POV Author"Ada apa ini, Niki, Rafka?" Bu Sarah keluar dari dalam rumahnya ketika mendengar suara keributan di luar rumahnya.Nikita seketika berhambur ke arah Mamanya, mengadu apa yang baru saja dia ketahui."Mas Rafka itu ternyata mantannya Kak Dara, Ma!" ucapnya."Apa?" Bu Sarah seketika melotot ke arah Rafka. "Apa benar itu, Rafka?"Rafka tak menjawab pertanyaan ibu mertuanya. Dia hanya memijit keningnya yang mendadak pening."Itu benar, Ma! Dia bahkan mengaku jika dulu mereka saling mencintai!" ucap Nikita lagi, lagi-lagi merengek seperti anak kecil.Bu Sarah membuang napas kesal, lalu menatap putrinya."Itu kan cuma masa lalu, Nikita! Lagipula, Rafka sekarang itu sekarang sudah menjadi suamimu. Jadi tidak perlu mempermasalahkan hal itu lagi," ucapnya kemudian."Tapi, Ma ....""Sudah, diam kamu!" hardik Bu Sarah lagi, lalu berjalan mendekat ke arah Rafka."Maafkan Nikita, Rafka. Dia itu kadang memang suka kekanak-kanakan. Mama tidak akan mempermasalahkan masa lalumu. Cuma mantan
"Apa yang kamu lakukan di sini, Nikita?" tanya Pak Firman seraya menatap putrinya itu dengan penuh tanya."Ah, tidak, Pa ... hanya tes kesehatan," jawab Nikita gugup."Apakah hasilnya tidak bagus? Wajahmu pucat begitu," ucap Pak Firman lagi, lalu menatap sekeliling. "Rafka tidak menemanimu?""T-tidak, Pa ...." Nikita berusaha untuk bersikap biasa. "Papa sendiri ... sedang apa di sini?"Kali ini, giliran Pak Firman yang sedikit gugup mendengar pertanyaan Nikita."Papa ... juga melakukan tes kesehatan," jawabnya kemudian.Nikita terdiam cukup lama mendengar ucapan Papanya. Apa benar Papanya melakukan tes kesehatan? Dia tidak tahu apa yang terjadi jika Papanya tahu jika diam-diam dia menjalani tes DNA, dan hasilnya ternyata tidak sesuai.Bayangan jika Papanya akan menceraikan Mamanya saat itu juga, dan akan mengusir mereka berdua seketika merasuk ke dalam otaknya. Bukan hanya itu saja. Jika keluarga Rafka tahu jika dia adalah anak hasil hubungan di luar pernikahan ... bisa-bisa .... Tida
"Demi Allah, saya tidak ikhlas dengan tuduhan kalian! Jika memang benar saya yang mengambil uang itu, silakan po--tong kedua tangan saya! Tapi jika ini fitnah, semoga Allah akan mengangkat derajat saya lebih tinggi dari kalian semua!"Aku mengerjapkan mata berulang kali ketika mendengar suara Bu Aisyah, ibu mertuaku, dari luar sana. Aku yang memang tadinya masih terlelap, akhirnya bangkit dan duduk. Kepala masih terasa pusing karena semalam hampir tak bisa tidur. Ini memang baru pertama kalinya aku tidur di rumah mertua, setelah resmi menikah beberapa waktu yang lalu, dan belum terbiasa dengan suasana kampung.Aku meraih ponsel dari samping bantal. Masih jam tujuh pagi. Kenapa ada ribut-ribut di luar sana sepagi ini? Apa ini kebiasaan orang-orang kampung?"Halah! Ngaku saja kamu, Aisyah! Jangankan uang, suami orang saja berani kau curi!" Terdengar suara seorang wanita yang sepertinya sedang memaki ibu.Aku seketika bangun dan berjalan keluar, memastikan apa yang sebenarnya terjadi. T
Aku ... Dara Larasati Atmajaya, putri dan pewaris tunggal dari pemilik perusahaan dengan brand yang menguasai hampir seperempat perekonomian di negeri ini. Nyatanya ... lahir dalam keluarga yang bergelimpang harta tak selalu bisa membuat seseorang bahagia ...."Dara, Papa membawakan calon suami untukmu."Aku memutar kepala perlahan, menatap ke arah pria yang merupakan cinta pertamaku itu. Di sampingnya, terlihat Mama menatap ke arahku dengan pandangan sendu. Pandangan yang setiap hari kulihat sejak kejadian laknat beberapa tahun yang lalu.Persaingan bisnis. Sungguh alasan yang tidak masuk akal seseorang membayar para preman untuk menghancurkan masa depan penerus bisnis saingannya tersebut. Tapi mereka berhasil. Mereka berhasil membuatku hancur dengan merenggut kehormatanku.Bahkan ketika para preman itu tertangkap, para polisi tidak membuat mereka mengakui siapa yang telah membayar mereka. Sedangkan aku yang jadi korban, tak bisa berbuat apa-apa. Kenapa mereka tidak membu--nuhku saja
"Astaghfirullah, Mbak. Tolong jangan mengatakan hal yang tidak benar di depan menantu saya," jawab ibu ketika mendengar ucapan Bu Sarah."Mas Firman memang hanya menikahi saya secara siri, tapi kami menikah lebih dulu dibandingkan dengan kalian," lanjut Ibu lagi. "Lagipula bukannya saya sudah dengan ikhlas meminta talak darinya, meskipun saat itu saya sedang hamil? Kenapa ucapan Mbak Sarah masih seperti itu?""Halah, sok suci kamu, Aisyah. Di mana-mana yang namanya istri siri itu ya pelakor!" sahut Bu Sarah lagi."Ilmu dari mana itu, Bu?" Aku akhirnya menyahut. "Pernikahan siri tetap sah di mata agama.""Kamu masih ingusan, gak usah ikut-ikutan!" Bu Sarah menatapku sengit. "Saya dan Mas Firman sudah lebih dulu dijodohkan. Jadi tetap saja si Aisyah ini pelakor. Sudah cerai pun masih mengemis uang untuk biaya melahirkan. Kamu gak tahu itu, kan?""Mbak, saya sudah berjanji akan menggantinya, dan melunasinya secepatnya," jawab Ibu lagi. "Jadi tolong, jangan bicara lagi tentang masalah kit
"Assalamualaikum."Aku dan Ibu yang masih saling berpelukan dan larut dalam perasaan kami masing-masing, saling tersentak ketika tiba-tiba ada yang mengucap salam."Waalaikumsalam." Kami berdua menjawab hampir bersamaan.Kami seketika menoleh ke arah pintu depan, dan terlihat Mas Lana berdiri di sana, menatap kami dengan pandangan heran."Loh, Lana? Kok kamu jam segini sudah pulang, Nak?" Ibu cepat-cepat mengusap wajahnya, mungkin agar putranya tidak menyadari jika dia baru saja menangis."Apa yang terjadi, Bu?" Mas Lana masih memperhatikan ibunya, lalu beralih menatapku."Ada apa ini, Dek? Mas lihat kalian berdua baru berpelukan, dan Ibu sepertinya menangis?" tanyanya lagi padaku."Gak ada apa-apa, Lana," sahut Ibu cepat. "Kamu sudah makan? Ibu sedang sarapan sama Nduk Dara."Mas Lana terlihat membuang napas, lalu menatap ibunya lagi lebih lekat. Sepertinya dia tak menghiraukan Ibu yang berusaha mengalihkan pembicaraan."Para tetangga mengganggu Ibu lagi?""Ah, nggak kok, Lana. Ibu t
"Nikmati saja, Cantik! Berteriak pun percuma. Tidak akan ada seorangpun yang akan menolong mu!"Suara tawa para ba--jingan itu menggelegar ke seluruh ruangan. Aku mencoba meronta, namun tak bisa. Kedua tangan dan kakiku terikat erat. Mereka juga bahkan menyumpal mulutku agar tidak bisa berteriak. Dan ketika satu-persatu mereka mulai menja--mah tubuh ini, aku hanya bisa menjerit dalam hati. Mengutuk para ba--jingan yang tega melakukan semua ini.Tolong aku, Tuhan! Aku kotor! Aku kotor!..."Dek ... Dek!"Aku tersentak bangun ketika seseorang mengguncang tubuhku. Kurasakan keringat dingin membasahi pelipis dan sekujur tubuuh, napasku memburu. Ternyata lagi-lagi mimpi dari masa lalu. Hampir setiap malam aku seperti ini, hal yang membuatku begitu tersiksa hingga berulang kali mencoba bu--nuh diri."Adek mimpi buruk lagi?" Mas Lana menatap ke arahku dengan pandangan khawatir.Pria bermata teduh itu mengambilkanku segelas air putih, memintaku untuk minum. Aku meneguknya dengan bibir gemetar
"Ternyata memang bener-bener sombong ya, mantunya si Aisyah. Gak punya sopan santun pula sama orang tua," cibir Bu Dewi."Betul itu, Bu Dewi," sahut Bu Siti. "Memangnya dia anak orang kaya, ya? Kan kalau dari kota belum tentu kaya. Saudara saya saja tinggal di kota, tapi rumahnya cuma dua meter persegi, kok.""Jelas itu, Bu Siti. Wong nikah sama Lana aja gak pakek ngadain acara, kok. Cuma ijab qobul doang di masjid.""Gitu aja sok banget mau beli baju sekaligus tokonya. Cih!"Aku membuang napas kesal. Kesabaranku benar-benar jadi setipis tisu menghadapi mulut-mulut julid mereka. Ibu berulang kali mengelus lenganku, melarangku menanggapi ucapan mereka. Tapi kali ini aku benar-benar ingin membuat mereka berdua m4ti kutu."Ada apa sih ini? Kenapa kalian ribut-ribut di depan toko saya?" Tiba-tiba wanita bermata sipit keluar dari dalam toko dan mendelik ke arah kami. Sepertinya dia adalah pemilik toko baju tersebut."Mereka berdua ini yang bikin ribut, Cik. Kalau kami berdua ke sini memang