“Ya ampun, Teh ... Santai aja kali. Tenanglah, aku nggak bakalan berbuat yang tidak-tidak kecuali kalau Teteh yang minta,“ katanya. Adik ipar pertamaku ikut tersenyum miring lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
“Mamah nyuruh Teteh ke warung,“ lanjutnya.
“Ngapain?“ tanyaku dengan alis bertaut.
“Beli rokok sama kopi. Sekalian beli cinta buat aku,“ katanya terkekeh membuat ulu hatiku mual seketika. Candaannya itu tidak lucu sama sekali.
“Yasudah simpan uangnya di atas meja,“ ujarku ketus. Hadi tersenyum lalu mengulurkan uangnya.
“Nggak ah, aku maunya Teteh ambil langsung dari tanganku,“ katanya membuat gigiku gemeretuk.
“Oke, tapi setelah itu aku mau pukul kamu pake ini.“ Aku mengayun-ayun raket nyamuk dan berhasil membuat mengumpat. Dengan wajah ditekuk dia menyimpan uang itu lalu melenggang dari kamarku. Alhamdulillah ... Selamat.
.
“Dari mana dulu, Dek?“ tanya Mas Hasan saat kulabuhkan bobot di sampingnya.
“Ke warung disuruh beli rokok sama kopi,“ jawabku. Mas Hasan menatapku iba lalu mengusap puncak kepalaku.
“Udahlah, Mas. Aku udah biasa, kok,“ cetusku sakras.
**
Prosesi Akad nikah selesai. Ikmal sudah resmi mempersunting Ningrum dengan mahar seperangkat alat shalat dan perhiasan dua puluh gram. Lebih ringan dari permintaan Mamah dan Ningrum saat lamaran dulu.
Ikmal berdiri menyambut Ningrum yang datang diapit Nuri dan Rika. Senyuman tak lepas dari bibirnya. Sementara Mamah hanya menatap datar mantu barunya itu. Sepertinya Mamah kecewa karena mahar tak sesuai dengan permintaannya.
Ningrum terlihat makin dewasa dengan make up tebalnya. Kebaya putih yang dikenakannya pun membentuk tubuhnya yang sintal. Aku yang melihatnya risih sendiri karena bagian dadanya tak tertutup hijab.
Acara inti sudah selesai. Para tamu undangan mulai berdatangan. Fotograper sibuk memberi arahan. Sementara aku hanya berdiri di sudut taman seraya menggendong Khalid. Ada perasaan yang tak bisa diungkapan ketika Mamah melambaikan tangan pada Nuri dan Rika.
“Jangan dulu naik, ini foto keluarga inti.“ Sang fotograper memberi intruksi. Para tamu yang hendak menyalami pengantin sontak berhenti melangkah.
Mamah, Bapak, Pengantin, Nuri dan Rika juga kedua iparku berpose dengan berbagai gaya. Kulihat Bapak berbisik, tapi Mamah tak mengindahkannya.
“Di sini ternyata. Mas nyariin dari tadi.“
Suara Mas Hasan tak membuatku melepaskan pandangan dari mereka. Dia baru kembali dari mengantar penghulu.
“Dek ...“
Panggilnya sambil menatap ke tempat yang sama.
“Kok kita nggak diajak sih, Mas?“
“Mungkin mereka lupa, Dek.“ Mas Hasan mengusap lembut pundakku.
“Bukan lupa, Tapi dilupakan.“
Aku tersenyum getir sembari menahan rasa sakit yang tiba-tiba mendera dada. Mas Hasan menatapku iba. Dia merangkulku, lalu meminta maaf atas nama Mamah.
Sebenarnya lebih kasihan Mas Hasan. Anak kandung pertama tapi tak pernah dianggap. Mamah selalu memandangnya sebelah mata. Padahal dulu, Mas Hasan-lah yang banting tulang membiayai keluarganya. Dia merantau ke Saudi Arabia selama sepuluh tahun, karena Bapak terkena stroke.
Namun sepertinya baik Mamah atau ketiga adiknya lupa akan hal itu. Bahkan saat kami menikah, Mamah hanya memberi mahar lima gram dan seserahan yang sederhana. Padahal uang hasil jerih payah Mas Hasan selama jadi TKI, selalu dikirim ke Mamah.
Mamah juga tak memberi Mas Hasan jatah tanah. Berbeda dengan ketiga adik Mas Hasan. Mereka bukan hanya diberi jatah tanah, tapi juga rumah dan lucunya tanah itu dulunya dibeli dengan gaji Mas Hasan.
Beruntungnya, Mas Hasan tak pernah menggugat. Dia selalu legowo menerima keputusan Mamah. Mas Hasan bilang, gajinya sepuluh tahun tak ada apa-apa jika dibandingkan jasa seorang ibu.
“Kita makan saja yuk, Dek.“ Mas Hasan mengambil alih Khalid dariku. Aku mengangguk, lalu mengikuti langkahnya.
Kami bertiga makan di kamar. Celotehan Khalid, membuat kami tertawa ringan. Usia Khalid baru 2,5 tahun. Masih menggemaskan, tapi sayang tingkah lucunya tak mampu membeli hati sang nenek. Khalidku jarang disentuh oleh neneknya sendiri. Mamah sering memarahi Khalid dan pernah juga membentaknya. Empat hari lalu, Mamah membentaknya di depan para saudara dan tetangga. Hanya karena memainkan potongan daun pisang. Padahal Uwak Piah--istri uwak Mas Hasan--sengaja memberinya, supaya tak menggangguku yang sedang menggoreng kue ali.
“Kita pulang besok yuk, Mas.“ Aku berkata sambil menyuapi Khalid. Mas Hasan menatapku dengan iba, kemudian mengangguk.
**
Sinar matahari kian merangkak naik. Langit semakin membiru, tak terlihat lagi arakan awan-awan. Kutepuk-tepuk pelan punggung Khalid. Dia tak bisa tidur dengan nyenyak karena dentuman musik yang begitu memekakan telinga.
Aku membawanya ke dapur umum yang terletak di antara rumah Mamah dan rumah Nuri. Suasana dapur umum sudah sepi. Para tetangga yang membantu sudah mulai pulang untuk shalat dzuhur.
Aku duduk di saung berlantai papan. Saung bapak buat khusus untuk para saudara dan tetangga yang rewang. Kulantunkan surah Muhammad kesukaan Khalid, berharap dia bisa terlelap dengan nyenyak.
“Teteh ...“
Aku menoleh saat mendengar suara Uwak Piah. Sedari tadi pagi kami memang belum bertemu karena dia pergi dulu ke sekolah mengambil Rapot anaknya.
“Eh, Uwak ... baru datang?“ tanyaku sambil berdiri, mengayunkan Khalid dengan pelan-pelan.
“Enggak, udah dari tadi, Teh. Cuma Uwak jaga dapur. Nyiapin bingkisan, soalnya Bibi Nisa jaga prasmanan,“ jawabnya. Aku hanya mangut-mangut. Memang sudah tradisi di daerah Cianjur, apabila ada saudara yang datang, mereka bukan hanya disuguhi makan tapi juga diberi berbagai macam bingkisan sebagai buah tangan.
Uwak Piah duduk di sampingku. Netranya tertuju pada gamis yang kukenakan.
“Nggak dikasih jatah seragam?“ tanyanya.
Aku menggeleng. Uwak Sopiah mengembuskan napas kasar.
“Mertuamu itu memang aneh. Saudara jauh dikasih, tapi menantunya enggak. Entah gimana pemikirannya,“ katanya dengan geram.
“Enggak apa-apa, Uwak. Lagian Hanna juga nggak biasa pake kebaya sama rok sempit,“ kataku menghibur diri.
“Iya sih. Nggak apa-apalah, Uwak juga pake gamis.“ Uwak Piah memegangi gamis yang dikenakannya.
Dari semua keluarga Mas Hasan, hanya Uwak Piah dan suaminya yang peduli pada kami. Sementara yang lain, aku tak tahu. Karena saat Mamah memarahiku, yang lain hanya saling pandang dan bisik-bisik. Sedangkan Uwak Piah langsung pasang badan. Dia balik memarahi Mamah.
“Itu Khalidnya udah tidur, Teh. Ayo kita ke rumah Uwak, biar Khalid tidur di sana.“ Uwak Piah berkata sambil beranjak berdiri.
**
Rumah Uwak paling sederhana jika dibanding rumah saudara Mamah yang lain. Rumah berdinding geribik, berlantai papan kayu dengan pelataran luas yang ditanami berbagai macam pohon dan tanaman membuatku betah berlama-lama.
Setelah menidurkan Khalid, aku shalat dzuhur. Lalu menikmati rujak pecel yang Uwak buat sembari menikmati angin sepoi-sepoi.
“Uwak harap, Teteh bisa kuat menjalani rumah tangga. Bisa kuat mendampingi Hasan dan bisa kuat menghadapi Mertua yang modelnya pilih kasih kayak Teh Aas—Mamah mertuaku. Kalau Teh Aas marah, jangan didengerin. Kebalin aja telinga. Biarin dia ngoceh sesuka hatinya. Insya Allah, nanti akan ada balasan untuk kesabaran Teteh,“ kata Uwak sambil menatap pohon-pohon mangga yang berbuah lebat.
“Insya Allah. Aamiin. Doain terus ya, Wak. Sebenarnya Hanna udah nggak kuat, Wak. Makan hati Hanna sama sikap Mamah. Tapi kalau lihat Mas Hasan, Hanna nggak tega. Mas Hasan lelaki baik. Kalau Hanna milih pisah, belum tentu juga dapetin yang lebih baik dari Mas Hasan,“ sahutku sambil tertawa sumbang.
Jika bukan karena sikap baik Mas Hasan, tentu aku lebih memilih mundur dari biduk rumah tangga ini. Dari awal pernikahan, Mamah tak pernah bersikap baik padaku. Dia sering memojokanku. Bukan hanya di hadapan keluarganya tapi juga di hadapan orangtuaku sendiriku pun pernah.
“Jangan bosen berdoa, ya. Haqqul yakin, suatu saat Allah akan mengabulkan doamu,“ kata Uwak Piah. Saat tengah menikmati jamuan Uwak Piah, terdengar deru suara motor. Kami saling pandang dan menyorot sosok yang mengendarai motor matic milik Ningrum. Aku melongo saat melihat Mas Hasan datang menjemput. Dia segera menghampiri kami yang kini tengah menikmati bakso. “Khalid mana?“ tanyanya sambil mencocolkan mangga muda ke sambal rujak.“Khalid tidur. Awas, jangan dibangunkan. Kasihan dia,“ jawab Uwak Piah.“Yaah ... Padahal Ningrum ngajakin foto bareng.“Aku terbatuk saat mendengarnya. Uwak Piah segera memberiku air, “hati-hati,“ katanya sambil melirikku cemas.“Serius, Mas?“ tanyaku dengan mata membulat sempurna. Mas Hasan mengangguk.“Kalau begitu biar Aku bangun—““Jangan ah, kasihan.“ Uwak Piah memotong. “tapi, Wak ...“Belum selesai aku berbicara, Khalid menangis. Dia berjalan dengan mata setengah terpejam. Mas Hasan segera menangkapnya, lalu menciumi perut Khalid hingga dia tertaw
Kulirik Yanti yang menatap Mas Hasan dengan lekat. Sebagai sesama perempuan, dari caranya menatap, aku tahu kalau dia punya perasaan lebih pada Mas Hasan. Beruntung, Mas Hasan tak menanggapi. Suamiku itu khusyu melahap sambil menyuapi putra kami.Setelah selesai, Ningrum, Rika dan Nuri mengajak Yanti ke ruang tamu. Sementara aku mengumpulkan piring-piring kotor yang berserakan dimana-mana. Kebiasaan mereka, kalau selesai makan enggan tuk sekadar menyimpan piring ke wastafel. Hadi turun membantuku. Dia membereskan makanan yang tersisa. Sementara Mas Hasan pamit menidurkan Khalid. “Teh, kita cuci piring aja sekarang aja gimana?“ Saudara jauh yang belum kutahu namanya bertanya. Aku berpikir sejenak.“Jangan sekarang, Bibi Ndeh. Udah malam, nggak baik buat kesehatan. Mana cucian piringnya juga banyak,“ jawab Hadi yang ternyata sudah berdiri di belakangku.“Sekarang aja yuk, Bi Ndeh.“ Kuhiraukan Hadi yang menatapku dengan mata memicing. Tampaknya dia keberatan dengan perkataanku.Bibi Nd
Cahaya matahari mulai menyembul dari arah timur saat aku menghangatkan makanan sisa hajatan kemarin. Setelah shalat subuh, aku dan Bibi Ndeh langsung ke dapur umum. Dia membereskan sisa-sisa bumbu, lalu membawanya ke dapur Mamah. “Kalau di sini udah beres, Bibi mau langsung pulang. Kasihan Mang Aden—suaminya—kalau bibi nggak pulang hari ini,“ katanya sambil menyapukan sampah-sampah yang berserakan. Setelah acara selesai, saudara dekat Mamah maupun Bapak tidak ada yang rewang, termasuk Uwak Piah. Sepertinya mereka lelah sudah karena sudah rewang dari jauh-jauh hari.“Alhamdulillah, selesai. Hayu Teh, kita siapin makan. Bibi mau pulang nih,“ ajaknya. Aku mengangguk lalu mematikan kompor. Saat aku dan Bibi Ndeh ke ruang keluarga, Nuri dan Rika sedang asyik nonton berita artis. Mereka menonton sambil ngemil kue-kue sisa hajatan.“Ya Allah, Teh Aas ... Lihat sini Teh!“ Mendengar teriakan Bibi Ndeh, Mamah langsung keluar dari kamarnya. Tangannya sedang memegang amplop dan uang. Sepertin
Setelah makan berjamaah, Bibi Ndeh pamit pulang. Selain memberi bingkisan, Mamah juga memberinya uang. Bibi Ndeh memang pantas menerimanya, karena dia begitu totalitas dalam rewang. Mas Hasan dan Khalid mengantarnya sampai ke terminal.Kulangkahkan kaki ke dapur. Masih ada sedikit pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum pulang ke Bogor.“Hanaaa ... cepat kesini!“Aku segera menghampiri Mamah yang sedang menjejerkan bingkisan dan kakaren hajatan. “Ada apa Mah?“ tanyaku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang keluarga.“Kamu anterin bingkisan dan kakaren, ke sini,“ jawabnya seraya memberikan selembar kertas berisi nama-nama saudara Mamah dan Bapak. “Maaf Mah, nggak bisa. Hanna mau siap-siap.“ Aku menolaknya dengan lembut. Aku dan Mas Hasan memang sudah berencana pulang hari ini. Aku bekerja sebagai pengajar TPA dan Mas Hasan jadi penanggung jawab masjid, lebih tepatnya marbot di Yayasan pendidikan Islam di kota Bogor. Kami sudah terlalu lama izin. Malu jika harus izin lagi
Kususuri jalanan sambil berpikir kemana aku harus pulang. Bisa saja pulang ke Bandung, ke rumah orangtuaku. Tapi Ammah sama Appa pasti curiga. Karena selama empat tahun menikah, aku tak pernah pulang seorang diri. Selalunya pulang dengan Mas Hasan. Mereka pasti bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dan aku tak mau membebani pikiran mereka. “Teteh ... mau ke mana?“ tanya Uwak Piah. Saking fokusnya berpikir, aku sampai lupa kalau ternyata sedang melewati rumah Uwak Piah. Uwak Piah menghampiriku, mengajakku masuk ke rumahnya. “Uwak Ayi mana, Wak?“ tanyaku saat duduk di bangku dapurnya. Uwak Ayi itu suaminya yang juga kakak kedua Mamah, uwaknya Mas Hasan. “Lagi ke pasir, Teh. Kan udah mulai panen cengkeh,“ jawabnya sambil memberiku secangkir susu jahe. Aku hanya membulatkan bibir. “Ayo Teh, diminum. Ini jahenya baru dipanen kemarin. Seger,“ katanya. “Iya, Wak. Hatur nuhun,“ ucapku. Uwak menatap penampilanku sejenak. Lalu menatap Khalid yang kini tertidur di gendongan. “Ada
Matahari mulai menampakan sinarnya dari ufuk timur. Pohon-pohon rindang dengan dedaunan hijaunya masih berbasahkan embun. Kuhangatkan semur daging pemberian Uwak Piah sambil menyalakan mesin cuci.Sementara Khalid sedang duduk di depan tv. Menonton murrotal sambil melahap roti bakar yang kubuat. Usai mengeringkan cucian, kuajak Khalid keluar. Dia duduk di tepian teras sambil bernyanyi lagu anak-anak nabi. Memang belum jelas, tapi aku bisa memahaminya.“Eh, Neng Hanna ... kapan pulang?“ tanya Bu Iroh—pemilik rumah yang kukontrak. Dia menghampiriku. Aku segera menyalaminya.“Kemarin, Bu. Cuma ya itu banyak yang harus dibereskan, jadi belum sempat kemana-mana,“ jawabku. Bu Iroh mangut-mangut. Kemudian duduk di samping Khalid.Di Bogor, kami mengontrak sebuah rumah super minimalis. Hanya ada ruang tamu yang menyatu dengan dengan ruang tv, satu kamar, dapur kecil dan kamar mandi. Di depannya ada teras dan sedikit lahan yang biasa kupakai menjemur pakaian.“Oh iya Neng, satu minggu lalu Mir
Setelah satu bulan lebih ambil cuti, Pagi ini Mas Hasan berangkat ke Masjid Annuha. Masjid dimana Mas Hasan menghabiskan hari-harinya. Masjid yang tak begitu besar namun jamaahnya banyak.Setiap hari sabtu dan ahad, Masjid Annuha selalu mengadakan kajian rutin. Setelah kajian selesai, para jamaah diberi jamuan. Baik nasi box ataupun prasmanan. Posisi Mas Hasan bisa dibilang susah-susah gampang. Walau hanya seorang marbot, tapi posisinya seringkali terancam. Selalu ada saja orang yang iri. Mungkin karena Bos Deny, crazy rich Bogor sekaligus donatur masjid Annuha begitu royal dan perhatian pada Mas Hasan. Dia juga mempercayakan segala tetek-bengek urusan masjid pada Mas Hasan. Membuat bendahara masjid takut tersaingi.Mas Hasan digaji dua juta lima ratus ribu setiap bulannya dan aku yang mengajar di TPA-nya, digaji satu juta lima ratus. Jumlah yang bisa dibilang lumayan besar. Kami ke sini mengikuti Ustadz Fakhri dan istrinya Ustadzah Farhah. Ustadzah Farhah, putri guru kami semasa tin
Satu minggu berlalu dengan penuh drama. Tubuh mulai sulit menerima asupan makanan. Setiap makan pasti keluar lagi. Belum lagi hidung yang tak bersahabat dengan wewangian. Terutama detergen dan sabun pencuci piring. Tiap kali mencium baunya, perutku mual dan langsung mengeluarkan isinya. Mas Hasan mengambil alih hampir semua pekerjaan rumah. Mulai dari mencuci pakaian dan menjemurnya, mencuci piring,hingga mengepel. Aku hanya memasak saja. Seringkali kulihat Mas Hasan keteteran. Kadang kasihan juga, tapi apa daya tubuh tak bisa diajak kompromi.Malam ini sepulang Mas Hasan dari Masjid, kami pergi ke klinik bidan mandiri terdekat. Sementara aku diperiksa, Mas Hasan dan Khalid menunggu di ayunan ruang tunggu.“Usia berapa, Teh?“ tanya asisten bidan.“24 tahun 1 bulan,“ jawabku.“Kapan hari pertama haid terakhir?“ Aku menggeleng sembari tersenyum nyengir. Jujur saja, aku lupa.“Coba diingat-ingat dulu,“ katanya.Aku berpikir sejenak dan sayangnya aku tidak ingat sama sekali. Aku kembal