Kususuri jalanan sambil berpikir kemana aku harus pulang. Bisa saja pulang ke Bandung, ke rumah orangtuaku. Tapi Ammah sama Appa pasti curiga. Karena selama empat tahun menikah, aku tak pernah pulang seorang diri. Selalunya pulang dengan Mas Hasan. Mereka pasti bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dan aku tak mau membebani pikiran mereka. “Teteh ... mau ke mana?“ tanya Uwak Piah. Saking fokusnya berpikir, aku sampai lupa kalau ternyata sedang melewati rumah Uwak Piah. Uwak Piah menghampiriku, mengajakku masuk ke rumahnya. “Uwak Ayi mana, Wak?“ tanyaku saat duduk di bangku dapurnya. Uwak Ayi itu suaminya yang juga kakak kedua Mamah, uwaknya Mas Hasan. “Lagi ke pasir, Teh. Kan udah mulai panen cengkeh,“ jawabnya sambil memberiku secangkir susu jahe. Aku hanya membulatkan bibir. “Ayo Teh, diminum. Ini jahenya baru dipanen kemarin. Seger,“ katanya. “Iya, Wak. Hatur nuhun,“ ucapku. Uwak menatap penampilanku sejenak. Lalu menatap Khalid yang kini tertidur di gendongan. “Ada
Matahari mulai menampakan sinarnya dari ufuk timur. Pohon-pohon rindang dengan dedaunan hijaunya masih berbasahkan embun. Kuhangatkan semur daging pemberian Uwak Piah sambil menyalakan mesin cuci.Sementara Khalid sedang duduk di depan tv. Menonton murrotal sambil melahap roti bakar yang kubuat. Usai mengeringkan cucian, kuajak Khalid keluar. Dia duduk di tepian teras sambil bernyanyi lagu anak-anak nabi. Memang belum jelas, tapi aku bisa memahaminya.“Eh, Neng Hanna ... kapan pulang?“ tanya Bu Iroh—pemilik rumah yang kukontrak. Dia menghampiriku. Aku segera menyalaminya.“Kemarin, Bu. Cuma ya itu banyak yang harus dibereskan, jadi belum sempat kemana-mana,“ jawabku. Bu Iroh mangut-mangut. Kemudian duduk di samping Khalid.Di Bogor, kami mengontrak sebuah rumah super minimalis. Hanya ada ruang tamu yang menyatu dengan dengan ruang tv, satu kamar, dapur kecil dan kamar mandi. Di depannya ada teras dan sedikit lahan yang biasa kupakai menjemur pakaian.“Oh iya Neng, satu minggu lalu Mir
Setelah satu bulan lebih ambil cuti, Pagi ini Mas Hasan berangkat ke Masjid Annuha. Masjid dimana Mas Hasan menghabiskan hari-harinya. Masjid yang tak begitu besar namun jamaahnya banyak.Setiap hari sabtu dan ahad, Masjid Annuha selalu mengadakan kajian rutin. Setelah kajian selesai, para jamaah diberi jamuan. Baik nasi box ataupun prasmanan. Posisi Mas Hasan bisa dibilang susah-susah gampang. Walau hanya seorang marbot, tapi posisinya seringkali terancam. Selalu ada saja orang yang iri. Mungkin karena Bos Deny, crazy rich Bogor sekaligus donatur masjid Annuha begitu royal dan perhatian pada Mas Hasan. Dia juga mempercayakan segala tetek-bengek urusan masjid pada Mas Hasan. Membuat bendahara masjid takut tersaingi.Mas Hasan digaji dua juta lima ratus ribu setiap bulannya dan aku yang mengajar di TPA-nya, digaji satu juta lima ratus. Jumlah yang bisa dibilang lumayan besar. Kami ke sini mengikuti Ustadz Fakhri dan istrinya Ustadzah Farhah. Ustadzah Farhah, putri guru kami semasa tin
Satu minggu berlalu dengan penuh drama. Tubuh mulai sulit menerima asupan makanan. Setiap makan pasti keluar lagi. Belum lagi hidung yang tak bersahabat dengan wewangian. Terutama detergen dan sabun pencuci piring. Tiap kali mencium baunya, perutku mual dan langsung mengeluarkan isinya. Mas Hasan mengambil alih hampir semua pekerjaan rumah. Mulai dari mencuci pakaian dan menjemurnya, mencuci piring,hingga mengepel. Aku hanya memasak saja. Seringkali kulihat Mas Hasan keteteran. Kadang kasihan juga, tapi apa daya tubuh tak bisa diajak kompromi.Malam ini sepulang Mas Hasan dari Masjid, kami pergi ke klinik bidan mandiri terdekat. Sementara aku diperiksa, Mas Hasan dan Khalid menunggu di ayunan ruang tunggu.“Usia berapa, Teh?“ tanya asisten bidan.“24 tahun 1 bulan,“ jawabku.“Kapan hari pertama haid terakhir?“ Aku menggeleng sembari tersenyum nyengir. Jujur saja, aku lupa.“Coba diingat-ingat dulu,“ katanya.Aku berpikir sejenak dan sayangnya aku tidak ingat sama sekali. Aku kembal
Siang ini jadwal mengajar bertambah padat. Ustadzah Farhah dan Ustadz Fakhri ada undangan jadi pemateri di stasiun tv swasta. Jadi, kelas Ustadz Farhah dihandel olehku dan kelas Ustadz Fakhri dihandel oleh Ustadz Maher.Hanya ada empat kelas di TPA Annuha. Saat aku cuti pulang kampung, kelasku dihandel segara bergantian oleh mereka bertiga. Kami, satu sama lain selau berusaha saling memahami. Jika salahsatu di antara kami berhalangan hadir, maka kami siap menggantikan.Sebelum adzan magrib aku dan Khalid baru tiba di rumah. Malam ini Mas Hasan pulang terlambat, karena bakda isya ada kajian rutin akbar khusus ikhwan dengan pemateri seorang ulama besar dari Bandung.Dari empat marbot, hanya Mas Hasan yang dipercaya mengurus dapur masjid. Marbot lain hanya bertugas membagikan makanan saja. Setiap ada sisa makanan, Mas Hasan selalu membagikannya pada siapapun yang dia kehendaki. Semuanya tentu atas wewenang dari Bos Deny.Malam semakin larut. Udara dingin mulai menyergap diri. Kueratkan s
Hujan gerimis dan keheningan menemani perjalanan kami. Aku sibuk memikirkan biaya kuretase, entahlah dengan Mas Hasan. Aku turun di depan gerbang rumah Bu Iroh, sedang Mas Hasan masuk lebih dulu.Saat ke rumah Bu Iroh, Khalid masih terlelap. Kata Bu Iroh, tadi memang sempat bangun, tapi tidur lagi setelah diberi minum.“Jadi gimana Neng? Baik-baik saja kan?“ tanyanya. Aku menghela napas panjang.“Harus dikuret, Bu,“ jawabku sambil menggendong Khalid dengan hati-hati.“Ya Allah ... mana kuretase itu lumayan, Neng, kalau nggak punya bpjs. Di beberapa rumah sakit malah biayanya setara secar,“ kata Bu Iroh. Dia menatapku iba.“Itu dia, Bu. Mana saya nggak ada bpjs.“ Aku menimpalinya seraya tertawa miris. Bu Iroh menatapku sejenak.“Kalau Neng butuh, ibu ada perhiasan. Neng bisa pake dulu,“ katanya sungguh-sungguh. Ada rasa haru saat mendengarnya.“Makasih banyak sebelumnya, Bu. Tapi enggak dulu deh, Bu. Saya ada sedikit tabungan. Semoga saja cukup,“ sahuku.“Aamiin.““Kalau gitu saya pami
Matahari perlahan menyembul dari ufuk timur. Hujan gerimis semalam meninggalkan petrikor yang begitu menyejukkan penciuman.Aku bergegas menyuapi Khalid yang sudah tampan dengan rambut agak basahnya. Mas Hasan tengah berkemas dan menyiapkan beberapa berkas. Hari ini rencananya kami akan menyusuri kota Bogor. Selain mencari klinik atau rumah sakit yang harganya cukup terjangkau, kami juga mencari yang dokter obgynnya perempuan.Saat hendak menyimpan piring bekas Khalid, terdengar ketukan pintu diiringi salam. Mas Hasan menghampiri seraya menjawab salam.“Masya Allah, Ammah, Apa.“Suara Mas Hasan membuatku terbelalak. Aku buru-buru menyusul dan ternyata kejutan tak terduga datang di pagi ini. Ammah dan Appa. Aku segera mencium punggug tangan mereka penuh takzim.“Udah mau berangkat, Teh?“ tanyanya saat aku merangkul Ammah masuk. Sementara Mas Hasan membantu Appa mengeluarkan barang dari angkot.“Iya, Ammah.“ Ammah duduk lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.“Khalid, cucu
Mas Hasan izin ke mushola setelah mengantarku berwudhu. aku mengangguk lalu melaksanakan shalat sambil duduk. Usai shalat, kuraih ponsel di dalam tas. Sembari menunggu Mas Hasan, iseng kubuat status WA.[“Sesungguhnya dosa besar itu atas orang-orang yang telah berbuat zalim kepada manusia dan telah melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka akan mendapat azab yang pedih.“ Qs.Asy-syura :24]Nuri jadi orang yang pertama melihat statusku. Tak lama, dia mengirim balasan.[Nyindir?] balasnya.Aku tersenyum sinis, baguslah kalau dia merasa tersindir. Kubuka aplikasi si biru, membuat akun fake dan bergabung di grup komunitas menulis terbesar se Indonesia. Aku butuh terapi untuk mengurangi kepenatan diri. Setelah disetujui, aku mulai menulis. Hanya sebuah cerpen tentang kedzaliman mertua dan ipar.Dadaku terasa lebih lapang, setelah memuntahkan uneg-uneg di dada dalam bentuk cerpen. Kumatikan data saat Mas Hasan pulang dari mushola. Mataku membelalak saat melihatnya tak datang sendiri, ta