"Opa, kok jemput kita sih, kita kan belum pamitan sama Mami." "Iya nih... Nanti kalau Mami nyariin kita bagaimana?" Si kembar mengomel saja seraya turun dari dalam mobil milik Opanya dan membawa pula tas sekolahnya. Ferdi sama sekali tidak menjelaskan apapun pada anak-anak itu sekarang tujuannya adalah anak-anak sudah ada bersamanya. "Sudah jangan ribut saja, cepat masuk ke dalam sana," bujuk Ferdi pada mereka bertiga. Anak-anak pun berlari masuk ke dalam rumah. Dua pembantu di rumah itu menyambutnya, seperti biasa kalau mereka yang merawat kembar saat ada di sana. "Bibi Mela, Oma ada di mana?" tanya Tiano. "Oma ada di atas, sama Maminya Tuan Tiano," jawab wanita itu. "Hah? Mami ada di sini?" tanya Tino menatap wanita itu. "Mami?" Tiana mencicit. Anak-anak itu langsung berlari ke lantai dua, tidak ada suara apapun di sana selain suara isak tangis dari dalam sebuah kamar. Langkah mungil anak-anak itu terhenti seketika. Mereka berjajar dan saling melemparkan tatap. Menebak si
Shela berdiri dengan kaki bergetar menatap orang yang paling dia cintai adalah orang yang ia hadapi dan tantang saat ini. Sebastian berusaha mendekat dan memeluknya. Air mata yang mengalir di pipi Shela yang lebam parah, Sebastian tahu betapa nyeri luka itu. "Sayang, kita bicara baik-baik, okay? Jangan seperti ini, jangan seperti anak kecil." Sebastian mendekat. "Biar meskipun aku seperti anak kecil, si kembar pun pasti akan kecewa kalau disakiti, kau tahu!" sinis Shela menepis tangan Sebastian. Laki-laki itu menyergah napasnya panjang, dia menyunggar rambut hitamnya dengan jari jemarinya, Sebastian duduk di tepi ranjang dan menatap Shela yang menangis di dekat jendela. Wanitanya hancur, dia pasti terluka dan kesakitan. Harusnya Sebastian tidak membiarkan hal ini terjadi pada Shela. Perlahan dia bangkit, Sebastian tetap berusaha mendekat. "Aku ingin memelukmu," ujar Sebastian membujuknya dengan lembut. "Sayang..."Dia memegang satu lengan Shela dan hendak memeluknya sebelum She
Sebastian masih terpaku di tempatnya menatap Shela yang ternyata selama ini menyembunyikan kekesalan sebesar itu kepadanya. Bodohnya, Sebastian tak menyadari itu. "Mau sampai kapan? Sampai kapan aku menunggu kesadaranmu tanpa memintamu untuk berubah?" Shela kini bangkit, dia berdiri di tepi ranjang dengan tubuh lemas dan lemah. Tapi hal yang menyakitkan lagi saat Sebastian menoleh dan tersenyum. Dia berjalan mendekat, meletakkan lagi mangkuk besar di ditangannya ke atas meja. Langkahnya mendekati Shela. "Apa aku kurang baik padamu selama ini?" "Bukan itu. Aku tahu kau-""Aku juga berusaha memberikan apapun yang kau inginkan, Shela. Aku juga ingin kau mengerti tentang perasaanku. Suami mana yang tidak ingin berkumpul dengan anak istrinya di rumah? Itulah kenapa aku sering mengatakan kalau aku lelah! Setiap kali kau mendekatiku aku selalu bilang aku sedang lelah! Karena itulah nyatanya Sayang." Tidak ada nada tinggi dari Sebastian, tapi tetep saja Shela merasa hatinya diremas oleh
"Sayang, sepertinya lukanya cukup serius. Mama takut kalau terjadi sesuatu, Shela..." Stevani mengusap pipi Shela dan menatap cemas. Dia mengelap pipi Shela dengan air hangat. "Ma, ini sudah baikan kok. Tidak terlalu memar lagi seperti kemarin kan?" "Ya tapi tetap saja yang namanya luka tetap luka," seru wanita itu kesal. Shela cemberut. Bagaimana pun juga, di hadapan Mamanya, Shela tetaplah seperti anak gadis manja yang selalu keinginannya mudah ia dapatkan. "Ma, menurut Mama apa bagus kalau Shela bercerai?" tanya Shela tiba-tiba. Kegiatan Stevani lantas terhenti. Kedua mata cokelatnya menatap sang putri dan ingin sekali ia menempeleng kepala Shela saat ini juga. Entah apa yang ada di pikiran Shela, mudah sekali dia membicarakan tentang perceraian. "Pernikahan itu bukan mainan, Sayang." Lantas Shela tertunduk. "Sebastian marah saat aku mengatakan hal itu." "Tentu saja dia marah, Sebastian itu laki-laki dewasa yang pikirannya jauh lebih matang daripada dirimu, Sayang. Dia me
Akhirnya, dengan segala macam mainan yang dibeli, si kembar tiga mau pulang bersama dengan Sebastian di rumah mereka.Sungguh kali ini mereka merontokkan semua isi dompet Papanya. Namun hal itu bukan masalah untuk Sebastian, toh kerja kerasnya juga ia berikan untuk anak dan istrinya. "Sudah tidak marah lagi sama Papi?" tanya Shela mendekati anak-anak yang membuka beberapa kotak mainannya."Masih lah, Mam!" jawab Tino. "Tiana sudah tidak," jawab anak perempuan itu tersenyum manis. Shela menoleh pada Tiano. "Tiano?" "Marahnya tinggal seperempat, Mam." "Haaahhh..." Shela mengembuskan napasnya kasar. Sedangkan Sebastian berdiri bersedekap di depan sofa menatap tiga anaknya yang asik sendiri. Setidaknya mereka mau pulang, itu sudah lebih dari cukup. Shela menatap seisi rumah, Bibi libur selama dia pergi hingga beberapa meja kayu di sana nampak berdebu. Bunga-bunga hias juga layu dan kering. "Mau ke mana?" Sebastian menarik lengan Shela. "Mau mengganti bunga-bunga ini. Aku carikan
Beberapa hari kemudian...Malam datang dengan cepat, Sebastian baru saja pulang pukul dua dini hari. Laki-laki itu masuk ke dalam rumah menenteng tuxedo hitamnya dengan wajah lelah. Begitu pintu terbuka, dia melihat Shela yang berdiri di ujung atas lantai dua. Wanita itu menunjukkan wajah cemas seperti hari-hari kemarin menunggunya. "Sayang, kenapa belum tidur?" Sebastian mendekati Shela. Wanita itu mendongak untuk menjangkau tatapan sang suami. "Kenapa pulang selarut ini?" tanya Shela menatap Sebastian. "Sebenarnya sudah selesai pukul sepuluh tadi, tapi yang lainnya masih ada di sana." Sebastian menjawab dengan mudah. "Anak-anak menunggumu, mereka tidur pukul sebelas. Kau lupa ingin tidur bersama mereka, jadi mereka terus menunggumu." Shela berjalan di belakang suaminya. "Oh... Ya ampun," ucap Sebastian baru teringat. Rasa kesal menjalar di hati Shela, ia tidak tahu apa yang ada dalam otak suaminya ini. Shela merasa amat kecewa dengan tindakan Sebastian. Dan laki-laki itu ki
"Pekerjaan tidak pernah beres! Bisa-bisanya kalian kehilangan beberapa laporan penting bulan ini!" Suara amarah menggelegar di dalam ruangan meeting. Sebastian melemparkan sebuah berkas ke atas meja dengan wajah lelah dan kesal. Kecerobohan seorang karyawannya yang kehilangan beberapa rangkaian file penting untuk meeting penting beberapa waktu ke depan. "Aku tidak mau tahu, dalam waktu dua hari, file itu sudah kembali dirangkai dan aku tidak mau mendengar alasan kalian semua!" amuk laki-laki itu dengan napas terengah. "Baik Pak..." Semua karyawannya mengangguk dengan kepala tertunduk. Tatapan Sebastian tertuju pada Gavin. "Tolong kau atasi mereka, aku sudah pusing!" seru Sebastian. Laki-laki itu langsung melenggang keluar dari dalam ruangan meeting. Sebastian berulang kali mengumpat kesal. Sampai akhirnya Vir yang baru saja datang dari luar kota, laki-laki itu mendapati sahabatnya dengan muka stress. "Wahh, kenapa Boss?!" Vir terkekeh mengejek dan menepuk pundak Sebastian. "
Saat pagi tiba, Sebastian bangun dari tidurnya dengan kepala yang terasa pening. Di sampingnya Shela meringkuk menjadikan lengannya sebagai bantal. Sebastian pun kembali memeluknya, mengecup pundak Shela yang terekspos. "Sayang, kau tidak bangun?" bisik Sebastian mengusap pipi Shela dan mengecupnya. "Aku masih ngantuk," jawab Shela membalikkan badannya. Sebastian terkekeh pelan, dia kembali memeluk lagi tubuh istrinya dan mendusal seperti anak kecil. Shela lantas membuka mata. Sifat manja seorang Sebastian Morgan hanya dirinya lah yang tahu, selebihnya laki-laki ini memang mudah emosi dan sosok yang keras kepala tanpa ada yang berani menentangnya. "Aku merindukanmu," bisik Sebastian mengecupi pipi kiri Shela terus menerus. Shela tahu, dia merayunya. "Dan aku tidak," jawab Shala menatap sang suami. Laki-laki itu tersenyum, dia mengusap kening Shela dan mendekatkan wajahnya. Kedua telapak tangan Shela membelai pipi Sebastian. "Aku sedang tidak ingin bercinta, jangan merayuku,"