Kami berangkat ke Cianjur setelah shalat subuh. Tak ada buah tangan yang kubawa seperti biasanya. Setelah menghabiskan hampir dua jam perjalanan, kami tiba di kampung halaman Mas Hasan. Di halaman rumah Mamah, sudah ada beberapa motor. Aku turun lebih dulu sambil menuntut Khalid, sedangkan Mas Hasan memarkirkan motor ke dekat pohon jambu air. Semuanya keluarga Mas Hasan sudah berkumpul. Bukan hanya adik dan iparnya, tapi Uwak, bibi dan pamannya pun ada. Duduk tak jauh dari Bapak yang terlelap di kasur depan tv. Saat kami masuk, mereka hanya memandang datar. Aku segera menyalami mereka dengan malas. Mamah menatapku sinis, saat aku menyalaminya. Aku memilih acuh dan langsung menghampiri Uwak Piah di dapur. “Kirain nggak bakalan datang,“ katanya saat aku menyalaminya. “Males sih, Wak. Tapi kasihan Mas Hasan,“ jawabku. “Iya pasti, Teh. Sebagai seorang istri kadang kita dituntut mengedepankan suami daripada ego sendiri.“ Aku membantu Uwak menghidangkan minuman dan cemilan. Tak lama,
Sesampainya di rumah sakit, Bapak langsung mendapatkan perawatan serius. Mungkin karena melihat badan Bapak yang kuyu juga matanya yang begitu cekung. “Sudah berapa hari muntabernya?“ tanya dokter. Aku mengernyit bingung.“Ma-maaf, Dok. saya nggak tahu. Saya mantunya dan baru ke sini tadi pagi,“ jawabku jujur. Dokter hanya membulatkan bibirnya.Bapak dibawa ke ruang inap kelas tiga. Siang ini aku menjaganya sendiri karena Mas Hasan ke puskesmas, meminta surat rujukan.“Bapak mau makan? Atau mau apa? Biar Hanna carikan.“ Kuuraikan keheningan di antar kami.“Enggak usah, Teh. Tapi kalau nggak keberatan, Bapak pengen jus,“ jawabnya.“Jus apa, Pak?““Jus alpukat.“ Bapak menjawabnya dengan antusias.“Baik. Hanna turun dulu, ya.“Bapak mengangguk sambil tersenyum. Aku segera meraih kartu identitas dan dompet, lalu melangkah ke luar.“Teh ...“ Aku menoleh sejenak.“Terimakasih banyak,“ ucap Bapak dengan wajah sumringah. Aku mengangguk lalu melangkah dengan cepat. Selain membeli jus, aku j
Malam ini kuputuskan menginap di rumah Uwak Piah. Aku sedang malas berdebat. Sedangkan jika pulang ke rumah Mamah, sudah dipastikan bendera perang akan berkibar. Ditambah lagi Khalid lebih betah di sini. Di sini dia tak rewel seperti di rumah Mamah.Hanya ada kami bertiga di rumah Uwak Piah. Uwak Ayi ada undangan mendadak, mengisi pengajian di daerah Cianjur Selatan. Sebelum tidur kami bercerita banyak hal termasuk kondisi Bapak dan sawah yang akan dijual. Uwak Piah sampai geleng-geleng kepala saat kuceritakan Hadi yang enggan menemui Bapak dengan alasan tak enak perut.“Kang Yusup--Bapak mertuaku--beruntung punya Hasan sama kamu. Setahu Uwak, emang Hadi, Haikal sama Ningrum memang cuek. Teh Aas ... jangan ditanya. Mana mau dia layani Kang Yusup. Uwak Ayi sudah sering nasihatin adiknya itu, tapi cuma masuk kuping kanan, keluar kuping kiri.“ Uwak Piah mengomentari.“Padahal sudah renta begini, ya harusnya mengayomi. Istri harus lebih ngertiin suami, jangan lagi nuntut lebih,“ lanjutnya
Berita lakunya sawah Bapak sepertinya sudah sampai ke telinga Mamah dan ketiga adik Mas Hasan. Setelah shalat maghrib, mereka datang ingin membesuk Bapak. Namun sayang, Bapak tidak mengizinkan mereka masuk. Mas Hasan menahan mereka di luar, dengan alasan besok Bapak sudah diperbolehkan pulang. Bapak memang sudah mengantongi izin pulang. Kondisinya semakin baik, tubuhnya pun tidak sekuyu sebelum dirawat. Pagi-pagi, aku dan Mas Hasan mulai berkemas. Bapak yang sudah rapih duduk di tepian ranjang sambil menatap kantong keresek di hadapannya. Kantong berisi uang seratus juta. Rencananya uang sebagian uang itu akan Bapak bayarkan langsung pada Bibi Nisa, adik ipar Mamah. Supaya Mamah tidak lagi berbuat seenaknya. Kami pulang menggunakan taksi online. Malam tadi motor Mas Hasan sudah dibawa pulang Haikal. Sepanjang perjalanan, Bapak menceritakan uang penjualan sawah. Bapak ingin menghibahkan uang itu. Kami tak melarang, yang penting Bapak menggunakannya untuk hal yang bermanfaat.Keluarga
Uang hibah dan sedekah disalurkan sore hari. Mas Hasan sudah berangkat ke masjid dan pesantren yang sedang dibangun. Bapak mempercayakannya pada aku dan Mas Hasan dengan dibumbui sedikit drama. Mamah dan ketiga ipar agak keberatan. Mamah malah dengan terang-terangan berburuk sangka, saat aku hendak membagikan uang ke tetangga yang fakir miskin, dhuafa dan para asatidz di kampung ini.“Orang miskin itu lebih mudah dirayu setan. Nggak nutup kemungkinan, nanti pas penyaluran, dia masukin sebagian ke sakunya.“Mamah berkata seperti itu dengan wajah menyeringai. Rika dan Nuri pun tersenyum puas. Jangan tanya bagaimana aku. Dadaku jejal, amarah mulai naik ke ubun-ubun. Rasanya ingin kuremas lambe tajam ibu mertuaku itu.“Kenapa diem? Kesindir, ya? Baguslah kalau kamu tersindir.“Mamah kembali menyulut emosi. Aku hanya mendengkus, menatapnya dengan datar, menyelami isi mata tuanya.“Udahlah biar Nuri aja yang bagiin. Nuri kan amanah.“ Nuri menimpali. Senyuman dan tatapannya seakan mengejekku
Jenazah Bapak sudah dikebumikan. Semua keluarga ikut, kecuali aku dan Uwak Piah. Mas Hasan dan Uwak Ayi melarang kami ikut dengan alasan yang dilandasi dalil kuat tentunya.Acara tahlilan akan diadakan sampai tujuh hari ke depan. Mamah mempercayakan semuanya pada Bibi Nisa. Padahal jika melihat pengalaman, Uwak Piah lebih pengalaman darinya. Sepulang dari pemakaman Bapak, Mamah mengumpulkan anak dan mantu. Membahas uang untuk biaya tahlilan. Aku mengernyitkan kening, karena seingatku, uang duka pun lumayan banyak. Ada sekitar tiga belas juta, tapi kenapa Mamah seolah tak ingin menggunakan uang itu?“Mamah mau kalian patungan lima juta buat biaya tahlilan Bapak,“ kata membuat netra Hadi, Haikal dan Ningrum membelalak tak percaya.“Apa nggak terlalu besar, Mah?“ tanya Hadi pelan.“Enggaklah. Lah oranglain kalau tahlilan dimintanya sepuluh juta ke atas,“ jawab Mamah. Hadi menggaruk kepalanya kasar.“Ning nggak bisa patungan sebanyak itu, Mah. Ning kan pengen bangun rumah,“ kata Ningrum
“Jadi gimana lanjutan hubungan anak kita, Teh Aas? Aku nggak mau loh kalau rencana kita gagal.“ Kata seorang perempuan yang kuyakini Ibunya Yanti. “Iya nih Teh Aas, Yanti ampe bela-belain perawatan wajah, gemukin badan. Pokoknya harus sampe jadi. Yanti nggak mau usaha Yanti sia-sia,“ sahut Si Janda Menor. “Aduh gimana ya, Saya juga sudah berusaha sekuat tenaga. Sudah minta bantuan Abah Mumuh juga, tapi masih belum terlihat hasilnya.“ Kali ini Mamah yang menyahut. Siapa Abah Mumuh? Kenapa Mamah minta bantuannya? “Kalau nggak berhasil terus mah, gampang Teh.“ Nuri membuka suara. “Gampang gimana?“ tanya Mamah. “Tinggal pasang susuk. Jadi deh,“ jawab Nuri. “Susuk itu haram, Nuri!“ seru Rika. Terdengar tawa Nuri berderai. “Ning punya ide, Mah,“ kata Ningrum. “Apa?“ “...“ *** Aku menendang botol bekas air mineral agar obrolan mereka berhenti. Benar saja, obrolan berhenti dan mereka lantas menoleh. Setelah itu lekas lari bersembunyi di dekat lemari pajang. “Teh Hanna, lagi n
Hasan POVKami tiba di Bogor sekitar pukul satu siang. Cuaca Bogor siang ini begitu panas. Khalid agak rewel sebelum kipas kunyalakan. Kubuka ponsel yang sedari tadi berbunyi. Ningrum memasukkanku ke grup ’Yusup family’.Grup yang sebulan lalu kutinggalkan karena anggotanya terang-terangan menghina Hanna, istriku. Selain aku, ada juga nomor baru yang Ningrum masukkan. Nomornya Yanti. Janda tiga puluh sembilan tahun itu seperti tak punya urat malu. Selalu wara-wiri di keluarga kami. [Assalamualaikum, selamat bergabung Mbak Ipar] tulis Rika. [Waalaikumussalam, Dek ipar. Makasih sambutannya.] balas Yanti.Masih ada Ningrum dan Nuri yang sedang mengetik. Melihat pesan yang dikirim mereka saja aku sudah tak berminat, apalagi harus aktif berbalas pesan. Hanna masuk dengan membawa tiga buat nasi box. Setelah meletakkannya di meja, Hanna menutup pintu. Membuka niqob dan khimarnya. Senyumku sontak mengembang sempurna. Aku paling suka kalau Hanna menggerai rambut hitam legamnya.“Gerah bange