"Kalian jangan nakal, ya ampun... Mami sudah berapa kali bilang jangan bicara seperti itu sama orang yang lebih tua!" Shela mengomeli kedua anaknya, segera ia menarik lengan kedua putranya. Wajah Monica sudah masam sekali, namun Sebastian nampak biasa-biasa saja. Tino dan Tiano masih menatap nyalang pada wanita tua yang mereka panggil Nenek tersebut. "Nenek itu sudah bicara jelek loh tadi, bilang Mami kayak gitu, kita kan tidak suka!" Tino menatap Shela dengan kedua alisnya bertaut. "Tapi Sayang, kalian jangan-""Besok-besok kalau Papi mau ke sini ya ke sini saja sendiri, kita tidak mau ikut!" Tiano menarik tangan Shela. Monica langsung berdiri dari duduknya seketika itu. Wanita berbalut dress panjang putih itu langsung menudingkan hari telunjuknya ke arah Shela. "Beraninya kau meracuni pikiran Cucuku, hah?! Kau membuat mereka membenci dan memakiku?!" amuk Monica pada Shela. Sebastian menatap si dua anak laki-lakinya dan ia menaikkan kedua alisnya. Saat itu juga Tino dan Tiano
"Mami, Papi ke mana? Kok Papi pergi tidak pamit sama kami? Sudah tidak sayang lagi ya?" "Pasti Papi kena mental kita bully terus!" "Tiana mau sama Papi..." Drama ketiga bocah itu dimulai, satu mencari Papinya, yang dua malah mengomel-ngomel sendiri. Shela sangat pusing menghadapi mereka, apalagi Tiana yang sudah terlihat kesal. Anak perempuannya itu memeluk kemeja yang semalam tadi dipakai Sebastian. Seperti amplop dan perangko, Tiana tidak bisa sebentar saja ditinggal Papinya. "Papi nanti pulang kok, hanya pergi sebentar saja, Sayang..." Shela menjelaskan seraya menata beberapa pakaiannya di dalam lemari. "Mami pasti bohong," cicit Tiana manyun. "Papi pasti pergi, pulang sepuluh tahun lagi!" "Ehh, mana ada. Papi itu sedang ke kantor, tadi Om Vir telfon Papi, Sayang." Tino pun melihat adik perempuannya menangis, anak itu mendekati Tiana dan memeluknya dengan penuh kasih sayang. Kalau Tiana sudah marah dan menangis, kedua kembarannya tidak akan mengatakan apapun, mereka akan d
Sesampainya di rumah sakit, dan Adam membawa Tiana berlari lebih dulu masuk ke dalam sebuah ruangan khusus. Sementara Shela menunggu di luar dengan keadaan paniknya. Shela duduk di bangku tunggu sendirian, ia menangis penuh kecemasan yang melanda hatinya. 'Apa yang terjadi? Kenapa bisa jadi begini? Sejauh ini Tiana tidak pernah seperti ini, kenapa saat Sebastian pergi?' batin Shela menangis perih. "Sebastian," lirih Shela, ia menatap kedua telapak tangannya yang kini dipenuhi sisa cairan merah pekat yang masih menempel lekat di telapak tangannya. "Kenapa aku tidak bisa menghubungimu? Kenapa Mama juga tidak bisa aku hubungi?" Shela bertanya-tanya dengan hati yang sangat hampa. Pintu ruangan di depannya terbuka, muncul Adam dengan napas berat dan menatap Shela yang menatapnya pula dengan tatapan tak biasa. "Adam, bagaimana Tiana?" tanya Shela mengerjapkan kedua matanya yang berkaca-kaca. Laki-laki itu menarik satu lengan Shela dan memeluknya dengan erat. Shela bingung, kenapa? A
"Aku yang akan membiayai semua pengobatan Tiana!" Monica berdiri menatap angkuh pada Shela yang berada berdua saja dengannya. Wanita itu memaksa meskipun Shela menolaknya, tapi uang Shela, menjual toko pun kalau untuk pengobatan kedepannya tidak akan cukup. "Kau tidak punya apa-apa lagi kan? Mama dan Papamu juga mana? Tidak bisa kau hubungi saat kau butuh! Sebastian, mana? Dia malah pergi ke luar negeri dan tidak ada kabarnya juga, kan?!" Monica bersedekap dan tersenyum menyeringai. "Kalau kau menolak tawaranku, apa kau akan membiarkan Tiana menjadi mayat di atas ranjang kamar rumah sakit?!" Iris cokelat mata Shela seketika menajam. "Jaga ucapan Nyonya!" sinis Shela. "Terserah kau saja!" Monica tersenyum tipis dan menantang. "Aku rasa kau tidak mau Tiana mati, kan?"Shela ingin menangis dalam keadaan ini. Ditengah kegaduhannya dengan Monica, tiba-tiba Dokter Marisa datang. Wanita dengan jas putih itu menatap Shela. "Apa golongan darah Nyonya O, sama dengan Tiana?" tanya Dokter M
Shela kembali ke rumah sakit diantarkan oleh sahabat Sebastian yang memang mendapatkan perintah dari sahabatnya itu untuk menjaga Shela. Dan saat tiba di rumah sakit, Shela disambut oleh Monica. Wanita itu menghadang langkah Shela yang hendak menuju lorong di mana Tiana dirawat di ujung ruangan sana. "Semuanya sudah lunas, bahkan saat Tiana benar-benar harus transplantasi hati, sudah aku bayar semuanya!" Monica menyerahkan selembar kertas hasil pembayaran pada Shela. Di sana, Shela mengerjapkan kedua matanya bagai orang yang sangat kebingungan. "A-apa maksud Nyonya? Tidak perlu membayar semua ini karena Sebastian akan pulang," jawab Shela menggeleng dan menolak. "Tapi semuanya sudah terbayar, kalau tidak aku bayar pasti cucuku, Tiana sudah mati!" seru Monica, kejamnya manusia yang satu ini. "Dokter memberikanmu waktu sampai pagi tadi kan? Dan aku sudah membayarnya, berarti aku yang bertanggung jawab atas Tiana." "A-apa maksud Nyonya?" Shela menekan kuat-kuat asumsi buruknya. De
"Tante, Tino sama Tiano kangen Mami. Kapan kita boleh bertemu sama Mami?" Tino memeluk Morsil yang tengah menidurkan kedua anak itu. "Tiano juga kangen Adik Tiana," lirih Tiano sedih. Morsil mengembuskan napasnya pelan. Wanita itu mengusap pucuk kepala kedua bocah laki-laki yang tidur di sisi kanan dan kirinya. "Besok pasti Mami akan pulang, kalian tidur gih... Besok kan harus sekolah." Morsil selalu mengalihkan pembicaraan mereka. "Kita besok mau ke rumah sakit saja, tidak mau sekolah." "Loh, jangan begitu dong. Kalau kalian tidak sekolah berarti kalian tidak sayang sama Mami? Tidak kasihan Mami kerja buat kalian tapi kalian malah bolos!" seru Morsil pada si kembar. Kedua anak laki-laki itu kini pun meringkuk memeluknya tanpa berkata apapun lagi. Merawat mereka tiga hari bersama Bibi, Morsil merasakan di posisi Shela. Sangat lelah bukan main, sekuat itulah Shela selama bertahun-tahun ini. Selang beberapa menit lamanya, Tino dan Tiano sudah lelap dalam alam mimpinya. Morsil pu
"Tino, Tiano... Bangun Sayang, lihat itu yang datang siapa." Suara bisikan lembut itu membuat dua anak kembar laki-laki itu terbangun dengan wajah sembab dan mata kiyip mengantuk. Mereka berdua masih malas-malasan dan tidak langsung bangun sampai pintu kamarnya terbuka dan nampaklah dua orang yang langsung membuat mereka membuka mata lebar-lebar. "Oma...!" "Opa...!" Tino dan Tiano sontak bangkit dari duduknya melihat Ferdi dan Stavani datang ke rumahnya. Dua orang itu tersenyum manis dan merentangkan kedua tangannya pada si kembar. Kedua anak itu berdiri di atas ranjang dan memasang wajah sedih begitu Oma dan Opanya memeluk mereka. "Kangen Opa," bisik Tino dalam pelukan Ferdi. Laki-laki itu mengangguk. "Sama, Opa juga kangen dengan Tino dan Tiano. "Mami tidak pernah pulang-pulang, kita tidak tahu Mami di mana! Mami jangan-jangan bawa adik Tiana kabur! Papi juga tidak pulang! Kita tidak pernah diurus lagi!" teriak Tiano sambil menangis menggigit ujung jarinya. "Ssshhhtttt...
Sesampainya di rumah, Shela langsung membersihkan tubuhnya dengan air hangat dan mengganti pakaiannya dengan baju hangat.Gadis itu duduk di tepi ranjang memeluk boneka ikan paus milik Tiana. Sehari-harinya selalu didominan menjaga Tiana, Shela merasakan patah hati terberatnya adalah sekarang."Sayang, istirahatlah," ujar Sebastian begitu laki-laki itu masuk ke dalam kamar. "Aku kepikiran Tiana," jawab Shela memeluk erat boneka milik putrinya. Sebastian pun mendekat, laki-laki itu memeluk Shela dan membimbingnya untuk berbaring di atas ranjang besar di kamar mereka. "Tiana akan baik-baik saja, aku sangat percaya pada Adam dan Janice." Wajah Shela sudah terlihat lelah, Sebastian juga tidak istirahat sama sekali sejak dia datang ke Birmingham dua hari yang lalu. Hanya dalam hitungan detik Shela sudah terlelap dalam pelukannya. Dipeluknya erat-erat oleh Sebastian, laki-laki itu mengecupi wajah Shela dengan perasaan yang amat sedih. 'Maafkan aku Shela, aku tidak tahu kalau kepergian