"Mama, aku laper!" Kini Nia yang bersuara, ia memandang ke arah ketupat sayur milik Helen yang belum habis. dengan kuah yang kuning juga kerupuk orange diatasnya, membuat Nia tak berkedip memandang ka arah piring. "Coba bagi dikit, sini!" pinta Eni, entah pada siapa yang dituju. "Mbok, ya dimandikan dulu, Ni, liat tu anak-anakmu. Sudah seperti anak tak ada ibunya," ucap Bu Usman. Ia menutup hidungnya. Bau pesing dari arah Namira pun menyeruak di Indera penciuman ketiga orang dewasa itu. "Halah, tanggung, nanti saja habis makan, biar gak kotor lagi," sahutnya, tangan Eni bergerak cepat meraih piring dihadapan Helen, tanpa bertanya lagi punya siapa. "Nia, sana ambil sendok dua lagi, makan kalian bertiga ya," ucap Eni sambil meletakan piring di lantai, Nayla yang sejak tadi sudah lapar, dengan cepat ia duduk dan meraih sendok dan memasukan suapan pertama. Namira yang juga sudah lapar, merebut sendok yang masih di mulut kakaknya. Perkelahian pun tak dapat dielakkan, saling pukul dan sa
Rahman sangat bahagia, ketika ia dinyatakan lolos jadi PNS, sungguh perjuangan yang tak sia-sia. Ia segera merogoh kantong celananya, dan mengambil ponsel, ia berniat mengabari Mala serta keluarganya. "Assalamualaikum, Mas," sapa Mala saat menjawab panggilan telepon suaminya. "Waalaikumsalam salam, Sayang. Gimana kabarmu? Gimana bayi kita? Gimana Ibu dan Bapak? Sehat-sehat-kan?" Rahman memberondong pertanyaan kepada istrinya. Terdengar tawa riang Mala dari seberang sana, ia merasa lucu dengan tingkah suaminya. "Kok, ketawa?" tanya Rahman. "Mas, nanya-nya satu-satu dong," protes sang istri. "Oke, baiklah," lirih Rahman. "Aku sehat, bayi kita juga sehat, Ibu, Bapak dan Ria juga sehat, ka Eni sekeluarga sehat dan montok," ucapnya yang di sambut tawa bahagia oleh suaminya saat mendengar seluruh keluarganya baik-baik saja. "Sayang," panggil Rahman dengan lembut. "Ada apa, Mas," tanya Mala, ada rasa khawatir saat suaminya memanggilnya dengan lirih. "Aku—Aku," ucapanyasengaja ia jed
"Anakku, anakku sudah jadi PNS," ucap Bu Samirah gugup dan langsung sujud syukur di tanah. Begitu sangat bahagia wanita paruh baya itu. Mengetahui anak lelakinya kini telah jadi seorang abdi negara."Waah, selamat ya Bu, selamat ya, Mala," ucap Umi Hamzah, sambil tersenyum lega mengetahui tetangganya ada yang jadi PNS. "Terima kasih, Umi," ucap Mala tersipu. Akhirnya Bu Samirah menyerahkan kembali ponsel menantunya itu sambil berkata "Kita harus ngadain syukuran, Mal, anakku kini sudah jadi pegawai Negeri."Mala tersenyum bahagia, melihat ibu mertuanya menangis bahagia. Bukan seperti hari-hari yang lalu. Wanita tua itu selalu menangis akibat ulah kedua anaknya. Tapi kini suaminya telah membingkai rasa bahagia pada ibu mertuanya. Tentu saja Mala merasa bangga dengan itu semua. Pencapaian suaminya bisa membuat bahagia semua anggota keluarga. "Bu, Mala, pulang duluan ya," ucap Mala, sebelum berbalik."Ya udah, sama! Eh bawa ini belanjaannya," ucap Bu Samirah."Langsung dimasak, Mal, b
Suasana rumah Bu Samirah dipenuhi dengan kebahagiaan. Ada kelegaan di hati mereka, terutama Mala juga kedua orang tua Rahman. Kini mereka berkumpul di ruang tengah, membahas tentang Rahman. "Alhamdulillah, kini ada salah satu anak kita yang bisa membuat bangga, ya, Pak. Ibu gak pernah bermimpi punya anak seorang pegawai negeri," ucap Bu Samirah dengan wajah ceria."Iya, Bapak juga gak nyangka. Anak itu selalu membuat kita bangga," katanya sambil mengepulkan asap rokok yang sedang dihisapnya."Semoga suatu hari nanti, Ria juga bisa jadi kebanggaan, Bapak dan Ibu," ucap Ria pelan. "Doa kami selalu menyertai kamu, Nak," sahut Pak Manto dengan cepat. Ia memandang anak gadisnya yang kini sudah berusia dua tahun dan belum menikah, bahkan sering Ria jadi tetangga karena usianya yang sudah cukup untuk menikah, tapi Ria, bahkan pacar pun belum pernah ada tetangga yang tahu."Lah, gimana si Rahman gak jadi pegawai negeri, dia kan kuliahan. Beda sama aku yang SMK juga hanya sampai kelas dua,"
"Makanya kalau mau sukses, pergi sekolah, ya datangnya ke sekolah, bukan malah nongkrong di kebun haji Mu'in," seru Ria gemas. Bisa-bisanya mereka hendak menyalahkan pendidikan yang mereka raih, bukankah itu sebuah kesengajaan karena kenakalan mereka waktu sekolah. Eni dan Rahmat diam, tak ada yang mencela ucapan Pak Manto, tapi saat Ria ikut menyahuti, seandainya saja tidak ada kedua orangtuanya mereka sudah pasti membalas perkataan Ria.———RatuNna———"Gimana, Mala, kita jadi bikin syukuran," tanya Bu Samirah. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan yang sedikit mengganggu kebahagian hatinya. "Kata Mas Rahman, sekarang belum ada uangnya. Nunggu gajian dulu, Bu," jawab Mala. "Lah, bagaimana ini PNS, masa gak punya duit, kalah sama sopir truk," ejek Rahmat. "Mana ada orang baru diterima kerja dah banyak duit, Bang. Ngaco Abang ini," ucap Mala sambil mendelik pada kakak iparnya"Kan ada SK-nya, semua pegawai, SK mereka tak ada di lemari rumahnya pasti di bank," ucapnya lagi. "Bang, suam
"Syal*n, ipar gak tahu diri, ipar miskin," teriaknya, umpatan Eni begitu memekakan telinga. Tapi Mala tak perduli, ia masuk lalu mengunci kamarny, dan merebahkan tubuhnya berniat mengistirahatkan badannya yang mulai ringkih. Ia tak memperdulikan ocehan Eni dan yang mengolok-oloknya. Ia tak peduli lagi dengan hinaan yang dilontarkan iparnya. Kini ia mulai terbiasa dengan keluarga suaminya yang toxic. Pikirnya, selama suaminya masih mencintainya. Maka ia tak akan ambil pusing dengan kelakuan keluarga mertuanya. Selama itu tidak membahayakan dirinya atau bayinya. "Kak, kamu keterlaluan sekali kalau mengatai orang, sudah merasa sempurna? Kak Mala itu istri Bang Rahman, adikmu. Berarti masih keluarga kita. Omonganmu kayak racun! Kak Mala sedang hamil, bagaimana kalau dia strees," ucap Ria. Dia yang tadinya anteng dengan ponselnya, tak tahan lagi mendengar ocehan kakak kandungnya pada Mala yang sudah sangat keterlaluan. "Kata orang kondisi psikologis wanita hamil sangat sensitif, kak, gim
"Dari mana, Bang?" sapaku pada Bang Rahmat yang baru saja tiba di rumah. Wajahnya kusut sekali. Ia tak menjawab, malah merebahkan tubuhnya di sofa baru kami. "Bang," panggilku untuk yang kedua kalinya. "Bikinin kopi, San," pintanya. Bukannya menjawab pertanyaanku malah minta di buatkan kopi. Akh, membuatku penasaran saja, Bang Rahmat ini. Meski hatiku dipenuhi tanda tanya, tapi ku urungkan. Aku pergi ke dapur untuk membuat kopi untuknya. Setelah kopi ku letakan di atas meja, aku bertanya lagi pada Bang Rahmat. "Kamu kenapa sih, Bang. Pulang-pulang mukamu kusut begitu.""Aku dari rumah Ibu, gedek sekali kalau mendengar Bapak membela si Mala itu. Kasian kan Eni, dia merasa tersisihkan," ucapnya panjang lebar."Trus kamu diam saja? Lemah kamu, Bang! Meski Bapak orangtuamu, kalau dia tidak adil, kita sebagai anak juga ada hak untuk menuntut," terangku. Aku masih kesal dengan kejadian minggu lalu saat aku bertengkar dengan Ria, bisa-bisanya bapak mengusirku. Akan ku ingat sepanjang hidu
Tak lagi kudengar suara kak Eni atau Bang Rahmat, setelah suara pintu yang ditutup tadi. Mungkin mereka sudah pulang. Syukurlah, drama emosi Kak Eni sungguh luar biasa, untung aku sudah terbiasa dengan hinaannya. Jadi tak begitu kupedulikan ocehannya. Benar kata orang, tinggal di rumah mertua itu memang gratis, tapi jaminannya kewarasan. Huft. Tok…tok…tok…."Kak, kak Mala." Kudengar panggilan Ria dibalik pintu."Iya, sebentar," sahutku sambil bangkit dan menuju pintu. "Kak," panggilnya sambil cengengesan saat pintu kubuka lebar."Ada apa?" Aku mengernyitkan dahi melihat Ria seperti itu."Aku pinjam kemeja putih dong, punyaku warnanya udah beige, padahal pas beli warnanya putih blas," ucapnya. Aku sontak tertawa mendengarnya. Kemeja putih jadi beige, bisa dibayangkan warna kumalnya seperti apa."Hahahah, kamu ada-ada saja. Mau kemana pake baju putih segala?""Aku ada panggilan kerja di Cikarang, Kak," sahutnya dengan roman bahagia. "Hah! Serius? Kapan melamar? Ibu dan Bapak sudah ta