Udara dingin mulai menjamah tubuh. Kunaikkan selimut hingga dada sambil memainkan ponsel. Mas Hasan sudah tidur lebih dulu di bed sebelah. Di ruang Dandelion, rawat inap kelas dua ini ada enam bed dan hanya terisi tiga sehingga Mas Hasan bisa tidur di bed sebelah, seperti suami pasien lain.Kubuka akun fake yang baru dibuat tadi siang. Mataku terbelalak sempurna saat melihat jumlah like, komentar dan share. 11.299 menyukai, 2.119 mengomentari dan 558 membagikan postinganku. Jantung berdebam kencang. Kuscroll layar dengan cepat, membaca komentar dengan sekilas. Banyak yang meminta kelanjutan cerpenku.Aku tersenyum. Tiba-tiba saja aku tertantang untuk mengembangkannya menjadi sebuah cerbung. Biasanya aku hanya membaca saja, menikmati liukkan jari penulis lain. Kali ini aku akan meliukkan jari sendiri. Menumpahkan segala jejal di dada dalam bentuk cerbung. Sebelum itu kuunduh platform kepenulisan. Untuk mengantisipasi sesuatu yang tidak diinginkan.Setelah hampir satu jam, bagian dua pu
Embusan angin masuk melalu jendela yang kubuka. Matahari mulai tenggelam, bersiap menutup hari. Kuarahkan kamera ke spot senja yang paling indah. Lalu menjadikannya status WA tanpa caption. Mas Hasan menghampiriku. Lalu berdiri di sampingku, menatap pemandangan yang sama di bawah sana.“Besok pagi kita pulang,“ katanya tanpa mengalihkan pandangan.malua a“Alhamdulillah,“ sahutku bahagia.“Dek, sebenarnya Mas malu,“ katanya sambil menatapku.“Malu? Sama siapa?“ tanyaku.“Sama Ammah sama Appa. Gimana ya perasaan mereka kalau tahu besannya malah senang-senang di saat mantunya dirawat?“ Mas Hasan tersenyum masam. “Kadang Mas heran, Dek. Dari dulu, Mas selalu dituntut sama Mamah. Mulai dari SD sampai SMA, semuanya pilihan Mamah. Saat Mas betah kerja di restoran, Mamah menyuruh Mas merantau ke luar negeri karena katanya gaji di resto nggak cukup buat biaya Bapak dan adek-adek. Terus sisa gaji Mas, Mamah beliin tanah dan lucunya lagi semuanya atas nama Mamah. Kemarin Mas sih mikirnya ya s
Seminggu berlalu begitu cepat. Kujalani aktifitas seperti biasa. Selain mengajar, kegiatanku bertambah. Aku mulai menekuni dunia kepenulisan. Cerbungku bisa dibilang laris manis. Pundi-pundi rupiah mulai terlihat. Aku punya mimpi tinggi, bisa punya rumah dari hasil menulis. Walau sepertinya sulit, mengingat tulisanku tak seindah penulis lain. Kulirik Mas Hasan yang tidur begitu nyenyak. Kemarin ada rutinan akbar bakda isya sampai subuh dan mengharuskan Mas Hasan pulang terlambat. Sekitar pukul delapan pagi, dia baru pulang. Padahal tadinya, aku ingin mengajak dia jalan-jalan ke depan, mumpung hari libur. Cari tempat yang cocok dijadikan kios martabak. Sekitar pukul sepuluh, Mas Hasan bangun. Dia bergegas membersihkan diri dan melaksanakan shalat dhuha. Usai shalat dhuha, Mas Hasan merebahkan tubuh di samping Khalid yang baru saja terlelap. “Ini yang tidur kek di shift. Tadi Abbanya sekarang anaknya,“ ucapku. Mas Hasan hanya tergelak sambil memainkan ponsel. “Tadinya aku mau ngajak
Kami berangkat ke Cianjur setelah shalat subuh. Tak ada buah tangan yang kubawa seperti biasanya. Setelah menghabiskan hampir dua jam perjalanan, kami tiba di kampung halaman Mas Hasan. Di halaman rumah Mamah, sudah ada beberapa motor. Aku turun lebih dulu sambil menuntut Khalid, sedangkan Mas Hasan memarkirkan motor ke dekat pohon jambu air. Semuanya keluarga Mas Hasan sudah berkumpul. Bukan hanya adik dan iparnya, tapi Uwak, bibi dan pamannya pun ada. Duduk tak jauh dari Bapak yang terlelap di kasur depan tv. Saat kami masuk, mereka hanya memandang datar. Aku segera menyalami mereka dengan malas. Mamah menatapku sinis, saat aku menyalaminya. Aku memilih acuh dan langsung menghampiri Uwak Piah di dapur. “Kirain nggak bakalan datang,“ katanya saat aku menyalaminya. “Males sih, Wak. Tapi kasihan Mas Hasan,“ jawabku. “Iya pasti, Teh. Sebagai seorang istri kadang kita dituntut mengedepankan suami daripada ego sendiri.“ Aku membantu Uwak menghidangkan minuman dan cemilan. Tak lama,
Sesampainya di rumah sakit, Bapak langsung mendapatkan perawatan serius. Mungkin karena melihat badan Bapak yang kuyu juga matanya yang begitu cekung. “Sudah berapa hari muntabernya?“ tanya dokter. Aku mengernyit bingung.“Ma-maaf, Dok. saya nggak tahu. Saya mantunya dan baru ke sini tadi pagi,“ jawabku jujur. Dokter hanya membulatkan bibirnya.Bapak dibawa ke ruang inap kelas tiga. Siang ini aku menjaganya sendiri karena Mas Hasan ke puskesmas, meminta surat rujukan.“Bapak mau makan? Atau mau apa? Biar Hanna carikan.“ Kuuraikan keheningan di antar kami.“Enggak usah, Teh. Tapi kalau nggak keberatan, Bapak pengen jus,“ jawabnya.“Jus apa, Pak?““Jus alpukat.“ Bapak menjawabnya dengan antusias.“Baik. Hanna turun dulu, ya.“Bapak mengangguk sambil tersenyum. Aku segera meraih kartu identitas dan dompet, lalu melangkah ke luar.“Teh ...“ Aku menoleh sejenak.“Terimakasih banyak,“ ucap Bapak dengan wajah sumringah. Aku mengangguk lalu melangkah dengan cepat. Selain membeli jus, aku j
Malam ini kuputuskan menginap di rumah Uwak Piah. Aku sedang malas berdebat. Sedangkan jika pulang ke rumah Mamah, sudah dipastikan bendera perang akan berkibar. Ditambah lagi Khalid lebih betah di sini. Di sini dia tak rewel seperti di rumah Mamah.Hanya ada kami bertiga di rumah Uwak Piah. Uwak Ayi ada undangan mendadak, mengisi pengajian di daerah Cianjur Selatan. Sebelum tidur kami bercerita banyak hal termasuk kondisi Bapak dan sawah yang akan dijual. Uwak Piah sampai geleng-geleng kepala saat kuceritakan Hadi yang enggan menemui Bapak dengan alasan tak enak perut.“Kang Yusup--Bapak mertuaku--beruntung punya Hasan sama kamu. Setahu Uwak, emang Hadi, Haikal sama Ningrum memang cuek. Teh Aas ... jangan ditanya. Mana mau dia layani Kang Yusup. Uwak Ayi sudah sering nasihatin adiknya itu, tapi cuma masuk kuping kanan, keluar kuping kiri.“ Uwak Piah mengomentari.“Padahal sudah renta begini, ya harusnya mengayomi. Istri harus lebih ngertiin suami, jangan lagi nuntut lebih,“ lanjutnya
Berita lakunya sawah Bapak sepertinya sudah sampai ke telinga Mamah dan ketiga adik Mas Hasan. Setelah shalat maghrib, mereka datang ingin membesuk Bapak. Namun sayang, Bapak tidak mengizinkan mereka masuk. Mas Hasan menahan mereka di luar, dengan alasan besok Bapak sudah diperbolehkan pulang. Bapak memang sudah mengantongi izin pulang. Kondisinya semakin baik, tubuhnya pun tidak sekuyu sebelum dirawat. Pagi-pagi, aku dan Mas Hasan mulai berkemas. Bapak yang sudah rapih duduk di tepian ranjang sambil menatap kantong keresek di hadapannya. Kantong berisi uang seratus juta. Rencananya uang sebagian uang itu akan Bapak bayarkan langsung pada Bibi Nisa, adik ipar Mamah. Supaya Mamah tidak lagi berbuat seenaknya. Kami pulang menggunakan taksi online. Malam tadi motor Mas Hasan sudah dibawa pulang Haikal. Sepanjang perjalanan, Bapak menceritakan uang penjualan sawah. Bapak ingin menghibahkan uang itu. Kami tak melarang, yang penting Bapak menggunakannya untuk hal yang bermanfaat.Keluarga
Uang hibah dan sedekah disalurkan sore hari. Mas Hasan sudah berangkat ke masjid dan pesantren yang sedang dibangun. Bapak mempercayakannya pada aku dan Mas Hasan dengan dibumbui sedikit drama. Mamah dan ketiga ipar agak keberatan. Mamah malah dengan terang-terangan berburuk sangka, saat aku hendak membagikan uang ke tetangga yang fakir miskin, dhuafa dan para asatidz di kampung ini.“Orang miskin itu lebih mudah dirayu setan. Nggak nutup kemungkinan, nanti pas penyaluran, dia masukin sebagian ke sakunya.“Mamah berkata seperti itu dengan wajah menyeringai. Rika dan Nuri pun tersenyum puas. Jangan tanya bagaimana aku. Dadaku jejal, amarah mulai naik ke ubun-ubun. Rasanya ingin kuremas lambe tajam ibu mertuaku itu.“Kenapa diem? Kesindir, ya? Baguslah kalau kamu tersindir.“Mamah kembali menyulut emosi. Aku hanya mendengkus, menatapnya dengan datar, menyelami isi mata tuanya.“Udahlah biar Nuri aja yang bagiin. Nuri kan amanah.“ Nuri menimpali. Senyuman dan tatapannya seakan mengejekku