“Hanna ... Maafkan Mamah, Nak.“Aku hanya bergeming mendengar permintaan lemah dari bibir Mamah. Cukup lama terdiam, hingga akhirnya kepala ini pun mengangguk pelan tapi bibir seakan terkunci.“Mamah janji, akan berubah. Takkan termakan lagi omongan Ningrum. Kamu terbaik, Hanna. Mantu terbaik Mamah dan istri yang luar biasa untuk Hasan,“ sambungnya.Aku hanya tersenyum tipis. Lalu mengusap pelan punggung tangan Mamah.“Mamah istirahat, ya. Aku mau ke luar dulu nemuin Ustadzah Halimah sama yang nganter kita ke sini,“ balasku.“Iya, Nak. Maafkan Mamah, ya.““Sudah aku maafkan, Mah.“Dengan langkah panjang, aku menghampiri Ustadzah Halimah dan lelaki yang tadi bersamanya. Ustadzah Halimah langsung berdiri begitu melihatku berjalan ke arahnya.“Gimana keadaan Bu Aas, Neng?“ tanyanya.“Alhamdulillah sudah siuman, Ustadzah,“ jawabku.“Boleh Ustadzah tengok?“ “Boleh, Silahkan,“ jawabku.Ustadzah Halimah mengangguk. Lalu menoleh pada lelaki yang sedari tadi hanya bergeming.“Zayn, Ummi mau k
Aku mengernyit saat mendengar deru mobil Mas Hasan. Setelah merebahkan si Kembar, aku buru-buru melangkah ke luar dan mendapati Mas Hasan juga Mamah berdiri di teras dengan senyuman lebar.”Mas, kok sudah pulang?” tanyaku. Mengingat baru tiga jam mereka pergi. Seharusnya mereka baru sampai di Cianjur. Mas Hasan tak menjawab. Dia hanya tersenyum dan menghampiriku. Lalu merangkul bahuku.”Masuk, yuk!” ajaknya. Aku diam, tapi tak menolak saat tubuhku digiring masuk.”Mas ...” ucapku saat dia mendudukanku. Tapi terhenti karena Mas Hasan menaruh telunjuknya di bibirku.”Tunggu Mamah dulu,” katanya. Aku mengangguk walau hati rasanya kebat-kebit. Pikiranku sibuk menerka apa kiranya yang membuat Mas Hasan dan Mamah tak jadi ke Cianjur.”Assalamualaikum,” ucap Mamah yang baru masuk. Entah apa yang dilakukannya hingga tak langsung keluar dari mobil.”Waalaikumussalam.” Aku dan Mas Hasan menjawab serempak. Lalu beliau pun duduk di samping Mas Hasan, berhadapan denganku.”Kenapa nggak jadi, Mas,
”A-aku nggak tau, Mas.” Aku menjawab sejujurnya, dan memang baru sadar juga. Kenapa Zayn bisa mengenaliku setelah cukup lama kami tak bertemu.”Oh mungkin dari Ustazah Halimah ya, Dek?” ujar Mas Hasan. Aku langsung memalingkan wajah.”Iya mungkin,” jawabku, ”sudahlah, kok jadi mikirin dia sih? Mending tidur lagi, yuk! Ngantuk banget nih.””Ayo, Dek.”Mas Hasan menyahut sambil menempelkan tubuh kami. Namun belum sempat mata ini terpejam, terdengar suara tangisan si kembar yang memekakan telinga. ”Astagfirullahal adziim ...” Aku meraup wajah dengan kasar, dan hendak turun. Namun Mas Hasan menahanku.”Biarin Mas saja. Adek tidur saja,” katanya.”Tapi, Mas—””Tidur, ya! Kamu pasti capek banget,” potongnya cepat. Aku pun mendengkus pelan, dan menurut. Karena memang kepala terasa berat.Aku terbangun saat mendengar suara Mas Hasan yang bersahutan entah dengan siapa. Setelah membersihkan diri dari hadats besar, aku pun lantas keluar untuk menghampiri si kembar. Tapi mendadak langkah kaki te
BMK 67Semenjak kehadiran Zayn, aku jadi sering dihantui ketakutan. Bayangan-bayangan yang seharusnya tak kuingat lagi, mendadak bermunculan. Mengganggu aktifitas serta tidur nyenyakku.”Mas perhatikan akhir-akhir ini Adek sering melamun. Adek ada masalah?” tanya Mas Hasan sambil menatapku lekat-lekat. Aku yang tengah menikmati mie ayam pun untuk sesaat berhenti mengunyah. Sibuk mengolah alasan yang tepat. Tak mungkin kan kukatakan kalau aku ... Ah, sudahlah.”Aku lagi pusing aja, Mas,” jawabku yang pada akhirnya langsung kusesali. Kenapa menjawab seperti itu? Nanti bisa saja Mas Hasan pasti bertanya lagi kan?”Pusing kenapa, Dek?”Tuh kan benar? Aku tersenyum kaku. Sebelum akhirnya bergelayut di lengannya.”Nggak tau, Mas. Mungkin efek beradaptasi punya bayi kembar,” jawabku sekena. Mas Hasan membulatkan bibir. Ah, semoga saja dia mempercayai jawabanku.”Mau jalan-jalan?”Penawarannya membuatku cukup tersentak. Tapi tak membuatku begitu tertarik. Aku tertawa garing. lalu menggeleng
“Loh ... Teteh dari mana? Kok belum ganti baju?“ tanya Bibi Nani—istri paman suamiku—saat aku masuk ke ruang keluarga. Dimana para perempuan di keluarga Mas Hasan—suamiku—tengah sibuk mematut penampilan masing-masing. Hari ini, Ningrum adik iparku akan menikah. Seperti lumrahnya, semua perempuan yang terlibat dalam acara akan dirias dan mengenakan seragam tapi tidak denganku.“Hanna nggak bakalan pake seragaman, nggak bakalan dirias juga. Dia punya anak kecil, Riweuh,“ jawab Mamah mertuaku. Beliau baru selesai dirias. Bulu mata anti badai membuat matanya terlihat seperti orang kelelahan. Belum lagi shading hidung yang bentuknya tak tepat, membuat penampilan Mamah jadi agak aneh.“Iya, Bi. Lagian susah juga kan, Teh Hanna sehari-hari pake gamis. Sedangkan seragaman kan kebaya dan rok jarik. Jadi nggak bakalan cocok,“ sahut Rika—istri Hadi, adik dekat Mas Hasan. “Betul. Pasti aneh kalau Teh Hanna pake seragaman kek gini.“ Nuri—istri Haikal, adik kedua Mas Hasan—ikut menimpali seraya t
“Ya ampun, Teh ... Santai aja kali. Tenanglah, aku nggak bakalan berbuat yang tidak-tidak kecuali kalau Teteh yang minta,“ katanya. Adik ipar pertamaku ikut tersenyum miring lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. “Mamah nyuruh Teteh ke warung,“ lanjutnya. “Ngapain?“ tanyaku dengan alis bertaut. “Beli rokok sama kopi. Sekalian beli cinta buat aku,“ katanya terkekeh membuat ulu hatiku mual seketika. Candaannya itu tidak lucu sama sekali. “Yasudah simpan uangnya di atas meja,“ ujarku ketus. Hadi tersenyum lalu mengulurkan uangnya. “Nggak ah, aku maunya Teteh ambil langsung dari tanganku,“ katanya membuat gigiku gemeretuk. “Oke, tapi setelah itu aku mau pukul kamu pake ini.“ Aku mengayun-ayun raket nyamuk dan berhasil membuat mengumpat. Dengan wajah ditekuk dia menyimpan uang itu lalu melenggang dari kamarku. Alhamdulillah ... Selamat. . “Dari mana dulu, Dek?“ tanya Mas Hasan saat kulabuhkan bobot di sampingnya. “Ke warung disuruh beli rokok sama kopi,“ jawabku. Mas Hasan
“Jangan bosen berdoa, ya. Haqqul yakin, suatu saat Allah akan mengabulkan doamu,“ kata Uwak Piah. Saat tengah menikmati jamuan Uwak Piah, terdengar deru suara motor. Kami saling pandang dan menyorot sosok yang mengendarai motor matic milik Ningrum. Aku melongo saat melihat Mas Hasan datang menjemput. Dia segera menghampiri kami yang kini tengah menikmati bakso. “Khalid mana?“ tanyanya sambil mencocolkan mangga muda ke sambal rujak.“Khalid tidur. Awas, jangan dibangunkan. Kasihan dia,“ jawab Uwak Piah.“Yaah ... Padahal Ningrum ngajakin foto bareng.“Aku terbatuk saat mendengarnya. Uwak Piah segera memberiku air, “hati-hati,“ katanya sambil melirikku cemas.“Serius, Mas?“ tanyaku dengan mata membulat sempurna. Mas Hasan mengangguk.“Kalau begitu biar Aku bangun—““Jangan ah, kasihan.“ Uwak Piah memotong. “tapi, Wak ...“Belum selesai aku berbicara, Khalid menangis. Dia berjalan dengan mata setengah terpejam. Mas Hasan segera menangkapnya, lalu menciumi perut Khalid hingga dia tertaw
Kulirik Yanti yang menatap Mas Hasan dengan lekat. Sebagai sesama perempuan, dari caranya menatap, aku tahu kalau dia punya perasaan lebih pada Mas Hasan. Beruntung, Mas Hasan tak menanggapi. Suamiku itu khusyu melahap sambil menyuapi putra kami.Setelah selesai, Ningrum, Rika dan Nuri mengajak Yanti ke ruang tamu. Sementara aku mengumpulkan piring-piring kotor yang berserakan dimana-mana. Kebiasaan mereka, kalau selesai makan enggan tuk sekadar menyimpan piring ke wastafel. Hadi turun membantuku. Dia membereskan makanan yang tersisa. Sementara Mas Hasan pamit menidurkan Khalid. “Teh, kita cuci piring aja sekarang aja gimana?“ Saudara jauh yang belum kutahu namanya bertanya. Aku berpikir sejenak.“Jangan sekarang, Bibi Ndeh. Udah malam, nggak baik buat kesehatan. Mana cucian piringnya juga banyak,“ jawab Hadi yang ternyata sudah berdiri di belakangku.“Sekarang aja yuk, Bi Ndeh.“ Kuhiraukan Hadi yang menatapku dengan mata memicing. Tampaknya dia keberatan dengan perkataanku.Bibi Nd