Tiana tidur bersama dengan Emma semalam. Bahkan hingga larut malam mereka masih berbincang dan bercerita sampai-sampai pagi ini Tiana belum bangun hingga pukul enam. Dengan langkah mengendap-endap, Aldrich masuk ke dalam kamar Mamanya dan mengunci pintunya dari dalam. Ia terkekeh melihat Tiana yang diselimuti hangat-hangat oleh Emma. "Pagi Sayang... Kau tidak bangun?" Aldrich berbaring dan memeluk Tiana. Gadis itu menarik selimutnya dan malah mendusal dalam dekapan Aldrich. "Semalam diajak dongeng sama Mama? Sampai-sampai masih ngantuk, hem?" tanya Aldrich merapikan anak rambut di wajah Tiana. "Diam! Aku masih marah," ujar Tiana membungkam bibir Aldrich dengan mata yang masih terpejam.Aldrich mengembuskan napasnya pelan, ia pikir perkara semalam Tiana lupa. Bahkan setelah ditinggal tidurpun, belum sepenuhnya bangun, dia masih ingat. Memang wanita mempunyai ingatan yang tinggi, apalagi kalau pasangannya berbuat salah, beginilah Aldrich saat Tiana marah. Seperti bocah kebingungan
Hari sudah malam, di kediaman Sebastian sangat ramai besok acara pernikahan Tiana. Meskipun dilaksanakan di sebuah hotel, namun beberapa rekan Sebastian dan Shela berkumpul di rumah. Di antara semua orang yang ada, Tiana tidak menemukan kembarannya, Tiano. Dia duduk sendirian di teras belakang. "Tiano," sapa Tiana berjalan mendekatinya. Tiano menoleh dan tersenyum. "Sini Sayang," panggilnya, dia begitu perhatian dan lembut pada Mami dan Adik kembarannya. Tiana mendekat dan duduk memeluknya. "Kak Tiano kenapa duduk di sini sendirian? Ada masalah ya? Soal pekerjaan tadi?" desak Tiana mendongak memasang wajah sedih. Laki-laki itu mengangguk. "Seseorang menghancurkan karierku, Tiana." "Hah? Si-siapa?" "Seseorang yang menuduhku menghabisi istrinya. Padahal waktu itu aku..." Tiano terdiam menggantunh ucapannya. "Jelas-jelas bukan aku yang menabrak wanita itu. Tapi mereka menuduhku dan tidak ada orang yang membelaku di pusat. Mereka seperti persekongkolan yang memang ingin menendangku
Acara pernikahan berjalan dengan baik di hari yang cerah. Seperti yang Aldrich inginkan selama ini, dia berhasil pada satu misi di hidupnya, yaitu mendapatkan Tiana untuk menjadi miliknya seumur hidup. Mereka kini sudah menjadi pasangan yang resmi, di usia yang masih sangat-sangat muda. Tiana merasakan seperti ada sesuatu yang hilang pada dirinya setelah ia menjadi istri Aldrich beberapa menit yang lalu. Gadis itu diam menundukkan kepalanya di tengah acara pesta. "Kenapa?" tanya Aldrich menatap Tiana yang diam. Tiana mengangkat wajahnya. "Seperti ada yang lain, seperti ada yang hilang dari Tiana," jawabnya sembari tersenyum. Aldrich terkekeh pelan, ia mengusap punggung Tiana dengan lembut. "Kau tetap menjadi anak Mami dan Papi, tetap menjadi kembaran Tino dan Tiano seperti biasanya. Hanya saja, ada aku sebagai orang baru dalam hidup kalian. Dan, tanggung jawab Papi sekarang pindah ke tanganku." Tiana mengangguk patuh, dia merapikan gaun pengantinnya dan menatap semua tamu di sa
Pukul dua dini hari Tiana terbangun dari tidurnya. Gadis itu mengeliat di atas ranjang sembari mendusal dalam pelukan Aldrich. Tiana membuka kedua matanya, pandangannya yang buram membuat ia mencari-cari kaca matanya yang entah kini ada di mana. "Apa jangan-jangan ketinggalan ya?" lirih Tiana nyaris tak bersuara. Dengan sangat pelan ia melepaskan pelukan Aldrich, perlahan Tiana merayapkan tangannya di atas nakas berniat mencari kaca matanya. Tiana turun dari atas ranjang, di dalam kamar yang minim cahaya dan pandangannya yang buram membuat Tiana kesusahan melihat segalanya. "Aduhh..!" Gadis itu memekik sakit saat terjatuh entah tersandung sesuatu. "Tiana!" Aldrich langsung terbangun mendengar pekikan keras istrinya. Laki-laki itu menyalakan penerangan kamar dan melihat Tiana duduk di lantai memegangi lututnya. "Ya ampun, mau ke mana Sayang?" tanya laki-laki itu mendekatinya. "Kaca mata punya Tiana ketinggalan, ya?" tanya gadis itu memegangi lengan Aldrich. "Tidak. Aku menyimp
"Eunghh... Aldrich." Lenguhan kecil terdengar dari bibir Tiana, gadis itu membuka kedua matanya pelan saat merasakan gerah di sekujur tubuhnya. Pelukan hangat dan erat melilit tubuh Tiana yang kini terasa sangat-sangat lelah. Ia merasakan pelukan Aldrich kian erat padanya, sebelum sebuah kecupan mendarat di wajah Tiana. "Terima kasih banyak, Sayang," bisik Aldrich tersenyum hangat. Tiana sudah berkali-kali mendengar kata terima kasih dari bibir suaminya sejak tadi. "Capek tahu, Aldrich..." Tiana cemberut dan menarik tinggi-tinggi selimutnya menutup tubuhnya yang polos. "Maaf Sayang." Aldrich tersenyum gemas. Masih terekam jelas di ingatannya begitu Tiana menangis memeluknya hingga semuanya berakhir dengan penuh cinta. Aldrich berbaring di sampingnya dengan tubuhnya dibalut kimono berwarna putih. Laki-laki itu menyangga kepala dan mengusap-usap pipi Tiana yang memerah. "Jam berapa ini?" tanya Tiana mengerjap. "Sembilan," jawab laki-laki itu tanpa membuang tatapannya dari waj
Tiana bangun tidur di sore hari, gadis itu berjalan perlahan keluar dari dalam kamar. Rumah sangat sepi saat ini dan Tiana bangun tanpa Aldrich di sampingnya. Langkah Tiana yang sangat lamban menuruni anak tangga. Di sana Tiana melihat suaminya yang duduk di sofa ruang tamu, Aldrich meluruskan kedua kakinya di atas meja, mendongakkan kepala menutup dengan lengan kanannya yang tertekuk di atas muka. "Dia pasti lelah," gumam Tiana mendekat. Gadis itu mengulurkan tangannya menyentuh kepala Aldrich dengan lembut hingga sukses membuat sang empu terkejut. "Astaga, Sayang..." Laki-laki itu membuka matanya. Tiana tersenyum manis, wajahnya kini sudah terlihat segar. Dia menundukkan kepalanya mengecup pipi Aldrich. "Capek ya? Tiana tidak bantu-bantu tadi," ujar Tiana memutar sofa dan berdiri di hadapan Aldrich. "Tidak papa. Tino baru saja pulang," balas Aldrich. "Kak Tino?!" "Heemmm, dia ke sini mengantarkan berkas yang dibawa Om Vir. Sejak tadi siang dia di sini mengerjakan dokumen Ba
"Aldrich besok mau ke kantor, ya? Tidak jadi libur satu minggu?" Pertanyaan itu terlontar dari Tiana yang sedang duduk di tepi ranjang menatap suaminya. Aldrich menoleh dan tersenyum tipis seraya menyunggar rambut cokelatnya di depan cermin. "Mungkin hanya meeting saja, setelah itu aku langsung pulang, Sayang. Kenapa memangnya?" tanya Aldrich berbalik berjalan mendekati Tiana. Tatapan mata Tiana yang sayu membuat telapak tangan Aldrich melekat menangkup satu pipi wanitanya. Aldrich mengelusnya dengan ibu jari secara lembut. "Tiana di rumah sendirian dong..." "Ikut saja bagaimana? Nanti diam di dalam ruanganku, pulangnya kita jalan-jalan, bagaimana?" tawar suaminya. "Semua orang nanti lihatin Tiana terus." Cemberut gadis itu. Aldrich terkekeh, ia membungkukkan badannya dan menarik lepas kaca mata yang Tiana pakai. Laki-laki itu semakin mendekatkan wajahnya hingga terasa hangat embusan napas yang menyapu kulit pipi Tiana. "Biar saja semua orang melihat, kau kan memang istriku.
Setelah menunggu beberapa menit bersama Misora di dalam ruangan, Tiana kini mengajak teman barunya itu keluar sebentar. "Saya tidak berani keluar dari sini, nanti Pak Tiano akan marah Nyonya Tiana," ujar Sora, dia mencekal pergelangan tangan Tiana. "Tidak akan, tenang saja... Ayolah, kita makan siang di kantin yuk! Kalau menunggu mereka selesai meeting, kita bisa mati kelaparan, Sora!" seru Tiana menarik lengan Sora. Mau tidak mau Sora pun langsung ikut dengan Tiana. Mereka berdua berjalan keluar dari dalam ruangan tersebut dan menuju ke lantai dasar. Tiana kelaparan kalau harus makan siang menunggu Aldrich yang tidak kunjung kembali. Aldrich dan Tiano, mereka pasti kalau meeting sampai ke akar-akarnya akan dibahas. "Sora, kau benar-benar dari Jepang, ya?" tanya Tiana kini berjalan berdampingan dengan gadis itu. "Betul Nyonya, Mama dan Papa saya asli orang Jepang, lalu Papa meninggal dan Mama menikah lagi, kita pindah ke Inggris saat saya berusia lima tahun, tapi saat saya sekol