|Rumah Bapak Rudi dan Ibu Warsih, Mbak Lis. Satpam bilang, anak mereka yang bernama Arnila memang sudah menikah siri dengan Mas Dimas empat bulanan lalu| Deg. Astaghfirullah. Menikah siri? Kukucek kedua mata membaca pesan yang dikirimkan Pak Yono. Berulang kali kubaca pesan itu namun tetap saja tak berubah. Kupikir tadi aku hanya salah membaca namun ternyata nggak. Dua buah foto Mas Dimas yang sedang mengobrol dengan perempuan itu pun terkirim ke ponselku, sementara foto yang lain saat mereka berpelukan. Mungkin saat Mas Dimas pamit untuk pulang.Mas Dimas sudah menikah siri dengan Arnila. Kupejamkan mata perlahan. Benar-benar serakah. Jadi sekarang Mas Dimas memiliki tiga istri, begitu? Pantas saja dia sering berangkat pagi-pagi dengan alasan ini dan itu, pulang juga tak pernah bareng denganku dengan alasan masih ada pekerjaan yang diselesaikan, ternyata dia memiliki istri baru. Astaghfirullah. Astaghfirullah. Astaghfirullah. Tak habis pikir kenapa Mas Dimas bisa melakukan ini semu
Pov : Lisha Jarum jam hampir menunjuk angka sebelas malam saat aku sampai di rumah bersama papa. Suasana rumah Pak Burhan yang kini menjadi tempat tinggal Ayu begitu ramai. Banyak motor parkir di halaman. Aku dan papa gegas ke luar gerbang lalu menyeberang jalan. Beberapa tetangga saling berbisik saat aku dan papa datang. Kulihat rahang papa mengeras menahan amarah. "Pa, istighfar, ya," bisikku padanya. Papa menatapku beberapa saat, mengangguk lalu kembali melangkah ke dalam rumah. Kali ini aku hanya berharap papa bisa mengontrol emosinya. Aku tak ingin papa kembali drop dan masuk rumah sakit kembali. |Dokter, bisa minta tolong? Ada masalah antara saya dan Mas Dimas. Sekarang papa tampak begitu emosi, saya takut papa kenapa-kenapa. Kalau dokter tak sibuk, bisa kah ke rumah sekarang? Saya dan papa ada di depan rumah, rumah Pak Burhan| Kukirimkan segera pesan itu ke nomor Dokter Akbar. Gegas kususul papa yang sepertinya sudah mulai mengomel di dalam rumah. Kulihat di dalam su
Pov : Dimas Empat bulan sudah aku menikah dengan Arnila Larasati. Gadis berusia 20 tahunan yang cantik, baik dan sangat sopan. Aku bertemu dengannya secara tak sengaja tak terlalu jauh dari alun-alun kota, enam bulan yang lalu. Saat itu hujan cukup deras. Aku baru pulang dari kantor, agak malam karena lembur. Kebetulan ada tender yang harus kutangani. Suasana cukup sepi, tak ada lalu lalang kendaraan di sana. Mungkin karena hujan cukup lebat.Kulihat seorang perempuan berdiri di samping motor sembari terisak bersama seorang laki-laki. Dia melambaikan tangannya ke arahku, namun aku berlalu begitu saja karena tak ingin mencampuri. Kuhentikan mobil seketika saat kulihat dari spion wajah perempuan itu mengiba, seolah minta tolong. Gegas membuka mobil dan melangkah cepat ke arahnya saat laki-laki itu menarik paksa lengan kanannya menuju pinggir jalan. Entah mau dibawa ke mana perempuan itu. "Mau dibawa ke mana dia!" Bentakku seketika saat perempuan itu berusaha melepaskan tangannya dar
Pov : Dimas Jarum jam hampir menunjuk angka 12 malam. Aku masih termenung di depan kontrakan Ayu. Para tetangga sudah pulang ke rumah masing-masing. Suara tangis Ahmad yang tadi terdengar cukup keras pun sudah mulai hilang. Mungkin dia sudah tidur dengan nyenyak sekarang. Aku masih belum bisa berpikir jernih. Kulihat rumah di seberang jalan yang biasa menjadi istanaku melepas lelah, rumah yang nyaman dengan segala fasilitasnya, rumah yang tenang dan dipenuhi cinta pemiliknya, kini seolah menertawakan kehancuranku. "Bawa sini kunci mobilnya, Mas. Ini mobil kantor jadi kamu sudah nggak berhak untuk memakainya karena kamu sudah dipecat papa!" Suara Lisha yang kembali ke sini beberapa menit lalu untuk mengambil kunci mobil masih terngiang di benak. Teganya dia mengambil mobilnya di tengah malam begini. Aku yang tadinya sudah semangat ingin ke rumah Arnila mendadak terdiam tanpa kata. membiarkanku tidur di luar berteman dengan nyamuk, sementara dia kembali bersama papa ke rumahnya. Tak
|Aku pulang, Mas. Semoga kamu bahagia dengan istri mudamu! Jangan pernah mencariku apalagi merayu ibuku agar kamu bisa kembali. Aku tak Sudi!| Sebuah pesan dari Ayu muncul di layar. Kuhembuskan napas perlahan. Bayangan Ahmad kembali hadir dalam ingatan. Anak itu semakin hari semakin membuatku rindu dan menggemaskan. Entah kapan aku bisa menemuinya kembali. Mengajaknya bermain dan tertawa bersama seperti sebelumnya. "Mas, tumben banget kamu ke sini pagi-pagi?" Pertanyaan Arnila membuatku terjaga dari lamunan. Dia datang dengan secangkir teh dan kue bolu di atas nampan lalu meletakkannya ke meja. "Aku mau cerai dengan Lisha, Nil. Untuk sementara aku tinggal di sini, ya?" ucapku pada Nila yang masih keheranan dan cukup kaget saat mendengar sekelumit kisah rumah tanggaku. Aku yang benar-benar akan bercerai dengan Lisha."Maksudmu, Mas? Kamu beneran pisah dengan istrimu yang kaya itu?" tanya Nila tiba-tiba. Entah mengapa mendadak aku fokus dengan kata kaya. Darimana dia tahu kalau istri
Suara dering ponsel tak henti sedari tadi. Entah siapa yang menelepon. Pikiranku masih cukup kacau memikirkan pengirim pesan di ponsel Arnila dua hari lalu. Dua hari ini aku juga disibukkan dengan membuat lamaran kerja. Mau tak mau aku harus segera mendapatkan pekerjaan. Jika terus menganggur di rumah bisa runyam semuanya. Ditambah teror pesan itu makin membuatku sakit kepala. Arnila tak pernah mengaku dan tak tahu siapa pengirimnya padahal jelas di sana tertulis namanya. Astaghfirullah, benar-benar kacau hidupku sekarang. Ibu dan Bapak yang tadinya begitu ramah, entah mengapa dua hari ini cukup berbeda. Aku merasa tatapan mereka tak sama seperti sebelumnya. Mungkin karena aku sudah jujur apa yang terjadi, aku segera bercerai dengan Lisha. Mobil yang kupakai tiap hari pun mobil kantor, bukan mobilku sendiri. Ponsel kembali berdering. Terpaksa aku mengambilnya dari atas meja. Ibu? Sepertinya kali ini aku akan mendapat amukan ibu. Kuucap istighfar banyak-banyak sebelum mengangkat t
Pov : DimasSurat undangan sidang tergeletak begitu saja di atas meja. Detik ini, pikiranku benar-benar kacau. Di saat seperti ini, tak ada seorang pun yang bisa kuajak berbagi. Dulu selalu ada Lisha yang menemani dan memberiku support tiap kali ada masalah di kantor atau pun masalah dengan klien. Lisha memang tipe yang cukup tenang dalam memecahkan sesuatu, serius tapi tak gegabah. Sungguh berbeda denganku yang sering kali mengambil jalan instan. Di saat penat dengan urusan kantor, biasanya aku menjenguk Ayu di rumah. Wajahnya yang cantik, manja dan pencemburu sering kali membuatku rindu. Aku rindu omelannya saat aku belum pulang karena urusan kantor belum kelar. Dia yang merajuk membuatku semakin jatuh cinta, menambah rindu menggelora dalam dada. Kini, dia pun pergi meninggalkanku sendiri. Kuusap wajah dan membuangnya kasar. Aku benar-benar frustasi memikirkan semua yang terjadi. Bahkan sampai detik ini belum bisa berpikir jernih bagaimana caranya ke luar dari masalah pelik ini se
Sebuah kebohongan akan diikuti kebohongan-kebohongan lain untuk menutupinya. Ya ... begitu lah. Wajah pias dan salah tingkah Arnila tiap kali menerima telepon seseorang membuatku curiga. Dia memang tak pernah bicara tentang masa lalunya, karena bagiku sudah cukup dia menerimaku apa adanya meski dulu dia tahu sudah memiliki istri.Tapi ...Akhir-akhir ini, Arnila semakin berubah. Kupikir karena masalah keuangan namun sepertinya bukan karena itu saja. Ada hal lain yang memang dia sembunyikan dariku. Aku bukan laki-laki b0d0h. Belajar dari Lisha yang bermain cantik, aku pun melakukan hal yang sama pada Arnila. Menyadap ponsel dan memasang cctv di ruang tamu dan ruang keluarga saat bapak tidur siang, sementara Nila dan ibu ke baby shop belanja untuk persiapan si kecil. |Nila, aku ingin bertemu kamu. Jika kamu memang nggak ingin menemuiku, aku akan langsung menemui suamimu. Kita harus bicara, Nil. Aku sudah berulang kali minta maaf sama kamu. Aku mohon, maafkan aku.|Sebuah pesan muncul d