'Tiana sedang hamil, tapi masih muda sekali dan juga sangat rentan. Mohon berhati-hati.'Tiana terdiam menundukkan kepalanya seraya mengusap perutnya yang rata mengingat apa yang tadi dokter katakan kepadanya kalau dirinya kini tengah mengandung. Rasa bahagia, tak menduga-duga kalau hal ini akhirnya datang juga kepadanya. Aldrich pun juga sangat bahagia dan senang. "Kenapa diam saja? Jangan banyak berpikir yang aneh-aneh," ujar laki-laki itu menggenggam satu telapak tangan Tiana. "Tidak, Tiana tidak berpikir yang aneh-aneh kok," jawab Tiana menatap suaminya. "Tiana kan lagi senang." "Ya, aku juga senang. Terima kasih banyak, istriku..." Kedua pipi Tiana merona saat Aldrich meraih tangannya dan mengecup punggung tangan kecil Tiana dengan mesra. "Tapi kepala Tiana tapi rasanya mau pecah. Ya ampun... Kenapa pusingnya tidak hilang-hilang sih, kalau begini terus rasanya mau nyerah saja!" Tiana mendongakkan kepalanya dan ia kembali berbaring. "Sabar Sayang, berkala sakitnya akan hila
Hari ini Tiana sudah lebih baik, dokter mengizinkan untuknya pulang. Aldrich sudah tiga hari tidak datang ke kantor demi menemani Tiana. Mereka baru saja keluar dari area rumah sakit siang ini. Sebelum pulang, Tiana sempat-sempatnya meminta dress baru pada Aldrich."Apa Tiana penampilannya buruk?" tanya Tiana tiba-tiba memotong langkah Aldrich dan berdiri di hadapan suaminya. Laki-laki itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Tidak. Cantik sekali dengan dress barunya." "Tidak bohong kan?" Tiana memeluk satu lengan Aldrich dan kembali berjalan. Pertanyaannya dijawab kekehan oleh suaminya itu. Ia mengecup pucuk kepala Tiana dengan gemas, dalam benaknya pun gemas dengan tingkah Tiana. Bagaimana mungkin setelah sakit dia malah terlihat sangat cantik. Dress baru sepanjang bawah lutut berwarna merah muda, dengan lengan puff, rambut tergerai sepinggang dan bando senada. Dia juga meminta aksesoris seperti kalung, gelang, anting, dan cincin mutiara. Bahkan Tiana sempat merajuk ingin
Hujan deras turun malam ini, Aldrich tengah duduk di dalam ruangan kerjanya seorang diri. Laki-laki itu mengembuskan napasnya panjang menatap layar laptopnya. Baru juga tiga hari dia tidak bekerja, ternyata pekerjaannya sudah menumpuknya banyak dan akan menjadi tugas beratnya. "Hahh... Tiga hari saja sudah seperti ini, bagaimana kalau sampai berhari-hari. Mungkin aku bisa gila!" Aldrich memijit pelipisnya pelan. Laki-laki itu meraih ponsel miliknya yang berada di atas meja, ia mencoba menghubungi Samuel saat ini juga. "Halo Sam, kau di mana? Oh... Kau di kantormu? Bisa kau ke sini, bantu aku menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda kemarin?" Aldrich duduk bersandar dan mengetukkan jemarinya di atas meja dengan teratur. "Okay, aku menunggumu!" Laki-laki itu menyergah napasnya panjang dan langsung memutus panggilan tersebut. Pandangan Aldrich tertuju pada secangkir kopi yang sudah kosong di atas meja kerjanya. Laki-laki itu beranjak dari duduknya. Ia melangkah keluar, tanp
Hari demi hari berjalan dengan cepat, Tiana menjalani kehidupannya seperti biasanya. Ia kini menjadi wanita muda yang sedang hamil. Namun semuanya tak seindah yang Tiana bayangkan. Bila ia hamil Aldrich akan memiliki banyak waktu dengannya, nyatanya juga tidak. Siang ini, Tiana berada di sebuah bazar kota. Ia pergi sendirian tanpa pamit pada Aldrich karena merasa sangat bosan di rumah sendirian. "Beli apa lagi ya?" gumam lirih Tiana menatap keranjang belanjaannya. Dia berjalan mendekati penjualan hiasan rumah. Tiana memilih beberapa guci keramik kecil di sana. Saat Tiana hendak mengambil guci berwarna merah muda, ia bersamaan dengan seseorang meraih benda itu. "Oh, maaf..." Laki-laki itu berucap. Tiana menoleh cepat, mereka saling menatap sebelum akhirnya tersenyum. "Ya ampun, Tiana!" pekik laki-laki itu. "Ihhh, aku pikir siapa!" Tiana memukul lengan laki-laki itu yang tak lain adalah Renhard. Mereka saling tertawa, Renhard sama sekali tidak berubah. "Mana Aldrich? Ke sini
Sesampainya di rumah, Aldrich melemparkan keranjang berisi belanjaan Tiana di lantai bawah tangga. Guci merah muda bergambar kupu-kupu itu pecah, bunga tulip yang Tiana beli berceceran dan patah. Tiana berdiri di dekat sofa menundukkan kepalanya. "Tidak usah asa acara belanja-belanjaan lagi!" teriak Aldrich menendang keranjang rotan itu. Dia marah sejak di kantor dengan beberapa orangnya yang tak kunjung menyelesaikan pekerjaan, ditambah melihat Tiana pergi sendiri, dan bertemu dengan Renhard, jelas-jelas dia tahu kalau Renhard adalah laki-laki yang pernah mencintai Tiana. "Awas kalau kau pergi lagi! Tanpa pamit padaku, awas kalau kau ulangi lagi kejadian ini, Tiana!" teriak Aldrich menuding istrinya yang hanya diam saja. "Ya ampun, Tuan..." Suara Bibi begitu terkejut dengan amarah Aldrich pada Tiana saat ini. Mereka yang setiap hari selalu harmonis dan manis, kini Aldrich begitu marah hebat. "Diam Bi! Jangan membelanya, semakin dibela dia akan semakin melunjak!" pekik Aldrich.
Hari sudah malam dan Tiana berdiam diri di balkon rumah seperti biasanya. Ia tidak berbicara sepatah katapun pada Aldrich. Mengabaikan suaminya, padahal biasanya Tiana yang paling happy dan selalu mengejar Aldrich, mengajaknya berbincang bahkan kadang Aldrich sampai membekam bibir Tiana karena gemas. Tapi kini, semua itu tidak ada lagi. 'Aku ingin bertemu Mami, tapi bagaimana aku bisa pergi?' batin Tiana dengan perasaan gundah. Ia menyandarkan punggungnya, duduk dengan kedua kaki lurus dan memejamkan kedua mata merasakan dinginnya angin yang menusuk kulit putihnya. 'Aku tidak percaya aku akan mendiaminya seperti ini, berharap dengan aku begini dia sadar, kalau aku tidak selamanya bisa patuh pada garis yang dia inginkan. Menjadi istri yang baik bukan berarti aku patuh dan salah terus menerus di matanya. Aku juga manusia, bahkan Mami dan Papi, Tino dan Tiano, Oma dan Opa, Kakek dan Nenek, sekalipun tidak pernah membentakku. Tapi dia... Dia memarahiku sehebat itu saat aku sedang ham
Aldrich kembali membeli Ramen, kini ia menemani istrinya makan. Menyuapinya dengan perlahan hingga Tiana tiba-tiba tertidur sebelum makannya selesai. Ia tidak membangunkannya, melihat wajah Tiana yang begitu lelah, Aldrich tidak tega. "Kau pasti lelah, Sayang?" bisik Aldrich mengecup pipi Tiana dan membaringkannya perlahan. Aldrich menyelimuti dengan hangat, menemaninya beberapa menit sekedar menatap wajah cantik istrinya. Barulah itu melangkah keluar dari dalam kamar. Di depan pintu Aldrich melihat Bibi berdiri di sana menatapnya dengan tatapan khawatir. "Tuan, Nyonya baik-baik saja kan? Makannya tidak habis, ya?" Anggukan Aldrich berikan. "Iya Bi. Mungkin dia masih marah padaku." Wajah Aldrich menjadi sangat kecewa. Bibi menatapnya dengan tatapan kasihan, wanita itu menghela napas. Aldrich sendiri juga tahu betul kalau Bibi sangat menyayangi Tiana dan begitu perhatian sekalipun Tiana meminta hal yang aneh-aneh padanya. "Nyonya Tiana sangat sensitif, Tuan. Di masa kehamilanny
Seperti seorang bocah yang semua keinginannya harus dipenuhi, Tiana sungguh mengajak Aldrich ke rumah Mami dan Papinya. Bisa tidak bisa ia ingin mengadukan suaminya itu pada Papinya, biar dimarahi dan tidak mengulang kesalahan yang sama. Tiana pun langsung berjalan masuk ke dalam rumah begitu sampai. "Mami...!" pekiknya keras-keras berjalan masuk ke dalam. "Mam... Mami!" "Heh! Teriak-teriak aja!" sahut Tino dengan nada tinggi. "Mami mana? Papi mana?" tanya Tiana menatap Tino yang duduk di sofa ruang keluarga sembari bermain game di televisi. "Cari Tiana! Ya ampun, kebiasaan sekali sih! Punya kaki, mata juga sudah disambung dengan kaca mata, cari!" pekik kembarannya itu masih fokus pada game yang dia mainkan. Saat itu juga Tiana meraih bantalan sofa dan melemparkannya ke arah Tino seketika."Tidak usah marah juga! Tiana itu juga punya perasaan tahu!" pekik Tiana merengek. Keributan itu membuat Aldrich menghela napasnya panjang-panjang. Laki-laki itu berdiri di ambang pintu mena