"Syal*n, ipar gak tahu diri, ipar miskin," teriaknya, umpatan Eni begitu memekakan telinga. Tapi Mala tak perduli, ia masuk lalu mengunci kamarny, dan merebahkan tubuhnya berniat mengistirahatkan badannya yang mulai ringkih. Ia tak memperdulikan ocehan Eni dan yang mengolok-oloknya. Ia tak peduli lagi dengan hinaan yang dilontarkan iparnya. Kini ia mulai terbiasa dengan keluarga suaminya yang toxic. Pikirnya, selama suaminya masih mencintainya. Maka ia tak akan ambil pusing dengan kelakuan keluarga mertuanya. Selama itu tidak membahayakan dirinya atau bayinya. "Kak, kamu keterlaluan sekali kalau mengatai orang, sudah merasa sempurna? Kak Mala itu istri Bang Rahman, adikmu. Berarti masih keluarga kita. Omonganmu kayak racun! Kak Mala sedang hamil, bagaimana kalau dia strees," ucap Ria. Dia yang tadinya anteng dengan ponselnya, tak tahan lagi mendengar ocehan kakak kandungnya pada Mala yang sudah sangat keterlaluan. "Kata orang kondisi psikologis wanita hamil sangat sensitif, kak, gim
"Dari mana, Bang?" sapaku pada Bang Rahmat yang baru saja tiba di rumah. Wajahnya kusut sekali. Ia tak menjawab, malah merebahkan tubuhnya di sofa baru kami. "Bang," panggilku untuk yang kedua kalinya. "Bikinin kopi, San," pintanya. Bukannya menjawab pertanyaanku malah minta di buatkan kopi. Akh, membuatku penasaran saja, Bang Rahmat ini. Meski hatiku dipenuhi tanda tanya, tapi ku urungkan. Aku pergi ke dapur untuk membuat kopi untuknya. Setelah kopi ku letakan di atas meja, aku bertanya lagi pada Bang Rahmat. "Kamu kenapa sih, Bang. Pulang-pulang mukamu kusut begitu.""Aku dari rumah Ibu, gedek sekali kalau mendengar Bapak membela si Mala itu. Kasian kan Eni, dia merasa tersisihkan," ucapnya panjang lebar."Trus kamu diam saja? Lemah kamu, Bang! Meski Bapak orangtuamu, kalau dia tidak adil, kita sebagai anak juga ada hak untuk menuntut," terangku. Aku masih kesal dengan kejadian minggu lalu saat aku bertengkar dengan Ria, bisa-bisanya bapak mengusirku. Akan ku ingat sepanjang hidu
Tak lagi kudengar suara kak Eni atau Bang Rahmat, setelah suara pintu yang ditutup tadi. Mungkin mereka sudah pulang. Syukurlah, drama emosi Kak Eni sungguh luar biasa, untung aku sudah terbiasa dengan hinaannya. Jadi tak begitu kupedulikan ocehannya. Benar kata orang, tinggal di rumah mertua itu memang gratis, tapi jaminannya kewarasan. Huft. Tok…tok…tok…."Kak, kak Mala." Kudengar panggilan Ria dibalik pintu."Iya, sebentar," sahutku sambil bangkit dan menuju pintu. "Kak," panggilnya sambil cengengesan saat pintu kubuka lebar."Ada apa?" Aku mengernyitkan dahi melihat Ria seperti itu."Aku pinjam kemeja putih dong, punyaku warnanya udah beige, padahal pas beli warnanya putih blas," ucapnya. Aku sontak tertawa mendengarnya. Kemeja putih jadi beige, bisa dibayangkan warna kumalnya seperti apa."Hahahah, kamu ada-ada saja. Mau kemana pake baju putih segala?""Aku ada panggilan kerja di Cikarang, Kak," sahutnya dengan roman bahagia. "Hah! Serius? Kapan melamar? Ibu dan Bapak sudah ta
"Bu, Pak," sapa Ria yang baru keluar dari kamarnya yang sudah siap dengan baju kerja. Ya, Ria masih bekerja sama Koh Acong, Bos mas Rahman dulu. Meski gajinya kecil, tapi daripada nganggur kan lumayan. "Ria, mau ke Bekasi," ucapnya lagi sambil ikut duduk di sebelahku. "Ngapain?" tanya Ibu."Ria ada panggilan kerja, Bu. Pabriknya besar, UMR disana juga besar, kalau sama lembur kata Indah bisa 5-7 juta sebulan," terangnya berapi-api. "Kerja apaan?" tanya Bapak."Di pabrik, Pak, aku belum tahu pabrik apa, lupa nanya sama Indah. tapi Bapak sama Ibu tahu kan, ibunya Indah sekarang banyak emasnya, juga rumahnya bagus, gadean sawah dimana-mana," lanjutnya panjang lebar. "Iya sih, pantas saja emak si Indah ikutan arisan RT aja sampai tiga nomor, sudah sugih mereka sekarang. Padahal dulu, ya Pak, kita tahu bagaimana mereka," ucap Ibu sambil melihat ke arah suaminya."Namanya juga hidup, Bu. Tidak ada yang tahu nasib seseorang kedepannya," jawab Bapak."Gimana, Pak, Bu. Ria diizinkan bekerj
Sudah beberapa hari chatku pada Rahman tak dibalasnya, bahkan yang tadi malam, belum dibuka, masih ceklis satu. Tidak! aku tidak di blokir, karena aku masih bisa melihat foto profilnya. Punggung Rahman saat mendaki gunung. Yah, laki-laki itu sangat suka dengan alam. Salah satu hobinya adalah mendaki beberapa gunung tinggi di indonesia. Man, tak ada sedikit kah sisa cintamu dulu untukku? Aku masih sangat mencintaimu. Apalagi sekarang suamiku sudah meninggal dan keadaan ekonomi ku pun sekarang jauh lebih baik, aku punya segalanya. Aku menatap foto Rahman yang aku save dari Facebooknya Mala. Aku menelusuri tentang kehidupan Rahman dari sejak kudengar dia akan menikah setahun yang lalu. Aku hancur, sehancur-hancurnya saat itu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa guna mencegah Rahman menikahi wanita lain, karena statusku masih bersuami. tapi aku juga sangat mencintai Rahman. Aku tak rela Rahman menikah. Tapi apalah dayaku. Pernikahan Rahman dan Mala terjadi tanpa bisa ku cegah. Sejak saat it
"Nggak apa-apa, Bu, belanjaan kalian juga nanti saya bayarin," ucapku dengan senyuman manis seorang Puteri kampung yang kini menjelma jadi janda cantik yang tajir. "Serius?" tanya Bu Hana dengan mimik muka tak percaya. Aku mengangguk yakin dan menyuruh mereka, membeli apapun. Tanpa waktu lama, setelah dihitung semua, delapan ratus sembilan puluh ribu yang harus ku bayar, aku mengeluarkan uang sembilan lembar dan memberikannya pada Mamang sayur."Alhamdulillah, hari ini gak cape keliling, ucapnya dengan binar bahagia."Terima kasih, ya, Len," ucap ibu-ibu lainnya dengan malu-malu."Kalau sudah selesai, ayo kita memasak liwet," ucapku, pegal juga berdiri sejak tadi. Akhirnya kami semua menuju ke rumah Bu Samirah, untuk memasak liwetan. Di tengah jalan kulihat Mala istrinya Rahman, sedang menuju ke arahku dan mertuanya, pasti dia akan belanja sayur. "Maaf Mala, hari ini aku akan menyabotase mertuamu," ucapku dalam hati sambil tersenyum menyeringai ke arah wanita pendek itu. Ya...tubuhn
Aku menghentakan kaki saat mendengar ucapan Ibu mertuaku. Dan langsung meninggalkan dapur. Memang gak beradab mulutnya, tega sekali Ibu berkata demikian padaku. Padahal aku sedang mengandung cucunya. Tak kuhiraukan lagi keberadaan para tetangga, aku masuk ke kamar lalu menguncinya. Aku tak bisa lagi menangis, dengan semua perlakuan keluarga ini. Hatiku telah mati rasa mungkin. Cuma kalau diperlakukan seperti tadi, aku malu saja sama tetangga. Apalagi si pirang itu, seolah-olah dia telah menang menyaingiku, ada senyum kepuasan di wajah liciknya. Jangan pikir aku tidak tahu tipu muslihatnya. Wanita itu secara terang-terangan ingin menyisihkan aku dari keluarga ini. Padahal tanpa ia geser pun posisiku bak debu yang tak pernah terlihat. Ingin rasanya ku jawab apa yang dikatakan oleh Ibu tadi. Namun nanti apa kata orang. Sudah jelas aku yang akan salah bila aku melawan Ibu. Ku raih ponselku, kulihat ada panggilan tak terjawab, Mas Rahman menelponku hingga tiga kali. Aku langsung menekan
"Mas, kita video call, ya?" kataku. {Lah, aku lupa, Sayang} dengan segera kami mengganti tampilan dari telepon ke video call. Kini wajah tampan suamiku terpampang jelas, sepertinya dia habis sholat, karena masih memakai baju Koko lengkap dengan kopiah hitamnya. {Cantik sekali istriku} pujinya. Aku langsung tersipu. Terasa panas mukaku, sepertinya merona deh. "Ish, gombal!" {Sini Cium dulu} Mas Rahman memonyongkan bibirnya. Aku semakin malu dan tergelak bahagia. Ya…Allah, biarkan terus kebahagiaan ini menyelimuti kami yang sedang LDR ini. {Waalaikumsalam, Eh Alif, masuk} Sepertinya, suamiku kedatangan tamu, karena layar ponsel kini hanya memperlihatkan plafon kamar suamiku. {Sayang, ada Alif, sebentar, ya} Aku mengangguk dan tersenyum manis. "Rindu ini belum selesai Mas," jerit batinku. Kemudian layar ponsel dimatikan olehnya. Aku merebahkan tubuhku dan menatap plafon kamar yang warna sudah agak kecoklatan. Ini dulu adalah kamar suamiku. Dia sangat suka warna monokrom, tapi set