"Bi, mulai sekarang jangan sampai Tiana membantu-bantu apapun ya. Kalau dia melakukan pekerjaan, ambil saja langsung. Dia butuh istirahat total!" Aldrich menasihati pembantunya, wanita dengan setengah baya itu menganggukkan kepalanya patuh. "Baik Tuan, saya setiap hari sebenarnya juga melarang Nyonya. Tapi Nyonya Tiana sendiri yang tidak bisa saya larang." Hal semacam itu sudah Aldrich duga. Istrinya memang sangat keras kepala. Apapun yang dia inginkan tidak akan bisa dibantah begitu saja. Aldrich tidak lagi kaget dengan sosok Tiana Morgan yang sangat dia cintai."Sayang... Sayang kau di mana?" Suara gadis itu membuat Aldrich menoleh ke lantai dua, Tiana berjalan keluar dari dalam kamar dengan wajah bantalnya. Dia baru saja bangun tidur, masih mengantuk dan lesu. "Hei, aku di sini!" Aldrich melambaikan tangannya. Sontak Tiana tersenyum lebar, gadis itu berjalan menuruni anak tangga dengan cepat dan berjalan mengulurkan kedua tangannya memeluk tubuh Aldrich."Kenapa sudah bangun
Aldrich mengantarkan Marsha pulang ke sebuah apartemen. Namun dia hanya berhenti di tepi jalan saja, laki-laki itu awalnya juga malas namun itu semua juga perintah Papanya. Marsha melepaskan sabuk pengamannya dan menoleh pada Aldrich. "Al, kau tidak ingin mampir ke apartemenku?" tawar Marsha menatap Aldrich dalam-dalam. "Tidak terima kasih." "Aku akan membuatkan teh atau kopi dan camilan untukmu Al, ayo..." Marsha bersikeras membujuk Aldrich. Hal ini membuat laki-laki itu merasa risih dan kesal. Wanita itu tidak tahu kalau Aldrich bukanlah wanita yang mudah sekali untuk digoda. "Istriku sedang menungguku, cepat keluar dari dalam mobilku sekarang!" perintah Aldrich menoleh dan memberikan tatapan dingin pada wanita itu.Marsha mendengkus pasrah. "Ya sudah, terima kasih ya, Al..." Aldrich tidak menjawabnya. Ia pun langsung beranjak pergi dari depan gedung apartemen saat itu juga. Sepanjang perjalanan, ia hanya bisa mengumpat kesal dan marah. Aldrich tahu betul pasti Papanya yan
"Tiana... Ke mana dia?" Aldrich terbangun dari tidurnya pukul dua dini hari. Laki-laki itu menoleh ke kanan dan ke kiri mencari istrinya yang tidak ada di sampingnya saat ini. Hal itu membuat Aldrich langsung beranjak cepat dari atas ranjang dan membuka pintu lebar-lebar. "Tiana...!" Tak tanggung dia berteriak memanggil nama istrinya. Aldrich hendak berjalan menuruni anak tangga ke lantai satu, namun ia mendengar suara pintu yang terbentur pelan dan beraturan pada tembok. Angin semilir berasal dari balkon lantai dua. Ia segera berjalan ke sana. "Astaga, apa yang dia lakukan di sini?" gumam Aldrich melihat Tiana tidur terduduk memeluk kedua lututnya. Meskipun menggunakan selimut, namun angin malam ini cukup kuat dan Tiana pasti menggigil kedinginan bila lebih lama lagi. "Sayang, kenapa tidur di sini?" tanya Aldrich melepaskan kaca mata yang Tiana pakai. "Ck! Apa sih..." Tiana dengan kedua mata terpejam dia mendorong lengan Aldrich menjauh darinya. "Hei, kenapa malah tidur di
Tiana membeku dengan sorot mata dingin pada suaminya. Demam sambil marah membawa Tiana merasa lelah dua kali, namun kesal pula ia dengan suaminya. Dia memperhatikan Aldrich yang kini duduk di sampingnya dan menatapnya. "Sayang, ini nomornya Marsha. Dia adalah seorang asisten yang dikirimkan Papa untuk mewakili beberapa acara penting," ujar Aldrich menjelaskan pada istrinya yang marah. "Tapi jangan seperti itu juga. Dia berkata seolah-olah dia memiliki hubungan denganmu, aku kesal, aku salah paham..." Gadis itu menutup wajahnya dan menangis. Senyuman tipis tercetak jelas di bibir Aldrich, dia menarik pundak Tiana dan memeluknya."Aku tidak akan pernah mengkhianati pernikahan kita, jangan khawatir tentang aku. Aku tidak akan berselingkuh dengan siapapun," jawab Aldrich mengusap punggung kecil Tiana. "Sudah, sudah, tidak papa... Istirahatlah yang cukup buat cepat sembuh, okay?" Aldrich mengecup pipi Tiana dengan gemas. Tiana mengangguk, dia memeluk erat tubuh suaminya. "Aldrich ja
'Tiana sedang hamil, tapi masih muda sekali dan juga sangat rentan. Mohon berhati-hati.'Tiana terdiam menundukkan kepalanya seraya mengusap perutnya yang rata mengingat apa yang tadi dokter katakan kepadanya kalau dirinya kini tengah mengandung. Rasa bahagia, tak menduga-duga kalau hal ini akhirnya datang juga kepadanya. Aldrich pun juga sangat bahagia dan senang. "Kenapa diam saja? Jangan banyak berpikir yang aneh-aneh," ujar laki-laki itu menggenggam satu telapak tangan Tiana. "Tidak, Tiana tidak berpikir yang aneh-aneh kok," jawab Tiana menatap suaminya. "Tiana kan lagi senang." "Ya, aku juga senang. Terima kasih banyak, istriku..." Kedua pipi Tiana merona saat Aldrich meraih tangannya dan mengecup punggung tangan kecil Tiana dengan mesra. "Tapi kepala Tiana tapi rasanya mau pecah. Ya ampun... Kenapa pusingnya tidak hilang-hilang sih, kalau begini terus rasanya mau nyerah saja!" Tiana mendongakkan kepalanya dan ia kembali berbaring. "Sabar Sayang, berkala sakitnya akan hila
Hari ini Tiana sudah lebih baik, dokter mengizinkan untuknya pulang. Aldrich sudah tiga hari tidak datang ke kantor demi menemani Tiana. Mereka baru saja keluar dari area rumah sakit siang ini. Sebelum pulang, Tiana sempat-sempatnya meminta dress baru pada Aldrich."Apa Tiana penampilannya buruk?" tanya Tiana tiba-tiba memotong langkah Aldrich dan berdiri di hadapan suaminya. Laki-laki itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Tidak. Cantik sekali dengan dress barunya." "Tidak bohong kan?" Tiana memeluk satu lengan Aldrich dan kembali berjalan. Pertanyaannya dijawab kekehan oleh suaminya itu. Ia mengecup pucuk kepala Tiana dengan gemas, dalam benaknya pun gemas dengan tingkah Tiana. Bagaimana mungkin setelah sakit dia malah terlihat sangat cantik. Dress baru sepanjang bawah lutut berwarna merah muda, dengan lengan puff, rambut tergerai sepinggang dan bando senada. Dia juga meminta aksesoris seperti kalung, gelang, anting, dan cincin mutiara. Bahkan Tiana sempat merajuk ingin
Hujan deras turun malam ini, Aldrich tengah duduk di dalam ruangan kerjanya seorang diri. Laki-laki itu mengembuskan napasnya panjang menatap layar laptopnya. Baru juga tiga hari dia tidak bekerja, ternyata pekerjaannya sudah menumpuknya banyak dan akan menjadi tugas beratnya. "Hahh... Tiga hari saja sudah seperti ini, bagaimana kalau sampai berhari-hari. Mungkin aku bisa gila!" Aldrich memijit pelipisnya pelan. Laki-laki itu meraih ponsel miliknya yang berada di atas meja, ia mencoba menghubungi Samuel saat ini juga. "Halo Sam, kau di mana? Oh... Kau di kantormu? Bisa kau ke sini, bantu aku menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda kemarin?" Aldrich duduk bersandar dan mengetukkan jemarinya di atas meja dengan teratur. "Okay, aku menunggumu!" Laki-laki itu menyergah napasnya panjang dan langsung memutus panggilan tersebut. Pandangan Aldrich tertuju pada secangkir kopi yang sudah kosong di atas meja kerjanya. Laki-laki itu beranjak dari duduknya. Ia melangkah keluar, tanp
Hari demi hari berjalan dengan cepat, Tiana menjalani kehidupannya seperti biasanya. Ia kini menjadi wanita muda yang sedang hamil. Namun semuanya tak seindah yang Tiana bayangkan. Bila ia hamil Aldrich akan memiliki banyak waktu dengannya, nyatanya juga tidak. Siang ini, Tiana berada di sebuah bazar kota. Ia pergi sendirian tanpa pamit pada Aldrich karena merasa sangat bosan di rumah sendirian. "Beli apa lagi ya?" gumam lirih Tiana menatap keranjang belanjaannya. Dia berjalan mendekati penjualan hiasan rumah. Tiana memilih beberapa guci keramik kecil di sana. Saat Tiana hendak mengambil guci berwarna merah muda, ia bersamaan dengan seseorang meraih benda itu. "Oh, maaf..." Laki-laki itu berucap. Tiana menoleh cepat, mereka saling menatap sebelum akhirnya tersenyum. "Ya ampun, Tiana!" pekik laki-laki itu. "Ihhh, aku pikir siapa!" Tiana memukul lengan laki-laki itu yang tak lain adalah Renhard. Mereka saling tertawa, Renhard sama sekali tidak berubah. "Mana Aldrich? Ke sini