Impian? Apa impian Mas Lana yang berhasil aku wujudkan sehingga dia menangis seperti ini?"Mas Lana baik-baik saja?" tanyaku kemudian setelah membiarkannya cukup lama memelukku. Jantungku sudah seperti genderang perang, tak sanggup lagi kutahan."Oh, maafkan Mas, Dek." Mas Lana sepertinya baru sadar apa yang sudah dia lakukan. Cepat-cepat dia melepas pelukannya, dan seketika menjadi salah tingkah.Aku sendiri juga menjadi begitu salah tingkah, sampai tak tahu harus bagaimana. Untuk beberapa lama kami berdua sibuk menata diri kami masing-masing."Mas benar-benar minta maaf, Dek," ucap Mas Lana lagi dengan wajah penuh rasa bersalah. "Pasti Mas sudah membuat Adek takut."Aku tak langsung menanggapi ucapan Mas Lana. Memang benar, selama ini jangankan dipeluk oleh pria, disentuh saja aku pasti akan berteriak karena trauma. Bahkan jika yang melakukannya adalah Papaku sendiri. Tapi ketika merasakan ketulusan Mas Lana, aku justru seperti ingin dia memelukku lebih lama. Ah, bicara apa aku ini?
"Loh, Nduk? Ini maksudnya, Ibu mau diapakan?" tanya Ibu lagi dengan ekspresi wajah yang semakin lucu saja."Sudah, Ibu nikmati saja pokoknya," jawabku sambil tersenyum geli melihat wajah Ibu.Ibu akhirnya pasrah juga ketika para petugas salon mulai memijat pundaknya, membuatnya rileks sesaat. Aku sendiri juga akhirnya fokus memanjakan diri, hal yang sudah beberapa tahun tidak aku lakukan.Setelah melakukan berbagai perawatan diselingi celetukan lucu dari Ibu, akhirnya tiba saatnya kami berdua untuk make over. Ternyata benar ucapan pemilik toko waktu itu, kalau sebenarnya wajah Ibu itu cantik sekali. Kulitnya juga masih putih bersih, cukup mulus pada usianya. Pantas saja wajah Mas Lana juga tampan mirip aktor Korea.Dalam hati lagi-lagi aku berjanji, akan mempertahankan penampilan Ibu seperti ini mulai hari ini. Ibu tidak boleh terlihat lusuh lagi. Setidaknya para tetangga tidak akan lagi meremehkannya ketika aku sudah berhasil membersihkan namanya dari fitnah itu nanti."Masyaa Allah,
Aku tersenyum miris menatap pria yang berdiri di depanku itu. Pria yang sempat mengisi hatiku bertahun-tahun lamanya, selalu memujiku setinggi langit, namun juga menjatuhkannya dalam sekali waktu. Tak banyak yang berubah darinya, masih sama seperti dulu."Aku berjanji, Ra. Suatu saat nanti hubungan kita pasti akan direstui. Aku akan berjuang. Aku pasti akan menikahimu walaupun nyawa ini taruhannya," ucapnya waktu itu meyakinkanku.Malam itu seperti biasa kami berdua diam-diam berjanji untuk bertemu di pinggiran taman kota. Aku ingin memberikan kejutan kecil untuknya, karena hari itu adalah hari ulang tahunnya.Aku duduk sendirian di kursi taman yang amat sepi itu. Sudah lebih dari setengah jam aku menunggu, tapi dia tak kunjung datang. Tidak biasanya dia datang terlambat. Aku mencoba untuk menghubunginya berulang kali, namun nomornya tak kunjung aktif.Aku mulai khawatir, takut terjadi sesuatu padanya. Namun aku masih terus menunggunya, meskipun waktu sudah lewat tengah malam. Kue yan
"Dia ... benar-benar Dara Larasati Atmajaya, Ma?" Nikita menatapku dengan pandangan gusar.Bu Sarah sepertinya tidak bisa lagi berkata-kata. Wajahnya terlihat bingung, dan mungkin juga merasa malu atas sikapnya tadi. Tentu saja, itu karena map yang mereka baca berisi keputusan Papa untuk membatalkan semua kerja sama dengan perusahaan keluarga Sadewa. "Baiklah, Bu. Sepertinya sudah cukup kita menghadiri acara ini," ucapku kemudian pada Ibu. "Ayo kita pulang, Bu.""Iya, Nduk," jawab Ibu. Sepertinya memang Ibu sudah tidak tahan dengan keributan itu, karena pada dasarnya hatinya begitu lemah lembut."Ayo pulang, Mas," ajakku lagi pada Mas Lana."Iya, Dek," jawabnya.Kami bertiga hendak beranjak, tapi Pak Firman seketika menghentikan kami."Tunggu. Tunggu sebentar, Nak Dara," ucapnya padaku. "Saya benar-benar minta maaf atas sikap istri dan putri saya. Tolong, ijinkan kami bicara baik-baik.""Sejak awal kami tidak mengajak ribut loh, Om," jawabku, menatap pria di depanku dengan tajam. "Ka
Rupanya Kyai Ahmad adalah ayah dari Syifa, wanita yang datang mencari Mas Lana waktu itu. Apa Syifa tidak mengatakan pada Ayahnya jika Mas Lana sudah menikah? Bisa-bisanya datang untuk melamar suami orang.Eh, kenapa hatiku merasa begitu tak terima?"Mohon maafkan saya atas permintaan mendadak ini, Bu Aisyah," ucap Kyai Ahmad lagi. "Sebenarnya putri saya Syifa itu sudah meminta saya untuk melamarkan Nak Lana sejak Lama. Syifa sudah menyukai Lana sejak mereka masih sama-sama remaja dulu."Oh, cinta monyet yang berubah jadi gorila? Sejak tadi entah kenapa hatiku kesal sekali mendengar ucapan Pak tua itu. Sesekali kulirik ekspresi wajah Mas Lana yang masih belum hilang dari keterkejutan."Tapi tunggu sebentar, Pak Kyai," jawab Ibu. "Maulana ini sudah menikah. Ini istrinya, Nduk Dara."Ibu memegang lenganku yang sejak tadi duduk di sampingnya."Iya, saya tahu Bu Aisyah. Syifa sudah mengatakannya pada saya," jawab Kyai Ahmad lagi."Jadi ... maksud Pak Kyai ....""Syifa bersedia menjadi ist
"Ayo sarapan, Nduk. Ibu masak sayur asem kesukaan kamu." Ibu terlihat tersenyum ketika aku keluar dari kamar setelah selesai membersihkan diri.Aku berjalan ragu-ragu, masih menahan malu gara-gara kejadian tadi pagi. Aku lalu duduk di kursi kayu tempat biasa kami makan bersama."Lana harus berangkat pagi-pagi karena harus mengantar Papamu ke bandara," ucap Ibu lagi sambil menyendokkan nasi ke dalam piringku, lalu duduk berhadapan denganku.Aroma sayur asem dan sambal terasi yang menyeruak membuatku tak tahan lagi untuk segera memasukkannya ke dalam mulut. Aku begitu menikmati masakan ibu yang sederhana, namun nikmat luar biasa."Ibu kok gak makan? Apa ada sesuatu di wajahku?" tanyaku ketika sadar sejak tadi Ibu menatap terus ke arahku sambil senyum-senyum."Ibu cuma bahagia sekali, Nduk," jawab Ibu.Wajahku seketika memanas. Ini pasti karena tadi pagi aku mandi keramas. Astaga, memalukan sekali rasanya waktu ketahuan Ibu."Ibu senang karena belakangan Nduk Dara sudah tidak berteriak l
"Jadi kalian ini orang suruhan Bu Sarah?" Emosiku memuncak."Benar! Kalian tidak bisa membayar utang kalian pada Bu Sarah, jadi dia meminta kami untuk mengambil kembali rumah ini!" jawab pria bertampang garang itu.Kedua tanganku seketika mengepal. Bu Sarah pasti melakukan ini sebagai balas dendam karena sudah membuatnya malu kemarin. Dan juga karena kami memutuskan kerja sama dengan perusahaan suaminya."Bu Sarah itu bukannya istri sah dari pria yang digoda Aisyah, ya?" Tiba-tiba terdengar suara Bu Dewi menyeletuk."Sepertinya betul, Bu. Wajar kalau dia dendam sekali dengan Aisyah. Wong suaminya digoda wanita lain kok," sahut Bu Siti."Haduh, kalau kayak gini kan kita sebagai warga juga tidak bisa membantu. Wong sudah jelas siapa yang salah."Aku seketika menatap ke arah para tetangga yang ada di sana."Kalau tidak bisa membantu, setidaknya kalian diam!" teriakku.Mereka semua seketika menutup mulut. Aku kembali menatap ke arah para orang suruhan Bu Sarah itu."Lebih baik kalian semu
"Kurang ajar kamu ya, Lana!" Bu Sarah segera berhambur ke arah suaminya, membantunya berdiri.Pak Firman terlihat mengusap ujung bibirnya yang sedikit berdarah. Dia kemudian menatap ke arah putranya."Ada apa ini, Lana?" tanyanya kemudian."Jangan pura-pura tak tahu, Pa!" jawab Mas Lana. "Papa pasti tahu kan, kalau hari ini Bu Sarah mengirim orang untuk merusak rumah kami?""Apa?" Pak Firman membulatkan mata, sepertinya kaget mendengar ucapan Mas Lana."Apa benar yang Lana katakan, Ma?" Pak Firman akhirnya bertanya pada istrinya."Aku hanya minta tolong orang untuk memberitahukan agar mereka pindah, Pa," jawab Bu Sarah."Jangan berdusta, Bu!" sahut Mas Lana. "Gara-gara orang suruhan Bu Sarah, ibu saya terluka parah dan masuk ke dalam rumah sakit!""Aisyah masuk rumah sakit?" Pak Firman lagi-lagi terkejut. "Bagaimana kondisinya sekarang, Lana?""Apa-apaan sih kamu ini, Mas! Jangan percaya omongan mereka begitu saja. Bisa jadi mereka cuma mengarang cerita agar aku kelihatan salah di dep