menumpahkan segala jejal di dada dalam bentuk cerbung. Sebelum itu kuunduh platform kepenulisan. Untuk mengantisipasi sesuatu yang tidak diinginkan.Setelah hampir satu jam, bagian dua pu
Embusan angin masuk melalu jendela yang kubuka. Matahari mulai tenggelam, bersiap menutup hari. Kuarahkan kamera ke spot senja yang paling indah. Lalu menjadikannya status WA tanpa caption. Mas Hasan menghampiriku. Lalu berdiri di sampingku, menatap pemandangan yang sama di bawah sana.“Besok pagi kita pulang,“ katanya tanpa mengalihkan pandangan.malua a“Alhamdulillah,“ sahutku bahagia.“Dek, sebenarnya Mas malu,“ katanya sambil menatapku.“Malu? Sama siapa?“ tanyaku.“Sama Ammah sama Appa. Gimana ya perasaan mereka kalau tahu besannya malah senang-senang di saat mantunya dirawat?“ Mas Hasan tersenyum masam. “Kadang Mas heran, Dek. Dari dulu, Mas selalu dituntut sama Mamah. Mulai dari SD sampai SMA, semuanya pilihan Mamah. Saat Mas betah kerja di restoran, Mamah menyuruh Mas merantau ke luar negeri karena katanya gaji di resto nggak cukup buat biaya Bapak dan adek-adek. Terus sisa gaji Mas, Mamah beliin tanah dan lucunya lagi semuanya atas nama Mamah. Kemarin Mas sih mikirnya ya s