"Assalamualaikum."
Aku dan Ibu yang masih saling berpelukan dan larut dalam perasaan kami masing-masing, saling tersentak ketika tiba-tiba ada yang mengucap salam."Waalaikumsalam." Kami berdua menjawab hampir bersamaan.Kami seketika menoleh ke arah pintu depan, dan terlihat Mas Lana berdiri di sana, menatap kami dengan pandangan heran."Loh, Lana? Kok kamu jam segini sudah pulang, Nak?" Ibu cepat-cepat mengusap wajahnya, mungkin agar putranya tidak menyadari jika dia baru saja menangis."Apa yang terjadi, Bu?" Mas Lana masih memperhatikan ibunya, lalu beralih menatapku."Ada apa ini, Dek? Mas lihat kalian berdua baru berpelukan, dan Ibu sepertinya menangis?" tanyanya lagi padaku."Gak ada apa-apa, Lana," sahut Ibu cepat. "Kamu sudah makan? Ibu sedang sarapan sama Nduk Dara."Mas Lana terlihat membuang napas, lalu menatap ibunya lagi lebih lekat. Sepertinya dia tak menghiraukan Ibu yang berusaha mengalihkan pembicaraan."Para tetangga mengganggu Ibu lagi?""Ah, nggak kok, Lana. Ibu tadi cuma ....""Jangan bohong, Bu. Benar kan, Dek?" Mas Lana kembali menatapku."Ternyata memang setiap hari seperti itu ya, Mas?" Aku balik bertanya padanya.Tatapan mata pria berjanggut tipis itu membulat sesaat, lalu berubah sendu. "Maaf ya, Dek? Mungkin tidak seharusnya Mas mengajak Adek tinggal di sini. Pasti Adek kaget melihat perlakuan para tetangga pada Ibu. Secara tidak langsung Adek juga terlibat.""Jadi Mas Lana menyesal menikah denganku?"Wajah Mas Lana terlihat kaget dengan pertanyaanku, lalu cepat-cepat ingin menjelaskan."Bukan. Bukan begitu, Dek. Maksud Mas ....""Kalau begitu mulai sekarang percayakan saja Ibu padaku. Tugas Mas Lana itu kerja. Gak usah memikirkan yang lain lagi," jawabku lagi.Kedua mata Mas Lana membola, terlihat bingung dengan apa yang baru saja aku ucapkan. Ibu mendekat ke arah putranya, lalu merangkul lengannya sembari tersenyum."Ibu merasa istrimu ini malaikat tak bersayap yang Allah turunkan untuk menjadi pembela Ibu, Lana ...," ucapnya kemudian.Mas Lana seketika tersenyum manis, sepertinya sudah mengerti apa yang sebenarnya terjadi."Maaf ya, Bu. Sebenarnya hari ini aku ijin pulang karena perasaanku tidak enak," ucapnya kemudian."Pasti khawatir kalau Nduk Dara juga ikut diganggu para tetangga, kan?" Ibu tersenyum lagi, dibalas dengan cengiran kuda Mas Lana.Aku tersentak, lalu membuang muka yang menghangat. Mana mungkin Mas Lana mengkhawatirkan aku? Ah, kenapa ada debaran aneh dalam dada?"Seharusnya kamu melihat wajah pucat Bu Siti dan Bu Dewi hari ini, Lana. Mereka bahkan sampai tidak bisa berkata-kata waktu Nduk Dara mengomeli mereka," ucap Ibu lagi."Masya Allah. Benarkah itu, Dek? Ternyata Adek berani juga, ya?" Mas Lana lagi-lagi tersenyum padaku."Aduh, Mas. Mulut pedas mereka itu harus dibalas dengan yang lebih pedas, biar kapok," jawabku, mencoba menyembunyikan debaran di dadaku yang semakin kencang saat melihat senyumannya. Astaga, apa-apaan ini?"Alhamdulillah, kalau begitu Mas bisa tenang sekarang. Mas bisa berangkat kerja lagi," ucap Mas Lana kemudian."Oh iya, Mas. Besok aku mau mengajak Ibu pergi keluar sebentar, ya?" ucapku ketika Mas Lana hendak berpamitan pada Ibu."Mau kemana, Dek?" tanya Mas Lana sambil mengerutkan kening."Mau beliin Ibu baju buat ke kondangan," jawabku."Kondangan?" Kening Mas Lana semakin mengkerut, dia kemudian menatap ke arah Ibu."Adikmu, Nikita, Minggu depan akan menikah, Lana," jawab Ibu kemudian.Mata Mas Lana seketika membulat sesaat ketika mendengar jawaban Ibu."Jadi itu sebabnya tadi Ibu menangis? Bu Sarah datang ke sini lagi?" tanyanya kemudian. "Penghinaan apa lagi yang wanita itu ucapkan pada Ibu?""Dia hanya menyampaikan pesan dari Papamu, Lana. Papamu ingin kita datang ke pernikahan Nikita," jawab Ibu lagi."Jangan datang, Bu. Aku tahu apa yang akan mereka lakukan jika kita datang." Mas Lana seketika berucap tegas."Mas Lana ini apa-apaan,sih," sahutku. "Sudah pasti kita harus datang, Mas.""Kamu tidak tahu siapa mereka, Dek," ucap Mas Lana lagi. "Mas takut mereka akan membuat Ibu dan Adek terluka.""Justru mereka yang tidak tahu siapa kita sekarang, Mas," sahutku lagi. "Memangnya mau sampai kapan Mas Lana membiarkan nama Ibu jelek terus di mata semua orang? Mau sampai kapan membiarkan mereka terus-terusan menginjak harga diri kalian?""Masalahnya bukan itu, Dek.""Ibu tidak bersalah, tapi semua orang selalu menghakimi Ibu setiap hari. Apa Mas Lana tidak ingin membersihkan nama Ibu?"Mas Lana terlihat terdiam mendengar ucapanku. Ibu juga terlihat menunduk, mungkin karena nada bicaraku terlalu tinggi."Dengar, Mas. Aku sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Jadi mulai sekarang, tidak ada yang boleh merendahkan kalian lagi, terutama Ibu," ucapku lagi menegaskan."Ya Allah, Nduk ...." Air mata Ibu tiba-tiba terlihat berlinang, menganak sungai membasahi kedua pipinya. "Entah doa Ibu yang mana yang Allah kabulkan, sehingga mengirimmu untuk menjadi mantu Ibu ...."Aku mendekat ke arah Ibu, lalu memegang kedua pundaknya. Aku yang selama ini selalu merasa paling menderita, nyatanya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan penderitaan wanita di depanku itu. Bagaimana mungkin selama ini aku selalu berharap ingin m4ti, sementara ada orang yang harus berjuang begitu berat untuk bertahan hidup? Ampuni aku ya, Allah."Ibu tidak boleh menangis lagi mulai sekarang," ucapku seraya mengusap air mata Ibu dengan ujung jari, lalu mendekapnya dalam pelukan. Ibu kembali tersedu."Maafkan Mas, Dek. Mas tidak pantas disebut laki-laki," ucap Mas Lana kemudian.Aku menarik napas panjang. Aku sangat mengerti posisi mereka saat ini, di mana orang yang mereka hadapi mungkin tidak sebanding dengan mereka. Mereka selama ini memilih diam, karena mungkin Mas Lana juga tidak ingin membuat ibunya semakin terluka. Seperti kebanyakan orang Jawa yang tak suka dengan keributan.Setelah Mas Lana berangkat kembali kerja, aku segera menuju ke kamarku. Kuambil ponsel yang ada di sudut tempat tidur, lalu mengetik pesan untuk Papa.[ Pa, bisakah kita bertemu sebentar saja? ]Terkirim. Aku sengaja hanya mengirim pesan karena takut Papa tengah sibuk. Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya ponselku berdering. Papa langsung menelpon, artinya dia tidak sedang sibuk."Halo, Dara? Kamu baik-baik saja kan, Nak?" Terdengar suara Papa dari seberang telepon. "Apa yang terjadi?""Dara baik-baik saja, Pa," jawabku. "Aku hanya ingin minta sedikit bantuan dari Papa.""Bantuan apa, Nak?"Aku terdiam sebentar, sebelum akhirnya menjawab."Tolong bantu carikan informasi tentang orang yang bernama Firman Sadewa, juga keluarga yang akan menjadi besan mereka.""Nikmati saja, Cantik! Berteriak pun percuma. Tidak akan ada seorangpun yang akan menolong mu!"Suara tawa para ba--jingan itu menggelegar ke seluruh ruangan. Aku mencoba meronta, namun tak bisa. Kedua tangan dan kakiku terikat erat. Mereka juga bahkan menyumpal mulutku agar tidak bisa berteriak. Dan ketika satu-persatu mereka mulai menja--mah tubuh ini, aku hanya bisa menjerit dalam hati. Mengutuk para ba--jingan yang tega melakukan semua ini.Tolong aku, Tuhan! Aku kotor! Aku kotor!..."Dek ... Dek!"Aku tersentak bangun ketika seseorang mengguncang tubuhku. Kurasakan keringat dingin membasahi pelipis dan sekujur tubuuh, napasku memburu. Ternyata lagi-lagi mimpi dari masa lalu. Hampir setiap malam aku seperti ini, hal yang membuatku begitu tersiksa hingga berulang kali mencoba bu--nuh diri."Adek mimpi buruk lagi?" Mas Lana menatap ke arahku dengan pandangan khawatir.Pria bermata teduh itu mengambilkanku segelas air putih, memintaku untuk minum. Aku meneguknya dengan bibir gemetar
"Ternyata memang bener-bener sombong ya, mantunya si Aisyah. Gak punya sopan santun pula sama orang tua," cibir Bu Dewi."Betul itu, Bu Dewi," sahut Bu Siti. "Memangnya dia anak orang kaya, ya? Kan kalau dari kota belum tentu kaya. Saudara saya saja tinggal di kota, tapi rumahnya cuma dua meter persegi, kok.""Jelas itu, Bu Siti. Wong nikah sama Lana aja gak pakek ngadain acara, kok. Cuma ijab qobul doang di masjid.""Gitu aja sok banget mau beli baju sekaligus tokonya. Cih!"Aku membuang napas kesal. Kesabaranku benar-benar jadi setipis tisu menghadapi mulut-mulut julid mereka. Ibu berulang kali mengelus lenganku, melarangku menanggapi ucapan mereka. Tapi kali ini aku benar-benar ingin membuat mereka berdua m4ti kutu."Ada apa sih ini? Kenapa kalian ribut-ribut di depan toko saya?" Tiba-tiba wanita bermata sipit keluar dari dalam toko dan mendelik ke arah kami. Sepertinya dia adalah pemilik toko baju tersebut."Mereka berdua ini yang bikin ribut, Cik. Kalau kami berdua ke sini memang
"Masyaa Allah, Nduk Syifa." Ibu terlihat tersenyum menatap wanita cantik di depannya itu.Oh, rupanya namanya adalah Syifa. Tapi siapa dia? Batinku penasaran."Sudah agak lama tidak kelihatan sama sekali. Kemana, Nduk?" tanya Ibu lagi."Biasa, Bu. Ke pesantren untuk muroja'ah," jawab Syifa."Masyaa Allah, barrakallah." Ibu tersenyum lagi, lalu menoleh padaku."Nduk Dara, perkenalkan ini Syifa, anak dari Kyai terkemuka di kampung ini," ucapnya kemudian, memperkenalkan Syifa padaku.Syifa tampak tersenyum manis, lalu mengulurkan tangannya, menjabat tanganku."Ini Nduk Dara, istrinya Lana, mantu Ibu." Giliran Ibu memperkenalkanku padanya.Namun, saat ibu menyebut kata "istri" dan "mantu", entah kenapa wajah Syifa yang tadinya penuh dengan senyuman, seketika berubah."Istri?" ucapnya lirih."Iya, Nduk. Lana sudah menikah, dan ini istrinya. Maaf, karena acaranya begitu mendadak dan sederhana, jadi kami tidak mengundang orang," ucap Ibu menjelaskan panjang lebar.Entah kenapa, seketika waja
Aku mengusap air mata, lalu menatap Papa."Papa mengenal mereka?" tanyaku kemudian.Papa menarik napas panjang, lalu membalas tatapanku."Tentu saja. Perusahaan mereka bekerja sama dengan perusahaan kita. Yang jadi masalah itu keluarga yang akan menjadi besan mereka," jawab Papa.Aku sedikit membulatkan mata. Wajah Papa tampak begitu serius, artinya memang bukan orang sembarangan. Perasaanku juga mendadak menjadi tidak enak, ingin segera tahu siapa mereka."Pa, biarkan putri kita duduk dulu," sahut Mama sambil menuntunku untuk duduk di sofa panjang. Setelah kami semua duduk, Mama segera memegang kedua tanganku, dan menatapku dengan pandangan haru. "Dara, keluarga Lana memperlakukan kamu dengan baik, kan?" tanya Mama kemudian.Aku tersenyum, seraya mengangguk. "Iya, Ma," jawabku kemudian. "Terlalu baik malah.""Alhamdulillah, Dara. Mama senang melihat perubahanmu sekarang. Padahal baru beberapa hari, tapi Mama sudah melihat cahaya di matamu. Entah kapan terakhir kali Mama melihatnya
Impian? Apa impian Mas Lana yang berhasil aku wujudkan sehingga dia menangis seperti ini?"Mas Lana baik-baik saja?" tanyaku kemudian setelah membiarkannya cukup lama memelukku. Jantungku sudah seperti genderang perang, tak sanggup lagi kutahan."Oh, maafkan Mas, Dek." Mas Lana sepertinya baru sadar apa yang sudah dia lakukan. Cepat-cepat dia melepas pelukannya, dan seketika menjadi salah tingkah.Aku sendiri juga menjadi begitu salah tingkah, sampai tak tahu harus bagaimana. Untuk beberapa lama kami berdua sibuk menata diri kami masing-masing."Mas benar-benar minta maaf, Dek," ucap Mas Lana lagi dengan wajah penuh rasa bersalah. "Pasti Mas sudah membuat Adek takut."Aku tak langsung menanggapi ucapan Mas Lana. Memang benar, selama ini jangankan dipeluk oleh pria, disentuh saja aku pasti akan berteriak karena trauma. Bahkan jika yang melakukannya adalah Papaku sendiri. Tapi ketika merasakan ketulusan Mas Lana, aku justru seperti ingin dia memelukku lebih lama. Ah, bicara apa aku ini?
"Loh, Nduk? Ini maksudnya, Ibu mau diapakan?" tanya Ibu lagi dengan ekspresi wajah yang semakin lucu saja."Sudah, Ibu nikmati saja pokoknya," jawabku sambil tersenyum geli melihat wajah Ibu.Ibu akhirnya pasrah juga ketika para petugas salon mulai memijat pundaknya, membuatnya rileks sesaat. Aku sendiri juga akhirnya fokus memanjakan diri, hal yang sudah beberapa tahun tidak aku lakukan.Setelah melakukan berbagai perawatan diselingi celetukan lucu dari Ibu, akhirnya tiba saatnya kami berdua untuk make over. Ternyata benar ucapan pemilik toko waktu itu, kalau sebenarnya wajah Ibu itu cantik sekali. Kulitnya juga masih putih bersih, cukup mulus pada usianya. Pantas saja wajah Mas Lana juga tampan mirip aktor Korea.Dalam hati lagi-lagi aku berjanji, akan mempertahankan penampilan Ibu seperti ini mulai hari ini. Ibu tidak boleh terlihat lusuh lagi. Setidaknya para tetangga tidak akan lagi meremehkannya ketika aku sudah berhasil membersihkan namanya dari fitnah itu nanti."Masyaa Allah,
Aku tersenyum miris menatap pria yang berdiri di depanku itu. Pria yang sempat mengisi hatiku bertahun-tahun lamanya, selalu memujiku setinggi langit, namun juga menjatuhkannya dalam sekali waktu. Tak banyak yang berubah darinya, masih sama seperti dulu."Aku berjanji, Ra. Suatu saat nanti hubungan kita pasti akan direstui. Aku akan berjuang. Aku pasti akan menikahimu walaupun nyawa ini taruhannya," ucapnya waktu itu meyakinkanku.Malam itu seperti biasa kami berdua diam-diam berjanji untuk bertemu di pinggiran taman kota. Aku ingin memberikan kejutan kecil untuknya, karena hari itu adalah hari ulang tahunnya.Aku duduk sendirian di kursi taman yang amat sepi itu. Sudah lebih dari setengah jam aku menunggu, tapi dia tak kunjung datang. Tidak biasanya dia datang terlambat. Aku mencoba untuk menghubunginya berulang kali, namun nomornya tak kunjung aktif.Aku mulai khawatir, takut terjadi sesuatu padanya. Namun aku masih terus menunggunya, meskipun waktu sudah lewat tengah malam. Kue yan
"Dia ... benar-benar Dara Larasati Atmajaya, Ma?" Nikita menatapku dengan pandangan gusar.Bu Sarah sepertinya tidak bisa lagi berkata-kata. Wajahnya terlihat bingung, dan mungkin juga merasa malu atas sikapnya tadi. Tentu saja, itu karena map yang mereka baca berisi keputusan Papa untuk membatalkan semua kerja sama dengan perusahaan keluarga Sadewa. "Baiklah, Bu. Sepertinya sudah cukup kita menghadiri acara ini," ucapku kemudian pada Ibu. "Ayo kita pulang, Bu.""Iya, Nduk," jawab Ibu. Sepertinya memang Ibu sudah tidak tahan dengan keributan itu, karena pada dasarnya hatinya begitu lemah lembut."Ayo pulang, Mas," ajakku lagi pada Mas Lana."Iya, Dek," jawabnya.Kami bertiga hendak beranjak, tapi Pak Firman seketika menghentikan kami."Tunggu. Tunggu sebentar, Nak Dara," ucapnya padaku. "Saya benar-benar minta maaf atas sikap istri dan putri saya. Tolong, ijinkan kami bicara baik-baik.""Sejak awal kami tidak mengajak ribut loh, Om," jawabku, menatap pria di depanku dengan tajam. "Ka