Pov : Dimas Zaman sekarang mencari pekerjaan cukup susah, apalagi aku tak memiliki surat pengalaman kerja meski sudah cukup berpengalaman menjadi staf dan manager keuangan saat bekerja di kantor papa. Tapi mungkin saja tak ada yang percaya karena tak ada bukti yang bisa menguatkan keteranganku. Seminggu belakangan aku terpaksa menerima ajakan tetangga untuk menjadi karyawan bagian catering di Sasmita Wedding Organizer. Setidaknya ada penghasilan masuk untuk tabungan biaya persalinan Arnila sambil mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan, paling tidak sesuai jurusan kuliahku-- manajemen keuangan. Meskipun Nila belum mencintaiku sepenuhnya, tapi aku tetap bertanggungjawab atas janin yang ada dalam kandungannya. Dua pernikahanku sebelumnya gagal, aku berusaha untuk menyelamatkan pernikahanku kali ini, namun dalam hati masih begitu penasaran apa alasan Arnila mau menerima lamaranku. Entah lah, kadang pikiran mendadak kacau tiap kali mengingat pesan dan ancaman laki-laki itu. Kub
Pov : Dimas "Sore, Pak, Bu. Maaf, boleh saya menjenguk Nila?" Suara seorang laki-laki terdengar dari ambang pintu. Aku, ibu dan bapak menoleh ke arahnya hampir bersamaan. Betapa kagetnya aku saat melihat laki-laki kekar itu berdiri di sana dengan senyum lebarnya. Dia ... ada hubungan apa dengan Arnila? Bapak dan Ibu menoleh ke arahku hampir bersamaan. Mereka hanya diam tak menjawab. "Silakan," jawabku singkat. Mempersilakan dia masuk ke dalam menemui Arnila. Perempuan yang baru delapan bulan kunikahi secara siri itu tampak begitu cemas dan ketakutan. Terlihat sekali jika ada sesuatu yang memang dia sembunyikan. Perlahan telapak tangannya menarik lenganku agar aku tak meninggalkannya. Terpaksa aku kembali duduk di kursi samping pembaringannya. "Perkenalkan, Mas. Saya Brama, laki-laki yang beberapa bulan lalu kamu pukuli di dekat alun-alun," ucap laki-laki kekar itu memperkenalkan diri. Dia tersenyum tipis menatapku sembari mengulurkan tangannya. Kujabat tangan kasarnya asal. Dia
Pov : Lisha "Lisha, apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanya Dokter Akbar saat papa mengajakku makan malam bersama di Adelia Resto. Papa yang nyatanya nggak datang, dengan alasan mendadak mengantuk. Aku yakin itu hanya alasan papa agar aku dan Dokter Akbar makan malam berdua. "Tanya apa ya, Dok?" tanyaku singkat. "Sudah kubilang jangan panggil dokter, kan?" ucap Dokter Akbar dengan tawa kecilnya. "Dulu kamu nggak manggil itu," ucapnya lagi, mulai mengingatkanku dengan masa lalu saat masih dekat dengannya. Aku memang dulu memanggilnya dengan sebutan Abang. Tapi sejak menikah dengan Mas Dimas, aku mulai membiasakan diri untuk memanggilnya Dokter Akbar, seperti panggilan papa untuknya. "Oke, aku panggil Abang seperti sebelumnya," jawabku lirih tanpa menatap kedua matanya. Aku mengalihkan pandangan dengan memainkan sedotan di gelas berisi cappuccino latte, minuman favoritku. "Begitu jauh lebih bagus dan enak terdengar," ucap Dokter Akbar lagi sambil tersenyum lebar."Kamu nggak tan
|Tes DNA sekarang atau kamu akan menyesal dan terus dirasuki penasaran selama hidupmu!|Pesan dari Brama waktu itu, membuatku berpikir untuk melakukan Tes DNA beberapa hari yang lalu. Tak apa lah, biar aku dan Arnila sama-sama tenang siapa ayah biologis Azima sebenarnya. Aku atau Brama. Ingin rasanya menyalahkan Arnila atas perzinaan itu, tapi lagi-lagi dia bilang bukan atas nama suka sama suka melainkan diperk0s4. Aku pun berusaha mengerti, biar lah. Aku ingin membuka lembaran baru bersamanya tanpa harus terus dibayangi dengan masa lalu. Dokter bilang hari ini hasil tes DNA Azima ke luar. Aku dan ibu pun ke rumah sakit mengambil hasil tes itu sebagai bukti kuat siapa sebenarnya ayah bayi mungil itu, sementara Nila dan bapak ada di rumah menjaga Azima. Bayi prematur memang sedikit lebih ribet merawatnya dibandingkan bayi yang terlahir cukup bulan. Arnila pun kadang melamun, entah apa yang sedang dia pikirkan. Sepertinya dia kelelahan. Ibu memang membantunya setiap waktu namun Azima
Pov : Dimas Detik ini, hatiku berdebar tak karuan. Aku seperti kehilangan muka karena terpaksa bertamu ke rumah Lisha, bukan untuk sekadar silaturakhim melainkan untuk pinjam uang. Ingin rasanya pinjam ke papa, tapi aku takut mendapat makiannya. Mungkin lebih baik pinjam ke Lisha saja, yang penting aku bisa dapatkan Azima kembali. Anak itu tak bersalah, tak pantas ikut merasakan perseteruan orang tuanya. Satpam rumah Lisha -- Pak Joni pun membukakan gerbangnya untukku. Dia tersenyum tipis sembari menganggukkan kepala, masih begitu hormat meski aku tak lagi menjadi majikannya."Maaf, Pak. Apa Lisha ada di rumah?" tanyaku singkat.Kulirik mobilnya yang masih parkir di garasi, sepertinya dia memang masih seperti dulu, sering kali di rumah bila weekend tiba. Jam di tangan menunjuk angka sembilan lebih sedikit. "Mbak Lisha ada di dalam, Pak. Baru saja pulang joging dengan Pak Bos dan Dokter Akbar," ucap Pak Joni lagi. Mendengar nama Dokter Akbar, entah mengapa masih ada rasa cemburu d
POV : Dimas"Kurang ajar! Mana anakku, Bram? Kamu apakan dia?" tanyaku ketus sembari menampar pipinya sekali.Brama kembali terbahak tanpa peduli dengan kebingungan dan kekhawatiranku. Kaki kanannya mengalirkan darah. Om Yudha bilang, terpaksa menembak kakinya karena dia berusaha melarikan diri dengan koper uang itu. Tak berselang lama tempat kejadian mulai ramai dengan warga. Aku berulang kali menanyakan keberadaan Azima namun Brama hanya terbahak seperti orang gila. Mungkin dia memang benar-benar sudah gila. Bahkan saat polisi dan warga membantuku mencari Azima di gedung tua itu, Azima tetap tak ada di sana. "Mungkin di panti asuhan Cinta Bunda, Mas. Kemarin Bu Eny-- pengurus panti bilang menemukan bayi di depan pintu panti asuhan. Cek saja dulu barang kali itu memang bayi yang mas cari," ucap seorang warga. Aku melotot kaget mendengar kabar itu. Gegas pamit ke Om Yudha untuk mencari Azima di sana. "Membu$uk di penjara kamu, Bram!" Bentakku sengit lalu meninggalkannya. Aku harus
Pov : DimasJarum jam menunjuk angka tujuh. Kulihat Arnila belum juga beranjak dari tempat tidurnya. Dia masih terdiam di sana dengan melipat kedua kaki. Pandangannya kosong ke depan. Datar, tanpa ekspresi. Sejak kepergian Azima seminggu yang lalu, Arnila memang masih sangat depresi. Dia sering mengamuk dan melempar barang-barang di sekitarnya. Tak hanya itu saja, beberapa kali kutemukan dia berusaha menyakiti dirinya sendiri dengan gunting. Sebab itulah, benda-benda tajam di kamar ini aku simpan serapat mungkin agar tak terlihat olehnya. Kubuka pintu perlahan, membawakan bubur ayam untuknya. Bubur langganan yang biasanya sangat dia suka. Seketika dia mendongak. Menatapku dengan tajam tanpa berkedip sekian detik lamanya. Hening. Tak ada tanya atau sapa darinya. Aku masih berusaha untuk tersenyum, sembari membawa mangkuk berisi bubur itu ke meja di sebelahnya. "Selamat pagi, Sayang. Kamu sarapan dulu, ya? Ini aku bawakan bubur langganan kesukaanmu. Aku suapi ya?" ucapku selembut m
Pov : Dimas "Dim, jangan lupa rumah ini belum lunas pembayarannya. Kamu sudah menunggak tiga bulan. Bapak harap tanggal 10 nanti kamu bisa mencari dana untuk membayarnya. Bapak nggak ingin debt collector datang mengusir kita." Pesan dari bapak kemarin membuat kepalaku pusing. Rumah itu cicilan bulanannya hampir satu juta dan sekarang sudah menunggak tiga bulan karena aku tak bekerja. Darimana aku mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat coba? Sementara keadaanku sekarang masih seperti ini. Menjadi pekerja lepas di Sasmita WO juga hanya beberapa kali dalam seminggu, dengan gaji tiga ratus ribuan per hari. Hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari, itupun pas-pasan. Sungguh, kehidupanku kini terlalu berbeda dengan kehidupanku yang dulu saat bersama Lisha. Benar-benar bertolak belakang. Berbeda 180 derajat lah. Kadang aku ingin kembali seperti dulu. Berandai-andai begini dan begitu, tapi saat sadar hanya bisa pasrah. Buat apa berandai-andai segala. Semua sudah terjadi d