“Ya, karena dibuat oleh tangan professional.”Gaara menyeringai mendengarnya. Gadis itu cukup berani, dan to the point. Sepertinya dia baru saja melakukan yang benar. Perempuan ini suka bunga, dan pengetahuannya sebagai pria gentleman membantunya sedikit walaupun tidak cukup untuk meredakan kemarahan gadis ini.“Lalu kau tidak berterima kasih?”“Aku tidak minta diberi bunga.”Gaara merasa dirinya seakan-akan terhipnotis. Ketajaman mata gadis itu dan pembawaannya yang penuh dengan amarah entah kenapa terlihat dua kali lipat jauh lebih seksi. Itu terlihat lebih baik dari pada sebuah senyuman menggoda yang biasa Gaara terima dari gadis-gadis lain. Sesuatu seperti itu jarang dia terima dari orang lain.Mestinya dia merasa terganggu atau paling tidak marah karena diperlakukan seperti ini. Tetapi kenyataannya Gaara malah terdorong untuk merengkuh gadis itu dan memberinya sebuah ciuman penuh gairah. Tapi tentu saja dia tidak segila itu, dan masih bisa menahan dirinya. Dia tahu betul bahwa ha
“Kenapa kau menyeretku dalam hal ini?” protes Esther untuk kesekian kalinya.Saat ini mereka sudah berada di dalam Range Rover-nya Gaara yang sudah melaju di jalan raya, dan rasanya sudah sangat terlambat baginya untuk terus menerus memprotes apa yang Gaara perbuat. Esther tidak tahu kemana pria itu akan membawanya, tetapi jelas di lubuk hatinya bila pria itu bermaksud untuk membawanya ke tempat yang mencurigakan Esther bersumpah akan menghadiahi pria itu satu bogem mentah di wajahnya dan menendang tulang keringnya hingga geser.“Tidak bisakah kau terima kenyataan saja kalau aku hanya ingin bolos bersamamu hari ini?”Esther langsung bungkam, tetapi sekarang yang jadi kegelisahannya adalah ayahnya. Dia terlalu takut untuk menebak bagaimana reaksi ayahnya jika sampai tahu putri sulungnya berbuat aneh-aneh macam bolos kuliah dengan seorang berandalan macam Gaara Maxwell.“Berhentilah terus melirik ke layar handphonemu! Itu mengesalkan! Kau membuatku gila!” Akibat terlalu fokus pada Esthe
Esther mulanya agak ragu untuk duduk disebelah Gaara, tetapi kemudian setelah mempertimbangkan akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti kemauan pemuda itu. Dia mengambil jarak aman darinya, tidak terlalu dekat tetapi tidak juga terlalu jauh. Baginya itu perlu mengingat Gaara terkadang bersikap diluar prediksi.“Aku pernah punya pemikiran kalau kau dari luar negeri. Tapi aku tidak yakin juga kau memang lahir disini.”“Karena sudah kuberitahu harusnya kau sekarang yakin aku bukan dari sini,” sahut Gaara sambil menyesap minumannya.“Jadi … sebenarnya kau dari daerah mana?” tanya Esther memulai.“Wah, kau penasaran juga ya?”Wajah Esther memerah, dia agak malu karena kepergok memperlihatkan rasa keingintahuannya yang besar. “Kau sendiri kan yang pertama menyinggung-nyinggung masalah tempat kelahiran?”Sesaat Gaara terdiam cukup lama. Pandangan matanya menerawang jauh seakan-akan dia sedang melihat sesuatu dari masa lalu. “Aku lahir di sebuah kota kecil dekat gurun pasir di Australia.”Mulu
Perjalanan mereka kembali ke kampus lebih banyak diisi oleh kebisuan. Gaara menyetir dalam diam, pun juga dengan Esther yang lebih memilih bungkam sambil mengawasi pemandangan di luar kaca mobil dengan ekspresi wajah yang muram. Karena tidak ada percakapan sama sekali, entah mengapa perjalanan kali ini terasa jadi jauh lebih lama daripada yang sebelumnya.Tetapi untung saja, dengan kepiawaian Gaara dalam berkendara mereka kini telah sampai di parkiran kampus. Esther segera turun dari mobil dan memberikan pria itu sebuah salam terakhir.“Terima kasih,” katanya dengan suara pelan sambil membawa tubuhnya menjauh. Dia memang sengaja tidak ingin berlama-lama dan tidak mau banyak berinteraksi dengan Gaara. Dia tidak mau tahu apa yang pria itu katakan sebagai jawabannya. Tetapi …“Hei Esther!”Esther mau tidak mau menghentikan langkahnya tatkala mendengar namanya dipanggil dari arah belakang. Dia mendapati Gaara yang berlari kecil mendekat padanya dengan ekspresi wajah yang tidak mudah diteb
Satu hal yang dipastikan akan terjadi adalah Gaara sudah pasti akan murka terhadapnya. Dan Esther merasa bahwa bila kemarahan telah mendominasi pria itu maka dia tidak akan ragu-ragu untuk melakukan apa saja, sama seperti cerita yang pria itu bagi padanya saat di taman kota. Tentang bagaimana dia mengirim kakak tingkat yang menipunya ke rumah sakit. Esther rasa nasib serupa akan dia dapatkan bila si Vinson bajingan ini tiba-tiba saja buka mulut. Tubuh gadis itu mendadak merinding karena pemikirannya sendiri.“Kalau kau memberitahu dia perjanjian kita batal.”“Oh? Jadi kau sangat peduli terhadap pendapat Gaara juga ya? Aku kira kau sama kejamnya seperti sepupumu.” Vinson mengucapkan kata terakhirnya dengan penuh nada kebencian. Sudah bukan rahasia umum bahwa Elson dan Vinson adalah musuh bebuyutan. Mereka tidak pernah akur, dan Esther tahu kebencian yang mereka miliki untuk masing-masing. “Tapi karena kau tidak sama dengan sepupumu, maka aku akan memberimu sedikit keringanan. Permainan
Esther menyipitkan kedua matanya, rasanya agak aneh saat ayahnya mengajak keluar untuk sekadar makan malam dan yang membuat kecurigaannya makin meningkat levelnya adalah fakta bahwa sang ayah ingin membawa Esther untuk makan malam bersama seorang kolega. Lagipula keberadaan Esther tidak diperlukan bila hanya untuk makan malam bisnis. Esther mencium sesuatu yang tidak beres dari itu.“Aku harap ini bukan salah satu usaha Ayah untuk menjodohkanku lagi seperti saat itu. Ayah tahu betul kalau aku belum tertarik untuk menikah,” ungkap Esther diplomatis.Dia masih cukup mengingat kesan pertamanya saat ikut makan malam bersama sang ayah saat masih SMA dan bisa dibilang itu adalah pengalaman yang agak traumatis untuknya.“Kenapa kau bisa langsung menyimpulkan begitu? tapi ya, Ayah dengar anak dari kolega bisnis ayah ini seumuran denganmu, dia laki-laki dan kalian kuliah di kampus yang sama. Jadi kami bermaksud untuk saling memperkenalkan anak kami berdua dalam acara makan malam tersebut.”Est
Sepasang mata Esther langsung menajam secara otomatis, buat gadis itu apa yang Gaara lakukan sekarang sudah terlanjur menyentuh hal yang tidak seharusnya pria itu ketahui. Dia telah melewati batasnya sebagai seorang kenalan. Lagipula Gaara tidak punya hak untuk tahu terlalu banyak. Mau Esther berkendara ke kampus atau tidak itu bukan ranahnya untuk dia bicara. Terlebih pria itu juga malah menyeruak kenangan yang terbilang sensitif bagi Esther. Gadis itu paling tidak suka ketika seseorang mengingatkan dia tentang kejadian yang menghancurkan hatinya tersebut.“Terus terang aku tersanjung dengan kepedulianmu yang entah datang dari mana itu, tetapi aku sama sekali tidak melihat adanya keuntungan yang bisa kau dapatkan dari jawabanku.”Gaara tidak langsung mundur, pria itu malah membalas pandangan mata gadis itu dengan tatapan yang sama tajamnya. “Aku hanya sedang mencoba menjadi lebih baik padamu, Esther,” sahutnya dengan sedikit mendesis. Apa pula yang gadis itu lakukan sekarang? Disini
Gaara melempar atasan yang dia kenakan ke lantai sebelum melemparkan dirinya yang bertelanjang dada ke atas ranjang dengan lengan menutup mata. “Perempuan sialan …,” ujarnya mengumpat pada udara yang ada di sekitarnya.Gaara teramat benci atas fakta bahwa perempuan itu berhasil membuat perasaannya menjadi kacau balau seperti ini. Sebelum ini tidak ada yang bisa membuatnya merasakan perasaan seperti ini kecuali ibunya. Semua kejadian di kampus berputar ulang secara otomatis, dan hal itu membuat moodnya berubah seratus delapan puluh derajat sore ini.Dia tidak tahu apa yang salah dengan pertemuan mereka. Awalnya mereka bisa bersikap seperti biasa, tapi tiba-tiba saja perempuan itu berubah defensif seakan-akan Gaara akan melakukan hal buruk terhadapnya. Belum pernah ada perempuan yang berani bersikap demikian kepadanya, sehingga sekali lagi dia merasa Esther baru saja menginjak harga dirinya. Mengingat ekspresi wajah Esther yang menantang membuat darah Gaara kontan mendidih dengan sendir