Share

cemburu

"Masyaa Allah, Nduk Syifa." Ibu terlihat tersenyum menatap wanita cantik di depannya itu.

Oh, rupanya namanya adalah Syifa. Tapi siapa dia? Batinku penasaran.

"Sudah agak lama tidak kelihatan sama sekali. Kemana, Nduk?" tanya Ibu lagi.

"Biasa, Bu. Ke pesantren untuk muroja'ah," jawab Syifa.

"Masyaa Allah, barrakallah." Ibu tersenyum lagi, lalu menoleh padaku.

"Nduk Dara, perkenalkan ini Syifa, anak dari Kyai terkemuka di kampung ini," ucapnya kemudian, memperkenalkan Syifa padaku.

Syifa tampak tersenyum manis, lalu mengulurkan tangannya, menjabat tanganku.

"Ini Nduk Dara, istrinya Lana, mantu Ibu." Giliran Ibu memperkenalkanku padanya.

Namun, saat ibu menyebut kata "istri" dan "mantu", entah kenapa wajah Syifa yang tadinya penuh dengan senyuman, seketika berubah.

"Istri?" ucapnya lirih.

"Iya, Nduk. Lana sudah menikah, dan ini istrinya. Maaf, karena acaranya begitu mendadak dan sederhana, jadi kami tidak mengundang orang," ucap Ibu menjelaskan panjang lebar.

Entah kenapa, seketika wajah Syifa memerah, seperti menahan tangis. Dia seperti berusaha bersikap biasa saja, tapi tak bisa menutupi ekspresi wajahnya.

"Oh iya, Bu. Syifa masak rendang untuk Ibu. Dimakan ya, Bu?" Wanita cantik itu mengulurkan rantang yang dibawanya pada Ibu. "Kalau begitu saya pulang dulu ya, Bu?"

"Loh, kok buru-buru, Nduk? Gak masuk dulu?" Ibu menatap Syifa dengan pandangan heran.

"Lain kali saja, Bu. Hari ini saya harus ke pesantren lagi dengan ayah." Syifa mencium tangan Ibu, lalu cepat-cepat membalikkan badan.

"Terima kasih, Nduk Syifa. Hati-hati."

Aku dan Ibu masih menatap punggung Syifa yang menjauh. Masih bisa kulihat berulang kali wanita itu mengusap wajahnya, meskipun hanya terlihat sekilas dari belakang. Apa dia menangis? Pikirku.

"Nduk Syifa itu gadis yang baik," ucap Ibu setelah Syifa sudah tidak kelihatan lagi. "Ketika para warga di sini sibuk menjelekkan Ibu, hanya dia dan keluarganya yang begitu baik sama Ibu. Dia sering mengantar makanan ke sini untuk Ibu."

"Berarti Syifa dekat juga dengan Mas Lana, Bu?" tanyaku kemudian, yang entah kenapa seperti tercekat di tenggorokan.

"Nggak kok, Nduk. Memang sering bertemu, tapi Lana memang tidak bisa akrab dengan wanita. Ibu bahkan ragu jika Lana itu suatu saat mau jika disuruh menikah," jawab Ibu sambil tersenyum, lalu memegang lenganku. "Alhamdulillah, kamu bisa menaklukkan hati Lana, Nduk."

Aku mengatupkan bibir. Entah kenapa dadaku terasa sesak mendengar itu, meskipun Ibu bilang mereka tidak akrab. Tapi jelas sekali Syifa begitu sedih saat mendengar Mas Lana sudah menikah. Jika dilihat, Mas Lana yang begitu baik hati dan soleh, pasti jauh lebih cocok dengan Syifa yang cantik dan solehah. Hatiku seperti teriris saat membayangkannya.

Ah, apakah aku cemburu?

Pernikahanku dengan Mas Lana tentu tanpa didasari oleh cinta. Meskipun selama ini Mas Lana begitu baik padaku, aku tidak yakin dia mencintaiku. Apalagi sampai sekarang aku masih belum bisa memberikan haknya sebagai suami. Sepertinya aku terlalu percaya diri menyebut diri sendiri istri dari Mas Lana, dan menantu dari Bu Aisyah.

"Nduk, kok malah melamun?" Ibu menepuk pundakku lembut, membuatku tersentak dari lamunan.

"Ah, maaf, Bu." Aku tergagap, menyembunyikan wajahku yang mungkin berubah kusut.

"Nduk Dara marah karena ada wanita yang mencari Lana?" Ibu menatapku dengan pandangan khawatir. "Seharusnya tadi Ibu bilang padanya kalau tidak perlu datang lagi mulai sekarang."

"Nggak kok, Bu." Aku menjawab cepat. "Mana mungkin aku menghalangi orang yang mau berbuat baik sama Ibu. Aku justru senang karena ternyata masih ada orang baik di kampung ini.

"Syukurlah kalau begitu, Nduk." Ibu terlihat tersenyum lega. "Ayo masuk."

Aku mengangguk. Ibu menggandeng tanganku masuk ke dalam rumah. Saat kami baru sampai di depan pintu, ponselku tiba-tiba berdering. Rupanya pesan masuk dari Papa.

[ Papa sudah mendapatkan informasi yang kamu inginkan. Kamu mau Papa meminta Lana menjemputmu? ]

Aku seketika mengetik balasan.

[ Nggak perlu, Pa. Aku akan pulang naik taksi saja. ]

Terkirim. Aku kemudian menatap ke arah Ibu yang juga menatapku sejak tadi.

"Hari ini aku ijin keluar sebentar ya, Bu?" pamitku kemudian.

"Sendirian, Nduk?" Ibu lagi-lagi memasang wajah khawatir.

"Iya, Bu. Gak apa-apa, aku pergi dengan taksi. Nanti mungkin akan pulang dengan Mas Lana," jawabku.

"Syukurlah kalau nanti pulang sama Lana. Kamu mau makan apa, Nduk? Biar ibu masak sebelum kamu pulang," ucap Ibu lagi.

"Gak usah, Bu. Nanti biar aku bawakan makanan untuk Ibu," jawabku lagi.

"Ya sudah, Ibu masuk dulu, ya?"

Aku mengangguk, lalu menatap punggung kurus wanita yang diam-diam sudah mengajarkan banyak hal padaku itu. Tidak ada alasan bagiku untuk cemburu pada orang lain, karena aku harus fokus pada tujuan awalku. Aku ingin membuat Ibu bahagia. Itu saja.

.

.

.

Taksi yang membawaku pulang berhenti tepat di depan pintu gerbang tinggi yang membentengi rumahku. Aku turun setelah membayar, lalu menatap bangunan di depanku. Sejenak aku termenung. Betapa jauh kehidupan yang aku jalani selama ini dengan kehidupan Bu Aisyah dan Mas Lana.

Namun justru saat berada di rumah kayu sederhana mereka, aku menemukan arti hidup yang sesungguhnya. Aku yang merasa hidupku sudah tidak berarti lagi, seperti menemukan semangat baru berkat mereka. Tuhan memang maha adil.

Saat aku masih sibuk dengan lamunan, tiba-tiba gerbang tinggi itu terbuka. Satpam rumah kami sudah berdiri di sana, tersenyum segan.

"Neng Dara kok berdiri saja di sana? Untung saya melihat dari layar CCTV," ucapnya. "Silakan masuk, Neng."

Aku tersenyum tipis, lalu melangkah masuk ke dalam. Berjalan di sepanjang jalan taman yang diam-diam aku rindukan. Entah kapan terakhir kali aku bisa berjalan dengan perasaan bebas seperti ini, setelah hampir tiga tahun mengurung diri dan hanya berharap m4ti.

"Neng Dara." Seorang asisten rumah kami segera membukakan pintu begitu melihatku. "Tuan dan Nyonya besar sudah menunggu Neng Dara sejak tadi."

"Terima kasih, Bik," jawabku sambil melangkah masuk ke dalam rumah.

"Dara, ya Allah!" Mama dan Papa seketika berdiri dari duduknya ketika melihatku.

Mereka pasti juga kaget dengan penampilanku yang sekarang. Aku yang dulunya selalu berpakaian seksi, kini tertutup gamis dan jilbab, yang baru hari ini aku pakai, namun berhasil membuatku nyaman.

"Ma ... Pa ...." Aku menatap ke arah Mama dan Papa dengan hati yang tiba-tiba terasa sesak.

Aku baru sadar betapa jahatnya aku selama beberapa tahun ini. Aku yang selalu berteriak ingin m4ti di depan mereka berdua, pasti amat sangat melukai hati mereka. Aku anak satu-satunya yang mereka besarkan dengan penuh kasih sayang, justru jadi satu-satunya yang menghancurkan perasaan mereka. Jahat sekali aku.

"Dara ...." Ketika Mama memanggil namaku sekali lagi, aku seketika berlari dan berhambur ke pelukannya. Aku menangis sekencang mungkin, meluahkan segala penyesalan.

"Maafkan Dara, Ma ... Pa ....!" raungku.

"Kamu baik-baik saja kan, Nak?" Mama memelukku erat sekali, begitupun dengan Papa yang tangannya terasa mengusap punggungku. "Apa Lana menyakitimu?"

Aku menggeleng, masih dalam pelukan Mama.

"Jangan-jangan ini karena keluarga Sadewa yang kemarin kamu minta informasinya?" tanya Papa kemudian.

Aku perlahan melepas pelukanku dari Mama, lalu menatap kedua orang tuaku lagi. Wajah mereka masih keliatan bingung dengan sikapku. Dan sepertinya, Papa sudah tidak sabar lagi ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Sekarang katakan pada Papa, apa yang keluarga Sadewa itu lakukan padamu?!" tanyanya lantang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status