"Papi ngapain kok bobo sama Mamiku! Ihhh Papi! Kesel deh, minggir Papi... Minggiran sini!" Amukan Tino dan Tiano membuat Sebastian, Shela, juga kembaran kedua anak itu tertawa. Pasalnya, saat pagi mereka bangun, kedua anak itu melihat ada Sebastian yang tengah tidur bersama Shela dan Tiana. Selain kesal karena tidak diajak gabung, keduanya juga kesal ternyata Papinya tidak tidur bersama mereka. "Papi mau tidur sama Mami kok," sahut Sebastian, laki-laki itu menarik lengan Shela dan memeluk Shela. Sedangkan Shela hanya terkekeh, seolah larut dalam candaan yang mereka ciptakan, Shela balik memeluk Sebastian. Ketiga bocah itu terdiam dengan wajah kikuk mereka. Tapi ekspresi mereka mendadak menjadi sangat berseri-seri. "Gini dong! Kalau gini Tiano suka," kekeh Tiano. "Iya! Kayak gitu terus ya Pi!" Tino langsung menarik lengan Tiana dan diajaknya turun juga dari atas ranjang. "Ayo... Ayo Tiana, ayo tinggalin Papi sama Mami pergi!" Ketiga anak itu berlari keluar dari dalam kamar. Mer
"Besok kita mau sekolah, Tiana... Tiana tidak sekolah!""Iya, iya, nanti di sekolah kita punya banyak teman. Main sama teman-teman, Tiana di rumah sama Mami! Kasihan deh loh...!" Tino dan Tiano mengejek kembarannya seraya menata semua peralatan sekolah mereka. Kedua anak itu asik sendiri, dan menertawakan Tiana yang tidak akan sekolah bersama-sama. Ejekan mereka membuat Tiana kesal, anak itu hendak menangis. "Mami... Kakak nakal!" teriak Tiana dari sana, ia meraih mainan Lego miliknya dan melemparkan ke arah Tino dan Tiano. "Hayoo! Tino, Tiano! Buat adikmu nangis lagi!" sentak Morsil muncul dari arah dapur toko. Kedua anak kembar laki-laki itu kembali diam dan Tiana berhenti menangis, meskipun masih kesal. Setelah Morsil kembali masuk ke dalam, Tino dan Tiano kembali lagi pula membuat adiknya menangis. "Tiana... Besok kita pakai seragam baru, pakai sepatu baru, tas baru, emm..." "Tiana juga punya kok!" seru Tiana melawan dua kembarannya. "Iya punya, tapi kan tidak sekolah!" T
Hari sudah malam, Shela sudah ada di rumah. Ia berada di ruang makan bersama Tiana, setelah Tino dan Tiano selesai makan malam. Dua anaknya sibuk bersiap-siap, besok akan datang ke sekolah baru mereka. Untuk pertama kalinya mereka bersekolah, jelas saja kedua anak kembar laki-laki itu memiliki antusias yang tinggi. "Mom, besok Tino mau pakai kaus kaki yang merah ya," pinta Tino seraya memakan potongan buah semangka. "Oh iya, aku lupa, kaus kaki..!" Tiano sontak langsung lompat dari kursinya dan berlari ke lantai dua di kamarnya. Shela terkekeh, ia menatap Tino dan mengangguk. "Iya Sayang," jawabnya. Mendengar obrolan Mami dan Kakak kembarannya, Tiana yang duduk di atas tepi meja makan, anak itu menatap sang Mama seraya membawa potongan jagung manis rebus yang ya makan. "Tiana juga! Mami... Tiana pakai yang warna pink," seru anak itu tersenyum manis. "Iya dong, besok kita ikut ke sekolah Tino dan Tiano, okay?!" Shela mengecup pipi Tiana. "Huum, mau sekali!" Ekspresi wajah puc
"Akhirnya kita sekolah juga! Asik, asik..! Tiana tidak sekolah, kita berdua sekolah!" Ejekan itu membuat Tiana yang berjalan digandeng Shela langsung menoleh pada Tiano yang terkikik ke arahnya. Sejak di rumah tadi hingga kini mereka berada di area sekolah taman kanak-kanak, Tiana sudah muram dan marah. Melihat dua kembarannya memakai seragam sekolah, sedangkan dirinya tidak. Meskipun Sebastian dan Shela juga sama-sama membelikan sepatu, tas, dan berbagai alat tulis lainnya. "Jangan buat Tiana nangis, mau ribut di sini, hah?!" Tino langsung memukul lengan Tiano dengan tatapan kesal. "Sudah, sudah jangan ribut!" Shela menjewer telinga mereka berdua pelan. Kedua anaknya itu memang beberapa hari sungguh-sungguh menguji kesabaran Shela, selain tingkah mereka yang nakal, keduanya juga selalu membuat Tiana berteriak dan marah. Muncul Sebastian dari dalam area sekolah, laki-laki itu melambaikan tangannya pada kedua anaknya, dan Shela bersama Tiana mengikuti mereka. "Ini sekolah baru
"Mami, Tiana tidak papa, kan?" Dalam gendongan Shela, anak itu bertanya. Tiana duduk di pangkuan Shela di dalam mobil menuju pulang dari rumah sakit. Shela tersenyum manis dan menggeleng pelan. "Tidak papa kok, kata Dokter Marisa sebentar lagi Tiana mau sembuh," jawab Shela mengecup manis pipi Tiana. Anak itu terkikik geli, dia mengangguk gemas. "Kalau Tiana sembuh, Mami dan Papi sama-sama terus ya," pinta anak itu menyandarkan kepalanya di dada Shela. Sebastian menoleh sejenak, dia tersenyum mengelus pucuk kepala Tiana dengan satu tangannya. "Tentu saja, memangnya Mami sama Papi mau ke mana? Selalu sama-sama terus kok, kita berdua akan selalu menjaga Tiana," jelas Sebastian. "Iya. Bagus..." Tiana kembali diam memeluk tubuh Shela, memegangi jaket yang Shela pakai dan memandangi punggung tangannya bekas tusukan jarum infus yang terpasang plaster. Shela merenung mengusap punggung kecil Tiana, kata-kata Dokter Marisa masih terus terngiang dalam kepalanya. Shela benar-benar sedih
Setelah Sebastian mengajak Shela menikah, semalaman Shela terjaga karena memikirkan hal tersebut. Bahkan pagi ini saat ia berada di toko, gadis itu tidak fokus dan terus menerus memikirkan jawaban apa yang tepat. "Mami, ini sudah..." Suara Tiana membuyarkan lamunan Shela, anak itu menyerahkan botol susu cokelatnya pada Shela. "Oh, sudah Sayang?" "Iya, sudah. Tiana mau main lagi," jawab anak itu tersenyum manis.Shela mengangguk, ia mengikuti Tiana yang duduk di sebuah sofa dan bermain dengan beberapa boneka yang ia tata di atas meja kecil. Tiba-tiba pintu toko terbuka, nampak sosok Adam yang datang membawa sebuah boneka Teddy bear putih besar. "Om Adam!" Tiana langsung turun dari atas sofa, anak itu berdiri di hadapan Adam menatap berbinar-binar pada boneka yang Adam bawakan. "Ini buat Tiana," ujar Adam memberikan boneka itu. "Waahh... Tiana suka sekali! Terima kasih!" pekik bocah cantik itu lompat-lompat kesenangan. Shela tersenyum tipis menatap Tiana yang kini memeluk bonek
Keributan semalam yang diketahui oleh Tiano membuat bocah itu pagi ini sudah lengket dengan Shela dan Tiana, Tiano tidak sedikitpun menyapa Papinya. Padahal antara ia dan Tino, biasanya Tiano yang lebih dekat dan manja pada Sebastian. Sedangkan Tino biasa saja, karena anak itu menganggap dirinya yang paling sulung, Tino beranggapan dialah anak yang paling dewasa, meskipun usia mereka sama rata. "Sarapan dulu, Sayang... Makan yang banyak supaya sekolahnya nanti tambah pintar," ujar Shela menyiapkan sarapan untuk ketiga anaknya. "Tiana tidak mau itu, Mami... Mau buah pisang!" Tiana menunjuk ke dalam keranjang buah. Shela memberikannya, Tino dan Tiano tidak banyak cakap. Anak itu langsung memakan apa yang Maminya siapkan. Hingga muncul Sebastian, laki-laki itu berjalan ke arah dapur dan tidak menyapa Shela sama sekali. "Papi tidak sarapan?" tanya Tino menatap Sebastian. "Kalian sarapan saja dulu," jawab laki-laki itu mengecup pipi Tino, Tiana, dan giliran ia mendekati Tiano, anak
Sebastian memandangi wajah Shela yang kini tertidur dengan nyenyak. Memeluk Tiana yang sudah bangun sejak beberapa menit yang lalu, namun putri kecilnya itu masih enggan melakukan apapun. "Tidur lagi, Sayang," bisik Sebastian mengecup pipi Tiana. Anak itu bergerak cepat meringkuk memeluk leher Shela dan mulai merengek-rengek seperti biasa. "Mami bangun," bisik anak itu di telinga Shela. Entah saking lelahnya, atau memang Shela mengabaikan putrinya. Gadis itu tidak membuka kedua matanya sama sekali. "Mami... Ih Mami tidak sayang Tiana lagi," cicit Tiana cemberut memainkan kancing piyama yang Shela pakai. Tingkah lucu Tiana membuat Sebastian terkekeh pelan, laki-laki itu langsung beringsut bangun. Ia turun dari atas ranjang dan mengulurkan kedua tangannya pada Tiana. Anak itu tidak mau digendong, Tiana turun sendiri dan ia berjalan dua langkah sebelum bocah itu nyaris saja terjungkal hingga Sebastian langsung menahannya. "Sayang, tidak papa?!" pekik Sebastian, ia langsung membun