BUKAN SALAH IBU 40"Apa yang akan kau lakukan jika seseorang yang kau sayangi dan percayai, ternyata membohongimu?"Helena tertegun sejenak. Diangkatnya kepala dari atas kertas yang sedang dicoret-coretnya. Bukan coretan sembarangan, tapi dia sedang membuat rancangan gaun pengantin. Sekilas kulihat, gaun itu pastilah sangat indah jika sudah jadi."Maksudnya gimana?" tanyanya pelan. Aku tahu dia bukannya tak mendengar. Ada nada gugup yang samar terdengar.Aku tersenyum, ikut duduk di sebelahnya, di atas lantai. Dia memang lebih suka duduk di lantai jika sedang membuat sketsa baju-baju rancangannya."Ada seseorang yang sangat aku sayangi, Helen. Aku menyayanginya dengan tulus, dan menaruh kepercayaan besar padanya. Tapi ternyata, dia membohongiku."Helena mengerjap, sesaat wajahnya tampak pucat. Dia lalu membuang pandang dengan cepat."Kalau begitu, kau tak perlu memaafkannya. Buang saja dia jauh-jauh dari hidupmu."Suaranya bergetar, seperti sedang menahan tangis dan juga rasa takut."
BUKAN SALAH IBU 41Sejak hari pertama kedatangan Helena, aku sudah menaruh curiga. Apalagi dia sering kali meminta maaf entah untuk apa. Gesture tubuhnya yang canggung, padahal sebelum berangkat ke Singapura dulu, dia sudah cukup dekat dengan aku dan Ibu. Begitu juga dengan mimik wajahnya yang berubah drastis setiap kali aku menyebut tentang Ayah. Tadinya kupikir, itu hanya karena dia merasa bersalah. Tapi, intuisiku mengatakan bahwa ada sesuatu dibalik ini semua."Eyang, aku minta rekomendasi orang-orang kepercayaan yang bisa membantu menyelidiki keberadaan Ayah di Singapura."Eyang terkejut ketika suatu hari aku datang ke rumahnya dan meminta hal itu. Aku tak punya pilihan selain menceritakan kecurigaanku pada Eyang, karena hanya Eyang yang tahu persis tempat tinggal mereka. Dua tahun lalu saat pesawat dinyatakan hilang, Eyang kesana menemui Helena dan Mamanya. Kata Eyang, mereka sama terpukulnya dengan kami disini."Apa maksudmu, Bella?""Aku nggak bisa membiarkan saja firasatku in
BUKAN SALAH IBU 42Aku meninggalkan Ayah dan Ibu berdua saja di meja makan. Biarlah, Ibu punya caranya sendiri untuk menuntun Ayah agar kembali mengingat kami. Kami hanya perlu bersabar. Dan bukankah sudah beberapa kali kami lulus dalam ujian kesabaran itu?Kuhentikan langkah saat melihat Helena keluar dari kamarnya sambil menggeret tas. Rasanya aku hampir saja berteriak, melarangnya pergi saat melihat wajahnya yang sembab sehabis menangis. Tapi tidak, kali ini, aku belum bisa memaafkannya. Dulu, saat Tante Meira merebut Ayah dari Ibu, Helena tak tahu apa-apa. Tapi sekarang, dia bahkan menjadi salah satu sutradaranya.Helena menyandarkan koper dan berjalan ke arah dapur. Namun, langkahnya terhenti saat melihatku."Mau kemana?""Aku… mau pamit pada Papa dan Tante Ana.""Tak usah. Pergi saja. Kau bisa pamit pada Eyang.""Tapi … "Aku mendekat. Kutatap matanya tepat di maniknya yang hitam."Kau bahkan tak mengizinkan kami tahu keadaan Ayahku yang menyedihkan selama dua tahun lamanya."He
BUKAN SALAH IBU 43"Nyonya Wardhana meminta saya menjemput Nona Helen untuk menemui Ibu anda di kantor polisi. Katanya, Mama anda memaksa ingin bertemu."Aku membelalakkan mata. Jam sepuluh pagi, Abimanyu datang lagi. Aku kenal dia, asisten kepercayaan Nenek berusia akhir dua puluh yang ramah dan mudah tersenyum, tapi tegas dan tak ada toleransi untuk sebuah pelanggaran. Entah kenapa Eyang terus-terusan membuat aku bertemu dengannya."Oke. Tapi, aku bisa pergi sendiri."Abimanyu menggeleng."Tidak, Nona. Nyonya berpesan untuk mengantar dan menunggui Nona lalu memastikan Nona pulang lagi."Aku menggeram dengan marah."Kau membuatku terlihat seperti tawanan!"Abimanyu tersenyum."Mematuhi aturan, atau membatalkan kesempatan … ""Oke! Oke! Dasar sialan!"Lelaki itu hanya memutar bola mata mendengar umpatanku yang kasar. Aku masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian. Tanpa bicara apa-apa, aku keluar dan langsung naik ke mobilnya. Dia ikut melompat naik sambil tersenyum."Tersenyumlah se
BUKAN SALAH IBU"Dasar anak pel-acur! Berani-beraninya kamu sekolah disini!"Sepasang tangan mendorongku dengan keras dari belakang. Aku terjerembab dan jatuh ke lantai sekolah yang menyisakan jejak-jejak tapak sepatu berdebu. Mendongakkan kepala, kudapati Helena dan gerombolannya, berdiri sambil bertolak pinggang. Aku menelan ludah, berusaha berdiri tapi sepatu putih gadis itu telah mendarat di atas kepalaku.Sungguh, ini adalah hinaan yang paling menyakitkan. Aku berontak, berusaha berdiri, dan kejap berikutnya, kudorong gadis itu sekuat tenaga, tanganku mencari-cari bagian tubuhnya, apa saja, yang bisa kupakai untuk membalasnya."Ibuku bukan pelacur!" teriakku histeris.Tentu saja aku kalah. Helena dan ketiga temannya memiting tanganku, menyandarkan tubuhku ke dinding. Gadis itu menamparku berulang kali, keras sekali, hingga kurasakan cairan asin menetes dari sudut bibir."Ibumu menjual dirinya pada laki-laki! Apa namanya kalau bukan pel-acur?!" teriak Helena di depan wajahku. "Ib
BUKAN SALAH IBU 2Pak Emir menepati janjinya untuk tidak membawa masalah pembullyanku ke sekolah. Tapi, aku tahu diam-diam dia mengawasiku. Helena sendiri rupanya mendapat teguran keras dari Pak Emir. Dia seringkali menatapku dengan geram, tapi tak berbuat apa-apa. Sesaat, aku merasa aman. Tapi aku tahu, hanya menunggu waktu sebelum Helena melemparkan bom yang lebih besar ke wajahku."Biarkan saja, Nak. Tak perlu menjelaskan dirimu pada orang yang membenci. Dia tak akan percaya.""Tapi, Ibu benar-benar nggak ada hubungan dengan Papanya Helena kan?"Ibu menggeleng dengan wajah sendu, tapi tak berkata apa-apa. Aku menghela napas dalam-dalam. Seperti yang Ibu minta, aku hanya cukup mempercayainya. Percaya, bahwa dia tak akan pernah membuatku kecewa.Dulu, aku menghabiskan hari untuk bertanya siapa Ayahku. Dan setiap kali itu juga, Ibu menjawab dengan gelengan kepala dan tetesan air mata. Beranjak dewasa, aku mulai berhenti bertanya. Untuk apa? Pertanyaanku hanya membuat luka di hati Ibu
BUKAN SALAH IBU 3Dengan tangan gemetar, Ibu meraih foto itu. Kulihat beliau meneguk ludah dengan susah payah, seakan-akan, ada segumpal batu besar menyumbat di kerongkongannya."Itu Papanya Helena," desisku."Jadi, ini Ayahnya temanmu, yang membuat kamu terluka waktu itu?"Aku mengangguk. "Jadi, benar? Ibu tidur dengan Papanya Helena?"Rasa kecewa membuat suaraku bergetar. Aku ingin menangis, tapi juga ingin marah. Ibu telah membohongiku selama ini. Bagaimana mungkin aku masih punya muka untuk datang ke sekolah? Seisi kelas tahu, seluruh sekolah akan segera tahu, bahwa Ibuku, Ibu dari Isabella, si juara umum sekolah, adalah seorang pela-cur. Sungguh tak ada artinya semua prestasi yang kutorehkan. Semua terhapus oleh aib yang Ibu corengkan di jidatku.Tapi, Tiba-tiba Ibu tersenyum, meski tampak getir."Jadi, kamu nggak percaya sama Ibu, Bella?"Aku menatap Ibu tak mengerti. Bagaimana aku harus percaya jika bukti ini amat meyakinkan?"Ibu memang pergi ke hotel itu dan bertemu Mas Wisn
BUKAN SALAH IBU 4"Kenapa aku tidak punya Ayah?""Siapa bilang? Bella punya kok. Tapi, Ayah sedang pergi.""Kapan pulangnya?""Suatu saat nanti."Pertanyaan itu sudah berpuluh kali kuucapkan hingga delapan belas tahun usiaku ini. Tapi, sekalipun, aku tak pernah mendapat jawaban yang memuaskan. Janji Ibu membuatku punya sebuah kegemaran, duduk di teras depan rumah seraya menatap ke ujung jalan, berharap sesosok tubuh lelaki tegap dan tampan datang dan memeluk serta menggendongku, lalu berkata : Ini ayah, Ayahmu sudah pulang."Bella, nggak capek kau duduk di situ? Bapakmu nggak akan pulang!" seru Wak Rusni, tetangga sebelah kanan rumah. Aku bergeming."Mau sampai kapanpun kau tunggu, dia nggak akan pulang, Bella." Nek Romlah tetangga sebelah kiri ikut bicara. Aku tetap tak peduli. Yang kupegang adalah kata-kata Ibu, bahwa suatu saat, dia akan kembali.Hingga usiaku sembilan tahun, akhirnya aku mengerti bahwa Ibu hanya membohongiku. Aku berlari masuk ke dalam rumah setelah maghrib nyaris